-->

GEOLOGI DAERAH SUMBERMANJING WETAN, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR



GEOLOGI DAERAH SUMBERMANJING WETAN, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR



Gambar 1.1 Peta daerah penelitian (tanpa skala)



Penelitian ini dilakukan oleh :
1.         Nama            : Odhi Febriarto,S.T.
2.         Alumni         : STTNAS Yogyakarta
3.         Koordinat    : 112° 40' 20.1" BT - 112° 45' 15" BT dan 8° 13' 57.4" LS - 8° 17' 11.5" LS
4.         Tahun           : 2018


 2.1.1       Geomorfologi Daerah Penelitian
Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu: satuan geomorfologi, pola pengaliran, stadia sungai dan stadia daerah.


2.1.1.1      Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat pola - pola kontur, kemudian melakukan sayatan morfometri (pengukuran beda tinggi dan sudut lereng) pada peta topografi serta melakukan pengamatan lapangan untuk hasil morfogenesisnya. Penamaan satuan berdasarkan klasifikasi kelerengan dan relief (van Zuidam dan Cancelado, 1979) diikuti dengan morfogenesis (van Zuidam, 1983). Terdapat tujuh satuan geomorfologi yang ada pada daerah penelitian, yaitu: satuan geomorfologi bergelombang lemah – bergelombang kuat denudasioanl (D7), bergelombang lemah denudasional (D5), perbukitan – tersayat kuat denudasional (D3), bergelombang kuat – perbukitan denudasional (D2), tersayat kuat – pegunungan karst (K3), perbukitan – tersayat kuat karst (K2), dan bergelombang lemah fluvial (F1).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Bergelombang Kuat Denudasional (D7)
  Satuan geomorfologi ini menempati ± 8,94% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Majang Tengah dan sebagian kecil Druju. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 8,88% dan beda tinggi rata – rata 16,66 meter (Lampiran hal 198). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D7 (van Zuidam, 1983) yang berarti kaki lereng, relatif rendah, lereng hampir datar sampai rendah dan topografi bergelombang dalam tahap aktif.
Bentukan asal ditandai adanya soil tebal, pelapukan yang intensif dan keterdapatan beberapa singkapan batuan yang masih segar.  Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai hutan (Gambar 2.2). Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic. Litologi penyusun berupa kalkarenit dan breksi andesit.
Gambar 2.2  Bergelombang lemah – kuat denudasional (foto diambil dari LP 03 lensa menghadap ke selatan).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah Denudasional (D5)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 22,35% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan, dan Sumbersuko. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 5,79% dan beda tinggi rata – rata 14,28 meter (Lampiran hal 199). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D5 (van Zuidam, 1983) yang berarti peneplains atau dataran mempunyai karakteristik hampir datar atau topografi landai sampai bergelombang. 
Bentukan asal ditandai adanya soil tebal, pelapukan yang intensif dan keterdapatan beberapa singkapan batuan yang masih segar. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai pemukiman, sawah, perkebunan, ladang dan hutan (Gambar 2.3). Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic. Litologi penyusun berupa batupasir, tuf dan breksi andesit.
Gambar 2.3 Bergelombang lemah denudasional (foto diambil dari LP 27 lensa menghadap ke utara).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Perbukitan – Tersayat Kuat Denudasional (D3)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 15,36% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Sumbersuko, Tegalrejo, Sekarbanyu, Ringin Kembar dan sebagian kecil Sumbermanjing Wetan. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 37,99% dan beda tinggi rata – rata 36,72 meter (Lampiran hal  199).  Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D3 (van Zuidam, 1983) yang berarti denudational hills and mountain atau pegunungan dan perbukitan denudasional mempunyai karakteristik lereng berbukit curam hingga topografi pegunungan atau tersayat menengah sampai kuat.
Bentukan asal ditandai adanya pelapukan yang intensif dan dibeberapa tempat terdapat singkapan yang masih segar. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai pemukiman, sawah, perkebunan, ladang dan hutan (Gambar 2.4). Pola pengaliran pada satuan ini adalah trellis. Litologi penyusun breksi andesit skoria.
Gambar 2.4 Perbukitan - tersayat kuat denudasional (foto diambil dari LP 33 lensa menghadap ke utara).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat – Perbukitan Denudasional (D2)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 29,13% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju, Ringinsari, Argotirto dan sebagian kecil Hargokuncaran dan Ringin Kembar. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 19,41% dan beda tinggi rata – rata 27,63 meter (Lampiran hal 200). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode D2 (van Zuidam, 1983) yang berarti denudational slopes amd hills atau perbukitan dan lereng denudasional mempunyai karakteristik dengan erosi sedang sampai parah.
Bentukan asal ditandai adanya pelapukan yang intensif, soil yang tebal dan dibeberapa tempat terdapat singkapan yang masih segar. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai pemukiman, sawah, dan perkebunan (Gambar 2.5). Pola pengaliran pada satuan ini adalah parallel dengan tekstur sedang. Litologi penyusun kalkarenit, kalsilutit, kalsirudit dan batugamping terumbu.
Gambar 2.5 Bergelombang kuat - perbukitan denudasional (foto diambil dari LP 28  lensa menghadap ke selatan).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Tersayat Kuat – Pegunungan Karst (K3)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 17,94% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju, Sumbermanjing Wetan, dan Klepu. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 57,17% dan beda tinggi rata – rata 64,41 meter (Lampiran hal 201). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode K3 (van Zuidam, 1983) yang berarti karstic/denudational hills and mountain atau perbukitan dan pegunungan karst denudasional mempunyai karakteristik topografi dengan lereng menengah sampai pegunungan dan permukaan berbatu.
Bentukan asal ditandai adanya produk eksokarst berupa lapies dan produk endokarst berupa ornament goa stalaktit. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai ladang dan hutan (Gambar 2.6). Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic. Litologi penyusun berupa batugamping terumbu dan batugamping kristalin.
Gambar 2.6 Tersayat kuat – pegunungan karst (foto diambil dari LP 72 lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Perbukitan - Tersayat Kuat Karst (K2)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 5,65% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Druju dan Sumbersuko. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 34,77% dan beda tinggi rata – rata 27,92 meter (Lampiran hal 202). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode K2 (van Zuidam, 1983) yang berarti karstic/denudational slope and hills atau lereng karst deudasional mempunyai karakteristik lereng karst pada batugamping yang relatif keras.
Bentukan asal ditandai adanya produk eksokarst berupa lapies dan produk endokarst berupa ornament goa stalaktit dengan tipe flowstone. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai hutan (Gambar 2.7). Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritic. Litologi penyusun berupa batugamping terumbu kristalin.
Gambar 2.7 Perbukitan - tersayat kuat karst (foto diambil dari LP 35 lensa menghadap ke selatan).
2.1.1.1.1     Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah Fluvial (F1)
Satuan geomorfologi ini menempati ± 0,63% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Tawangrejeni. Secara morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata – rata 5,39% dan beda tinggi rata – rata 12,5 meter (Lampiran hal 204). Satuan geomorfologi ini mempunyai kode F1 (van Zuidam, 1983) yang berarti rivers beds mempunyai karakteristik hampir datar, topografi teratur dengan garis batas permukaan air yang bervariasi mengalami erosi dan bagian yang terakumulasi.
Bentukan asal ditandai adanya hasil dari proses fluvial. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai hutan (Gambar 2.8). Litologi penyusun berupa endapan ukuran pasir – bongkah dengan komposisi material lepas andesit dan batugamping.
Gambar 2.8 Bergelombang lemah fluvial (foto diambil dari LP 73 dengan lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1      Pola Pengaliran
Berdasarkan dari pengamaan peta topografi maupun pengamatan di lapangan, pola pengaliran di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua pola pengaliran utama (Gambar 2.9) yaitu pola trellis dan dendritic. Pembagian pola aliran didasarkan dari jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard, (1967) dalam Thornbury, 1969).
Pola pengaliran (drainage patern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 196). Pola dasar aliran sungai oleh Howard (1976) dalam Thornbury (1969).
Gambar 2.9 Pola pengaliran pada daerah penelitian memiliki trellis dan dendritic.
2.1.1.1.1     Pola Pengaliran trellis
Pola pengaliran ini menempati ± 20% dari total luasan daerah penelitian. Sungai yang termasuk pola pengaliran trellis adalah Kali Kampungbaru, Kali Klepu dan Kali Ringinkembar. Pola pengaliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai bentuk pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellis dicirikan oleh sungai yang mengalir lurus di sepanjang lembah dengan cabang-cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak lurus sehingga menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai trellis dicirikan oleh saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah searah dengan sumbu lipatan (Howard, 1967).
2.1.1.1.2     Pola Pengaliran Dendritic
Pola pengaliran ini menempati ± 70% dari total luasan daerah. Sungai yang termasuk pola dendritic adalah Kali Lesti, Kali Goro, Kali Sentongan dan Kali Bangbang. Pola pengaliran dendrtitic adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya (Howard, 1967).
2.1.1.2      Stadia Sungai
Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan stadia sungai muda dan tua. Stadia sungai muda di daerah penelitian meliputi cabang Kali Lesti, Kali Kampungbaru, dan Kali Bangbang. Stadia sungai muda berada pada cabang Kali Lesti dengan lebar sungai ±3meter dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat, erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam, tidak terdapat dataran banjir, kemiringan sungai curam, bentuk sungai relatif lurus dan kenampakan batuan dasar (Gambar 2.10).
Stadia sungai tua berada pada Kali Genteng dengan lebar sungai ±10 meter, kemiringan lereng yang rendah bahkan datar, dengan kecepatan aliran rendah, jenis aliran air adalah laminar, proses yang bekerja berupa deposisi atau terdapatnya gosong sungai (Gambar 2.11), bentuk atau pola sungai meander (Gambar 2.12), dengan bentuk penampang atau lembah “U” sampai datar (Gambar 2.13).
Gambar 2.10   Stadia sungai muda, lembah sungai membentuk huruf “V” dengan tebing curam dan nampak batuan dasar (foto diambil dari LP 01 lensa menghadap ke utara).
Gambar 2.11   Gosong pada Kali Genteng (foto diambil dari LP 83 lensa menghadap ke barat). 
Gambar 2.12   Gosong pada Kali Genteng (foto diambil dari LP 75 lensa menghadap ke timur). 
Gambar 2. 13  Stadia sungai tua, lembah sungai membentuk huruf “U” (foto diambil dari LP 75 lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1      Proses Geomorfologi
Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses – proses geologi (proses endogenik dan proses eksogenik) yang mengontrolnya (Thonbury, 1969). Proses – proses endogenik (asal dalam) tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan tektonik serta proses eksogenik (asal luar) seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi.
Proses geomorfologi adalah semua proses fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan perubahan pada bentuk bumi. Proses fisika ada yang berasal dari dalam bumi (seperti penerobosan batuan beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar bumi (seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit ke permukaan bumi). Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst yang melibatkan berbagai proses kimiawi. Proses biologi seperti aktifitas hewan dan akar tumbuhan.
Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen. Media yang datang dari  luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).
Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional landform). Proses dan media dapat menghasilkan bentuklahan berbeda di satu kawasan dengan kawasan lainnya, contoh : erosi oleh aliran sungai menghasilkan lembah (pengrusakan) dan juga dapat mewujudkan delta (membangun).
Gambar 2.14   A. Bukti intensif proses eksogenik tingkat menengah, tampak breksi andesit skoria yang telah lapuk dengan intensitas pelapukan tinggi pada matrik. B. fragmen andesit skoria (foto diambil dari LP 60 dengan lensa menghadap ke utara).
Gambar 2.15   Bukti intensif proses eksogenik berupa soil tebal, pelapukan berasal dari batupasir (foto diambil dari LP 27 lensa menghadap ke barat).
Topografi karst dibentuk oleh proses berupa endokarst dan eksokarst dimana hasil untuk proses endokarst berupa stalaktit denan tipe flowstone (Gambar 2.16) dan hasil dari proses eksokarst berupa lubang – lubang dipermukaan batuan akibat proses eksokarst berupa lapies (Gambar 2.17). Proses fluvial yang menghasilkan endapan berukuran pasir sampai bongkah (Gambar 2.18).
Gambar 2.16   Bukti proses endokarst berupa stalaktit dengan tipe flowstone (foto diambil dari LP 69 lensa menghadap ke barat).
Gambar 2.17   Bukti proses eksokarst berupa lapies (foto diambil dari LP 76 lensa menghadap ke selatan). 
Gambar 2.18   Bukti proses fluvial keterdapatan endapan berukuran pasir sampai bongkah (foto diambil dari LP 01 dengan lensa menghadap ke barat). 
2.1.1.1      Stadia Daerah
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai, serta kontrol struktur geologi yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses eksogen.
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation). Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil/ tanah yang tebal dan pelapukan yang intensif (Gambar 2.19).
Gambar 2.19 Soil tebal (foto diambil dari LP 32 lensa menghadap ke utara).
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939) dengan data yang ditemukan dilapangan berupa pelapukan yang intensif, soil tebal dan stadia sungai di daerah penelitian berupa stadia sungai muda yaitu erosi vertikal lebih besar daripada erosi horisontal dan sungai mengalir pada batuan dasar (Gambar 2.10) dan stadia sungai tua yaitu erosi horisontal lebih besar daripada erosi vertikal dengan lembar huruf “U” dan sudah ditemukan adanya meander – meander ­sungai  (Gambar 2.11 – 2.13), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 2.20). Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing - masing tingkatan dalam stadia daerah dikontrol oleh proses - proses geologi seperti litologi dan struktur geologi yang beragam yaitu lipatan berupa antiklin, sesar mendatar mengkiri dan sesar mendatar mengkanan.
Gambar 2.20 Stadia daerah penelitian (Lobeck, 1939)
  2.1            Stratigrafi
Stratigrafi regional daerah penelitian berdasarkan peneliti terdahulu Sujanto, dkk (1992) pada Peta Geologi Regional Lembar Turen termasuk kedalam Formasi Mandalika yang berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Awal, Formasi Wuni yang berumur Miosen Tengah, Formasi Nampol yang berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir, Formasi Wonosari yang berumur Miosen Akhir sampai Pliosen dan terakhir Endapan Aluvial yang berumur Kuarter. Peneliti memasukan batuan karbonat kedalam Formasi Punung, dilihat dari variasi litologinya dan keterdapatanya pada Zona Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur menurut Sartono (1964) dan Nahrowi (1979). Tatanan stratigrafi daerah penelitian mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya. Penentuan umur relatif menggunakan korelasi dari analisis fosil oleh peneliti dan kesebandingan dari peneliti terdahulu Sartono (1964), Nahrowi (1979) dan Sujanto, dkk. (1992).
2.1.1           Stratigrafi Regional
Peneliti menggunakan 2 data sekunder dari peneliti terdahulu untuk menjadi acua dalam melakukan penelitian. Dua data sekunder tersebuta adalah Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk,.1992) dan data peneliti terdahulu tentang Pegunungan Selatan Jawa Timur menurut Sartono (1964) dan Nahrowi (1979).
2.1.1.1      Peta Geologi Lembar Turen
Lokasi daerah penelitian berada pada Desa Sumbermanjing Wetan dan sekitarnya, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang sebelumnya pernah dipetakan oleh Sujanto, dkk. (1992). Berdasarkan Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) daerah penelitian mencakup lima formasi (Gambar 3.2) yang berurut dari tua ke muda, yaitu Formasi Mandalika, Formasi Wuni, Formasi Nampol, Formasi Wonosari, dan Endapan Tuf Gunung Api. Tatanan stratigrafi regional (Gambar 3.3) menurut Sujanto, dkk (1992) menunjukan bahwa formasi tertua berumur Oligosen Akhir yaitu Formasi Mandalika, diatasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Wuni yang berumur Miosen Tengah, sacara menjari selaras diendapkan Formasi Nampol yang berumur sama, diatasnya diendapkan Formasi Wonosari berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir dan secara tidak selaras diatasnya diendapkan formasi yang termuda   yaitu Formasi Endapan Tuf Gunung Api berumur Kuarter.
Gambar 2.21   Peta geologi regional daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992)
Tabel 2.1      Kolom stratigrafi regional daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992)

2.1.1.1.1     Formasi Mandalika (Tomm)
Formasi Mandalika terdiri dari lava andesit, basal, dasit, breksi andesit dan tuf. Lava andesit terdiri dari andesit piroksen, andesit hornblenda, yang disebagian tempat mengalami ubahan hidrotermal berupa kaolin. Lava basal umumnya terdiri dari basal piroksen berstruktur amigdaloidal yang rongga – rongganya diisi oleh mineral – mineral sekunder kalsit dan zeolit. Lava dasit yang banyak dijumpai mineral –mineral pirit serta leleran – leleran oksida besi. Breksi andesit mempunyai fragmen andesit dengan tektur skoria. Formasi Mandalika berumur Oligosen Akhir hingga awal Miosen Tengah.
2.1.1.1.2     Formasi Wuni (Tmw)
Formasi Wuni terdiri dari breksi, lava bersusun andesit basal, breksi tuf, breksi lahar, dan tuf pasiran.  Breksi berkomponen andesit dan basal, mengandung kepingan – kepingan kalsedon, tuf terkersikan berukuran garis tengah sampai 10 cm dengan masa dasar batupasir tufan yang pejal. Setempat batupasir tersebut menebal dan merupakan sisipan didalam breksi dan menunjukan perlapisan, dibeberapa tempat batupasir tersebut banyak mengandung batuapung dan dibeebrapa tempat bercampur dengan breksi tuf, aglomerat dan breksi batuapung. Lava andesit – basal terdiri dari andesit piroksen sampai basal. Breksi lahar menempati dasar – dasar sungai, setempat dijumpai kepingan -  kepingan atau bongkahan – bongkahan andesit dan kayu terkersikan. Formasi Wuni berumur Miosen Tengah, formasi ini menindih tidak selaras dari formasi mandalika, dan menjemari dengan Formasi Nampol.
2.1.1.1.1     Formasi Nampol (Tmn)
Formasi Nampol terdiri dari batupasir tufan, batulempung, napal pasiran, batupasir gampingan, dan batulempung hitam. Batupasir tufan terdapat sisipan konglomerat berukuran kerakal dan lignit tipis, selain mengandung sisipan lignit, dijumpai pula kristal – kristal pirit kuning mengkilat. Batulempung dan napal pasiran terdapat menutupi batupasir tufan dengan bongkah batugamping, bagian atas ditutupi oleh batupasir. Batupasir gampingan kompak dan mempunyai struktur perlapisan yang baik. Batulempung hitam terdapat berupa lapisan tipis dan dibeberapa tempat bercampur dengan lapisan lignit. Dibagian atas Formasi Nampol ditempati oleh batupasir mengandung kuarsa, mempunyai struktur silang siur yang diatasnya ditutupi batugamping terumbu Formasi Wonosari. Setempat Formasi Nampol menjemari dengan bagian bawah Formasi Wonosari. Formasi Nampol berumur Miosen tengah sampai Miosen Akhir.
2.1.1.1.2     Formasi Wonosari (Tmwl)
Formasi Wonosari terdiri dari batugamping, napal pasiran, dan sisipan batulempung kebiruan. Batugamping umunya terdiri dari batugamping terumbu, batugamping kristalin dan batugamping pasiran, sebagian pejal sebagian berlapis. Pada beberapa batugamping dijumpai fosil foraminifera, koral, brachiopoda, gastropoda dan moluska. Batuan ini ke arah atas berangsur – angsur berubah menjadi batugamping berlapis yang kaya aka foraminifera, dan batugamping terumbu yang pejal yang membentuk topografi karst. Fosil – fosil yang dikenali dalam formasi ini adalah Lepidocyclina Sumatrensis BRADY, Miogypsina spp, Flosculina sp, Operculina sp, Marginopora sp, Globigerinoides spp, Globiquadrina sp, Amphitegina sp, dan Operculina sp, yang menunjukan kisaran umur dari Miosen Awal sampai Miosen Tengah.

2.1.1.1.3     Endapan Tuf Gunung Api (Qptm)
Terdiri dari tuf kasar berbatuapung, dan fragmen andesit. Tuf berbutir kasar (lapili) hingga halus, mengandung feldspar, kuarsa, mineral mafic batuapung dan fragmen – fragmen andesit. Fragmen – fragmen andesit tersebut berasal dari proses lahar. Endapan tuf gunung api ini dihasilkan oleh kelompok gunung api kuarter muda, diantaranya Gunung Tengger, Gunung Jembangan, Gunung Semeru, Gunung Butak, dan Gunung Buring.
2.1.1.2      Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur
Menurut Sartono (1964) dan Nahrowi (1979) Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur (Tabel 2.2), dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnya- Pacitan.
Tabel 2.2    Kolom stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur beberapa peneliti (1964).

Susunan litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda): Kelompok Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Nampol dan Formasi Punung.
2.1.1.1.1     Formasi Besole
Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono (1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini diendapkan di lingkungan darat. Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama Formasi Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidangit, pada lingkungan laut dalam. Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama Formasi Besole ini menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang tersusun oleh perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari kelompok batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang terdapat di Kulon Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan). Djohor, 1993 meneliti singkapan di K. Grindulu (Pacitan-Tegalombo) menyimpulkan urutan Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah sebagaiberikut: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik, batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibeberapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh batn volkanoklastik (perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping berukuran mencapai ±1 m didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat Formasi Jaten.
2.1.1.1.2     Formasi Jaten
Dengan lokasi tipenya K. Jaten – Donorojo, Pacitan (Sartono 1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung (mengandung fosil Gastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa, Foraminifera), dengan sisipan tipis lignit. Ketebalan satuan ini mencapai 20-150 m. Diendapkan pada lingkungan transisi – neritik tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 – N10).
2.1.1.1.3     Formasi Wuni
Dengan lokasi tipenya K. Wuni (anak Sungai S Basoka) – Punung, Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir tufan, lanau, dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5 –Tf.1), berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas). Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini terletak selaras menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.
2.1.1.1.4     Formasi Nampol
Tersingkap baik di K. Nampol, Kec Punung, Pacitan (Sartono,1964), dengann susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal – Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-bungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.
2.1.1.1.5     Formasi Punung
Dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat (Sartono, 1964). Fasies karbonat, tersusun oleh batu-gamping terumbu, batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal, dimana satuan ini merupakan endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini 200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m. Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah (N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan fasies karbonat adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara tidak selaras Formasi Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985) Formasi Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.
2.1.2           Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi enam satuan batuan tidak resmi berdasarkan litostratigrafi SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), berurutan dari satuan batuan tertua ke satuan batuan termuda adalah satuan breksi andesit skoria Mandalika secara tidak selaras diatasnya ditumpangi satuan breksi andesit Wuni, secara tidak selaras diatasnya diendapkan kalkarenit Punung dan secara selaras menjari diendapkan batugamping terumbu Punung, diatasnya diendapkan satuan termuda endapan berukuran pasir – bongkah dengan material lepas andesit dan batugamping. Penentuan umur relatif menggunakan korelasi dari analisis fosil oleh peneliti dan kesebandingan dari peneliti terdahulu Sartono (1964), Nahrowi (1979) dan Sujanto, dkk. (1992).
2.1.2.1      Satuan Breksi Andesit Skoria Mandalika
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang tersusun oleh litologi berupa breksi andesit skoria dengan sisipan batupasir kasar. Berdasarkan ciri fisik batuan dapat dikorelasikan dengan Formasi Mandalika pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) dan berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan breksi andesit skoria Mandalika.
2.1.2.1.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 14,32% dari daerah penelitian. Satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan – tersayat kuat denudasional (D3). Pelamparan satuan ini berada disebelah tenggara dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Ringin Kembar, Tegalrejo dan Sekarbanyu. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang C – D, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah >755 m.
 2.1.2.1.2     Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan breksi andesit skoria Mandalika terdri dari breksi andesit skoria dengan sisipan batupasir kasar. Litologi penyusun dari satuan ini digambarkan melalui tabel kolom litologi satuan breksi andesit skoria Mandalika (Tabel 2.3) batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya pada sub bab – sub bab berikutnya.
Tabel 2.3 Kolom litologi satuan breksi andesit skoria Mandalika (tanpa skala)



2.1.1.1.1.1       Breksi Andesit Skoria
Breksi andesit skoria secara megaskopis mempunyai warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat, tekstur klastik, dengan bentuk butir membulat tanggung - meruncing, ukuran butir kerakal - bongkah, kemas terbuka, sortasi buruk, struktur massif dan dibeberapa tempat menunjukan kesan berlapis, fragmen andesit dengan deskripsi warna segar abu - abu kehitaman, tekstur hipokristalin, porfiritik, struktur skoria, matrik breksi andesit skoria berupa batupasir sedang, dan semen silika (Gambar 2.22).
Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 59 (Lampiran petrografi hal 205 - 209) dengan kode sayatan LP59 F untuk fragmen dan LP 59 M untuk matrik, sayatan tipis breksi adesit skoria, dibagi menjadi 2 yaitu bagian fragmen breksi andesit skoria berupa andesit skoria dan matrik breksi andesit skoria berupa batupasir sedang. Fragmen andesit skoria secara mikroskopis berwarna coklat kehitaman, tekstur batuan hipokristalin, subhedral, inequigranular dengan tekstur khusus porfiritik dan tekstur lain berupa skoria. Komposisi batuan ini terdiri dari fenokris dan masa dasar. Fenokris terdiri dari plagioklas 78% (andesine dan bytownite), piroksen 12%, dan quarzt 2% serta masa dasar terdiri dari kristal dan gelas 8% dengan nama petrografi andesit piroksen (Streckeisen, 1976). Matrik breksi andesit skoria yaitu batupasir, secara mikroskopsis berwarna coklat, Tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas terbuka, dan sortasi buruk. Komposisi matrik 30%, plagioklas 20% (andesine), clinopiroksen 5%, hornblende 6%, dan opak  6%, dan lithik 33% dengan nama petrografi lithic wacke (Petijohn, 1975).
Gambar 2.22   A. Breksi andesit skoria, B. Fragmen andesit skoria (foto diambil dari LP 59 dengan lensa menghadap ke selatan).
2.1.1.1.1.1       Batupasir Kasar
 Batupasir kasar secara megaskopis mempunyai warna segar abu - abu, warna lapuk coklat, tekstur klastik bentuk butir membulat ukuran butir pasir sedang - pasir kasar, sortasi baik, kemas tertutup, struktur berlapis, komposisi lithik, dan kuarsa (Gambar 2.23).
Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 60 (Lampiran petrografi hal 210 - 211) dengan kode sayatan LP 60. Batupasir kasar secara mikroskopis memiliki warna abu - abu kecoklatan, tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas tertutup, dan sortasi buruk, komposisi mineral plagioklas (oligoklas)14%, lithik 30% dan matrik 57% dengan nama petrografi lithic wacke (Petijohn, 1975).
Gambar 2.23 Batupasir kasar (foto diambil dari LP 60 dengan menghadap ke selatan).
2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Pada satuan breksi andesit skoria Mandalika ini penentuan umur dilakukan dengan menganalisis mikropaleontologi pada litologi berupa batupasir pada LP 60, akan tetapi tidak diketemukanya fosil foraminifera plangtonik (barren intervals) untuk penentuan umurnya. Dengan tidak diketemukannya fosil foraminifera plangtonik maka penentuan umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi pada daerah penelitian. Satuan breksi andesit skoria Mandalika yang dapat dikesebandingkan dengan Formasi Mandalika yang mengacu pada Peta Geologi Regional Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan ini adalah Oligosen Awal sampai awal Oligosen Akhir.
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria dilakukan berdasarkan data – data lapangan, hal ini dikarenakan satuan batuan ini tersusun oleh batuan sedimen fraksi kasar dan dengan fragmen berupa batuan beku andesit skoria yang miskin akan kehadiran fosil foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil foraminifera kecil serta tidak mengandung komposisi karbonatan (tidak bereaksi dengan HCl). Maka penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria Mandalika didasarkan pada peneliti terdahulu yaitu berada pada lingkungan darat (Sujanto, dkk., 1992).
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan breksi andesit skoria Mandalika ini dengan satuan dibawahnya tidak diketahui karena tidak tersingkap di lokasi penelitian, sedangkan untuk hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya satuan breksi andesit Wuni yaitu tidak selaras. Hal ini didasarkan pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1996) dan stratigrafi pegunungan selatan jawa timur (Nahrowi, 1979). karena umur satuan breksi andesit skoria Mandalika mempunya kisaran umur Oligosen Akhir sedangkan satuan breksi andesit Wuni diatasnya berumur Miosen Tengah menandakan adanya kesenjangan waktu.
2.1.1.2      Satuan Breksi Andesit Wuni
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang tersusun oleh litologi berupa breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik batuan dapat dikesebandingkan dengan Formasi Wuni pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) maupun stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur (Nahrowi, 1979) dan berdasarkan litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan breksi andesit Wuni.
2.1.1.2.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 6,43% dari daerah penelitian. Satuan breksi andesit Wuni menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah – bergelombang kuat denudasional dengan kode D5 dan D7. Pelamparan satuan batuan ini berada disebelah tenggara dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Sumbersuko. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah ± 457,5 m.
2.1.1.2.2     Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan breksi andesit Wuni terdiri dari breksi andesit (Tabel 2.4). Litologi penyusun dari satuan ini digambarkan melalui tabel kolom litologi satuan breksi andesit skoria Mandalika (Tabel 2.3) batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya pada sub bab – sub bab berikutnya.
Tabel 2.4 Kolom litologi satuan breksi andesit Wuni (tanpa skala)

2.1.1.1.1.1       Breksi Andesit
Breksi andesit secara megaskopsis mempunyai warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kehitaman, tekstur klastik, dengan bentuk butir membulat tanggung - meruncing, ukuran butir kerakal - bongkah, kemas terbuka, sortasi buruk, struktur masif, fragmen andesit dengan deskripsi warna segar abu - abu kehitaman, warna lapuk coklat struktur masif dan pelapukan mengulit bawang, tekstur hipokristalin, porfiritik dan matrik dari breksi andesit berupa tuf, semen silisika (Gambar 2.24).
Secara mikroskopis diwakili oleh sayatan LP 75 (Lampiran petrografi hal 212 - 216) dengan kode sayatan LP75 F untuk fragmen dan LP75 M untuk matrik, sayatan tipis breksi adesi, dibagi menjadi 2 yaitu bagian fragmen breksi andesit berupa andesit dan matrik breksi andesit berupa tuf. Fragmen andesit secara mikroskopsis memiliki warna coklat kehitaman, tekstur batuan ini hipokristalin, subhedral, inequigranular dengan tekstur khusus porfiritik. Komposisi batuan ini terdiri dari fenokris dan masa dasar. Fenokris terdiri dari plagioklas 84% (andesine, bytownite), piroksen 7%, dan quarzt 2% serta masa dasar terdiri dari kristal dan gelas 7% dengan nama petrografi andesit piroksen (Streckeisen, 1976). Matriks tuf secara mikroskopis memiliki warna coklat, tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas terbuka, dan sortasi buruk, komposisi gelas 85%, kristal 13% (andesine, oligoklas, piroksen), dan lithik 2% dengan nama petrografi vitric tuf (Schmidt, 1962).
Gambar 2.24   A. Breksi andesit Wuni, B. Struktur mengulit bawang pada fragmen andesit (foto diambil dari LP 75 lensa menghadap ke utara).
2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Pada satuan breksi andesit Wuni ini penentuan umur tidak dapat dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya batuan dengan fraksi halus dan batuan penyusun satuan breksi andesit Wuni ini merupakan batuan produk dari gunungapi. Oleh karena itu penentuan umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi pada daerah penelitian. Satuan breksi andesit Wuni yang dapat dikesebandingkan dengan Formasi Wuni yang mengacu pada Peta Geologi Regional Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan ini adalah awal Miosen Awal.
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit skoria dilakukan berdasarkan data – data lapangan, hal ini dikarenakan satuan batuan ini tersusun oleh batuan gunungapi yang tidak adanya kehadiran fosil foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil foraminifera kecil serta tidak mengandung komposisi karbonatan (tidak bereaksi dengan HCl). Maka penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi andesit Wuni didasarkan pada peneliti terdahulu yaitu berada pada lingkungan darat (Sujanto, dkk., 1992).
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan breksi andesit Wuni ini dengan satuan dibawahnya satuan breksi andesit skoria Mandalika yaitu tidak selaras, serta untuk satuan diatasnya satuan batupasir Nampol yaitu selaras menjari. Hal ini didasarkan karena umur satuan breksi andesit skoria Mandalika mempunya kisaran umur Oligosen Awal sampai awal Oligosen Akhir sedangkan satuan breksi andesit Wuni berumur Miosen Awal sampai awal Miosen Tengah menandakan adanya kesenjangan waktu, tidak ada bukti geologi pada kala akhir Oligosen Akhir.
Hubungan stratigrafi antara breksi andesit Wuni dengan batupasir Nampol adalah tidak selaras dikarenakan berdasarkan data penyebaran batuan yang dilihat dari data jurus dan kemiringan batuan pada satuan batupasir Nampol. Jika menggunakan jurus dan kemiringan batuan, seharusnya satuan breksi andesit Wuni ini berumur lebih muda akan tetapi melihat dari fisik batuannya yang termasuk dalam Formasi Wuni berarti mengindikasikan umur lebih tua dari pada satuan batupasir Nampol  Sujanto, dkk., (1992) dan Nahrowi (1979), sehingga menjadikan hubungan antara satuan breksi andesit Wuni dan satuan batupasir Nampol adalah tidak selaras.
2.1.1.2      Satuan Batupasir Nampol
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang tersusun oleh litologi berupa batupasir dan tuf. Berdasarkan ciri fisik batuan dapat dikorelasikan dengan Formasi Nampol pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) dan berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batupasir Nampol.
2.1.1.2.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 25,42% dari daerah penelitian. Satuan batupasir Nampol menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah denudasional. Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah tengah dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan, Argotirto dan Ringinsari. Daerah ini termasuk daerah dengan intensitas proses eksogen yang tinggi ditandai dengan adanya pelapukan batuan yang tinggi. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah ±235,75 m.
2.1.1.2.2     Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan batupasir Nampol terdri dari tuf dan batupasir (Tabel 2.5), batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya.
Tabel 2.5 Kolom litologi satuan batupasir Nampol (tanpa skala).

2.1.1.1.1.1       Batupasir
Batupasir secara megaskopis mempunyai warna segar kuning kecoklatan, warna lapuk coklat, struktur berlapis, tekstur klastik, bentuk butir membulat ukuran butir pasir halus -pasir sedang, sortasi baik, kemas tertutup, komposisi lithik, dan kuarsa (Gambar 2.25). Secara mikroskopis batupasir diwakili oleh sayatan LP 41 (Lampiran petrografi hal 217 - 218) dengan kode sayatan LP 41, memiliki warna abu - abu kecoklatan, dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas tertutup, dan sortasi buruk komposisi lithik 64%, kuarsa 20%, matriks 10% dan feldspar 6% dengan nama petrografi lithic wacke (Petijohn, 1975).
Gambar 2.25 Batupasir dari satuan batupasi Nampol (foto diambil dari LP 26 lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1.1.1       Tuf
Tuf secara megaskopis warna lapuk coklat kehitaman, struktur berlapis, tekstur klastik, bentuk butir membulat, ukuran butir pasir halus - pasir kasar, sortasi baik, kemas tertutup, komposisi lithik dan mineral gelas (Gambar 2.26).
Gambar 2.26   Tuf dari satuan batupasi Nampol (foto diambil dari LP 44 lensa menghadap ke selatan).

Secara mikroskopis tuf diwakili oleh sayatan LP 44 (Lampiran petrografi hal 219 - 220) dengan kode sayatan LP 44, memiliki warna abu - abu kecoklatan. Tekstur batuan dengan ukuran butir 0.075 - 0.2 mm, kemas terbuka, dan sortasi buruk. Lithik 70%, gelas 20% dan  kristal 10% (piroksen, kuarsa, dan opak), dengan nama petrografi lithic tuff  (Schmidt, 1962).
2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Pada satuan batupasir Nampol ini penentuan umur dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi, karena penyusun satuan batuan ini adalah batupasir dan tuf yang memiliki ukuran butir. Analisis mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel LP 44, LP 26 dan LP 21 dan hasilnya adalah kesemuannya tidak diketemukan adanya fosil foraminifera baik plangtonik maupun bentonik sehingga disebut barren intervals. Oleh karena itu penentuan umur dilakukan dengan melakukan kesebandingan dengan stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi pada daerah penelitian. Satuan breksi batupasir Nampol yang dapat dikesebandingkan dengan Formasi Nampol yang mengacu pada Peta Geologi Regional Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) maka dapat ditarik kesimpulan umur satuan ini adalah Miosen Tengah (N08 – N12).
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir Nampol dilakukan berdasarkan data – data lapangan dan analisis mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel LP 44, LP 26 dan LP 21 dan hasilnya adalah kesemuannya tidak diketemukan adanya fosil foraminifera baik plangtonik maupun bentonik sehingga disebut barren intervals.  hal ini dikarenakan satuan batuan ini tidak adanya kehadiran fosil foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik yang sangat menentukan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian. Dengan indikasi tidak adanya fosil foraminifera kecil serta tidak mengandung komposisi karbonatan (tidak bereaksi dengan HCl). Maka penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi batupasir Nampol didasarkan pada peneliti terdahulu yaitu berada pada lingkungan darat sampai transisi (Sujanto, dkk., 1992).
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan batupasir Nampol ini dengan satuan dibawahnya yaitu satuan breksi andesit Wuni adalah tidak selaras dan satuan diatasnya yaitu satuan kalkarenit Punung adalah selaras menjari. Satuan breksi andesit Wuni berumur akhir Oligosen Akhir sampai awal Miosen Awal dan umur dari satuan batupasir Nampol adalah awal Miosen Tengah (N10 – N12) mempunyai hubungan stratigrafi tidak selaras. Hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya kalkarenit Punung yang berumur akhir Miosen Tengah (N12 – N14) selaras menjari. Hubungan stratigrafi selaras menjari ini didapatkan dari data sekunder geologi regional Sujanto, dkk., (1992) dan Sartono (1964) dan data analisis paleontoloi oleh peneliti.
2.1.1.2      Satuan Kalkarenit Punung
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang tersusun oleh litologi berupa kalkarenit, kalsilutit, kalsilutit berfosil dan kalsirudit. Berdasarkan data Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur (Nahrowi, 1979) batuan ini dapat dikorelaikan dan dikesebandingkan dengan Formasi Punung. Berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan kalkarenit Punung.
2.1.1.2.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 27,1% dari daerah penelitian. Satuan kalkarenit Punung menempati satuan geomorfologi bergelombang kuat – perbukitan denudasional (D2). Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah selatan dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Sumbersuko. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah ±245,55 m.
2.1.1.2.2     Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan kalkarenit Punung terdri dari kalkarenit, kalsilutit, kalsilutit berfosil, dan kalsirudit (Tabel 2.6).
Tabel 2.6 Kolom litologi satuan kalkarenit Punung (tanpa skala).

2.1.1.1.1.1       Kalkarenit
 Kalkarenit secara megaskopis mempunyai warna segar abu - abu kecoklatan, warna lapuk coklat tua, tekstur klastik dengan ukuran butir pasir halus - pasir kasar, sortasi baik, kemas tertutup, struktur berlapis dan laminasi,  komposisi mineral karbonat dan cangkang fosil (Gambar 2.27).
Gambar 2.27   A. Kalkarenit; B. Struktur laminasi; C. Keterdapatan cangkang pelecypoda pada kalkarenit; D. Cangkang gastropoda (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke timur)
Secara mikroskopis kalkarenit diwakili oleh sayatan LP 29 (Lampiran petrografi hal 221 - 222) dengan kode sayatan LP 29D, memiliki warna merah muda, kemas point, mud-suported  komposisi mikrit 80%, sparit 8%, dan fosil 12% dengan nama petrografi wackestone (Dunham, 1962).
2.1.1.1.1.1       Kalsilutit
Kalsilutit secara megaskopis memiliki warna abu - abu keputihan, tekstur klastik, ukuran butir lempung, struktur berlapis, komposisi mineral karbonat (Gambar 2.28). Secara mikroskopis kalsilutit diwakili oleh sayatan LP 29 (Lampiran petrografi hal 223 - 224) dengan kode sayatan LP29 B, memiliki warna merah muda, dengan kemas long, mud-suported komposisi mikrit 80%, sparit 15%, mineral feldspar 2% dan fosil 3% dengan nama petrografi mudstone (Dunham, 1962).
Gambar 2.28   Kalsilutit dari satuan kalkarenit Punung (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke timur)
2.1.1.1.1.1       Kalsilutit Berfosil
Kalsilutit berfosil secara megaskopis mempunyai warna segar hitam, tekstur klastik, struktur berlapis, ukuran butir lempung, komposisi mineral karbonat, sisipan lignit, dan melimpah pecahan - pecahan cangkang pelecypoda (Gambar 2.29).
Gambar 2.29   Kalsilutit berfosil dari satuan kalkarenit Punung mempunyai kenampakan fisik melimpahnya pecahan – pecahan cangkang dan keterdapatan sisipan lignit (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke timur)
Secara mikroskopis kalsilutit berfosil diwakili oleh sayatan LP 29 (Lampiran petrografi hal 225 - 226) dengan kode sayatan LP29 C, memiliki warna merah muda dengan kemas long, mud-suported komposisi mikrit 80%, sparit 18%, mineral orthoclas 2% dengan nama petrografi mudstone (Dunham, 1962).
2.1.1.1.1.1       Kalsirudit 
Kalsirudit secara megaskopis mempunyai warna segar coklat keputihan, warna lapuk coklat kehitaman, bentuk butir membulat - membulat tanggung, ukuran butir kerakal - brangkal, kemas terbuka, sortasi buruk, struktur berlapis, fragmen batugamping terumbu dengan warna segar putih, warna lapuk coklat, komposisi mineral karbonat, koral, matrik dari kalsirudit adalah kalsilutit, semen karbonat (Gambar 2.30). Secara mikroskopis kalsirudit diwakili oleh sayatan LP 29 (Lampiran petrografi 226 - 228) dengan kode sayatan LP 29A (M) untuk matrik kalsilutit, dan kode sayatan LP 29A (F) untuk fragmen batugamping terumbu.
Gambar 2.30 A. Kalsirudit dengan fragmen ukuran brangkal – bongkah; B. Kalsirudit dengan fragmen ukuran kerakal (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap ke barat).
Secara mikroskopis matrik kalsilutit memiliki warna merah muda, dengan kemas long, komposisi mikrit 80%, sparit 12%, mineral opak 5% dan fosil 3% dengan nama petrografi mudstone (Dunham, 1962). Secara mikroskopsis fragmen batugamping terumbu memiliki warna coklat keabu - abuan kemas long, komposisi fosil 65% meliputi pecahan alga, dan ooids, sparit 20%, dan mikrit 15% dengan nama petrografi packstone (Dunham, 1962).
2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Pada satuan Kalkarenit Punung ini penentuan umur dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi, karena penyusun satuan batuan ini adalah batugamping klastik dari ukuran kalsirudit sampai kalsilutit. Analisis mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel LP 68, LP 50 dan LP 19 (Lampiran mikropaleontologi hal. 233 - 238).
Berdasarkan analisis fosil plangtonik pada satuan kalkarenit Punung dapat ditarik kesimpulan bahwa umur dari satuan kalkarenit Punung adalah Miosen Tengah (N12 – N14) (Lampiran mikropaleontologi hal 257) berdasarkan umur dari zonasi Blow (1969).   
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan satuan kalkarenit Punung dilakukan berdasarkan data – data lapangan, dan data analisis fosil foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik. Analisis dilakukan dengan menggunakan sampel dari bawah, tengah dan atas. Pengambilan sampel dilakukan pada LP 68, LP 50 dan LP 19
Kelimpahan fosil foraminifera bentonik pada setiap sampel sangat kecil sehingga dari satu sampel hanya dapat diambil beberapa bahkan hanya satu fosil foraminifera kecil bentonik tersebut. Berdasarkan analisis dari fosil foraminifera bentonik didapatkan lingkungan pengendapan transisi – neritik tepi (Tipsword, 1966). Dari data tersebut juga didukung data lapangan berupa keterdapatan sisipan lignit pada kalsilutit berfosil yang menunjukan lingkungan pengendapan adalah transisi. Keterdapatan batuan karbonat (bereaksi dengan HCl) dapat diindikasikan bahwa lingkungan pengendapan adalah laut. Maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan dari satuan kalkarenit Punung adalah transisi – neritik tepi (Lampiran mikropaleontologi hal. 256).
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan kalkarenit Punung ini dengan satuan dibawahnya yaitu satuan batupasir Nampol dan satuan diatasnya yaitu satuan batugamping terumbu Punung (Gambar 2.31) adalah sama – sama selaras menjari. Satuan batupasir Nampol berumur awal Miosen Tengah (N10 – N12) dan umur dari satuan kalkarenit Punung adalah akhir Miosen Tengah (N12 – N14) serta hubungan stratigrafi dengan satuan diatasnya batugamping terumbu Punung yang berumur akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir (N14 – N16) juga selaras menjari. Hubungan stratigrafi selaras menjari antara satuan kalkarenit Punung dan batugamping terumbu Punung ini didapatkan dari analisis mikropaleontologi umur batuan dengan menggunakan foraminifera plangtonik, serta data lapangan yang menunjukan adanya hubungan stratigrafi selaras menjari pada LP 29, LP 19 dan LP 28 dengan keterdapatan satuan batugamping terumbu Punung pada satuan kalkarenit Punung. Hubungan stratigrafi selaras menjari juga didapatkan dari rekontruksi arah jurus dan kemiringan lapisan batuan. Sedangkan untuk hubungan selaras menjari antara kalkarenit Punung dan batupasir Nampol didapat dari data sekunder geologi regional (Sujanto, dkk., 1992).
Gambar 2.31   Kontak antara satuan kalkarenit Punung dan satuan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 68 lensa menghadap selatan).
2.1.1.1      Satuan Batugamping Terumbu Punung
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang tersusun oleh litologi berupa batugamping terumbu dan batugamping kristalin. Berdasarkan data geologi regional (Sujanto, dkk., 1992) batuan karbonat yang terdapat pada daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Wonosari, akan tetapi peneliti memasukan kedalam Formasi Punung, dilihat dari variasi litologinya dan keterdapatanya pada Zona Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur (Nahrowi, 1979). Berdasarkan litostratigrafi dalam SSI (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batugampig terumbu Punung.
2.1.1.1.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 26,14% dari daerah penelitian. Satuan batugamping terumbu Punung menempati satuan geomorfologi tersayat kuat – pegunungan karst (K2 dan K3). Satuan batuan ini pelamparannya berada disebelah tengah yang membentang dari barat sampai timur dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Druju, Sumbermanjing Wetan, Sumbersuko dan Sekarbanyu. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada penampang A – B, diketahui ketebalan dari satuan ini adalah ±315 m.
2.1.1.1.2     Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan batugamping terumbu Punung terdri dari batugamping terumbu dan batugamping kristalin (Tabel 4.7), batuan penyusun akan dijelaskan pada sub bab – sub bab berikutnya.


Tabel 2.7 Kolom litologi satuan batugamping terumbu Punung (tanpa skala)

2.1.1.1.1.1       Batugamping Terumbu
Batugamping terumbu secara megaskopsis mempunyai warna abu - abu keputihan, warna lapuk coklat kehitaman, struktur masif dan lapies, terkstur non klastik, komposisi koral, moluska, dan mineral kalsit (Gambar 2.32) dibeberapa tempat ditemukan batugamping terumbu dengan struktur berlapis (Gambar 2.33). Secara mikroskopis batugamping terumbu diwakili oleh sayatan LP 76 (Lampiran petrografi hal 229 - 230) dengan kode sayatan LP 76, memiliki warna abu - abu kecoklatan dengan kemas point, grain-suported komposisi berupa fosil 95% terdiri dari skeletal grains dan cortoids, mikrit 2% dan sparit 3% dengan nama petrografi packstone (Dunham, 1962).
Gambar 2.32   Batugamping terumbu dengan struktur masif dari satuan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 76 lensa menghadap ke timur).
Gambar 2.33   Batugamping terumbu dengan struktur berlapis dari satuan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 29 lensa menghadap selatan).
2.1.1.1.1.1       Batugamping Kristalin
Batugamping kristalin secara megaskopsis warna segar putih kemerahan, warna lapuk coklat kemerahan, tekstur non klastik, struktur masif, komposisi mineral karbonat (Gambar 2.34). Secara mikroskopis batugamping kristalin diwakili oleh sayatan LP 77 (Lampiran petrografi hal. 231 - 232) dengan kode sayatan LP 77, Secara mikroskopis memiliki warna abu – abu, dengan komposisi kristal kalsit 90%, dan mikrit 2% dengan nama petrografi crystalline (Dunham, 1962).
Gambar 2.34   Batugamping kristalin dari satuan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 77 lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Pada satuan batugamping terumbu Punung ini penentuan umur dilakukan dengan menggunakan analisis mikropaleontologi (Lampiran Mikropaleontologi hal 239 - 247), karena penyusun satuan batuan ini adalah batuan karbonat yaitu batugamping terumbu. Analisis mikropaleontologi dilakukan pada kode sampel LP 29E, LP 68 dan LP 80.
Berdasarkan analisis fosil plangtonik pada satuan kalkarenit Punung dapat ditarik kesimpulan bahwa umur dari satuan kalkarenit Punung adalah Miosen Tengah (N14 – N16) (Lampiran mikropaleontologi hal. 257) berdasarkan umur dari zonasi Blow (1969). 
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan satuan batugamping terumbu Punung dilakukan berdasarkan data – data lapangan, dan data analisis fosil foraminifera kecil khususnya foraminifera bentonik. Analisis dilakukan dengan menggunakan sampel dari bawah, tengah dan atas. Pengambilan sampel dilakukan pada LP 29E, LP 68 dan LP.
Berdasarkan analisis dari fosil foraminifera bentonik didapatkan lingkungan pengendapan neritik tepi (Tipsword, 1966). Keterdapatan batuan karbonat (bereaksi dengan HCl) dapat diindikasikan bahwa lingkungan pengendapan adalah laut dangkal (neritik tepi). Maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan dari satuan batugamping terumbu Punung adalah neritik tepi (Lampiran mikropaleontologi hal 256).
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan batugamping terumbu Punung ini dengan satuan dibawahnya yaitu satuan kalkarenit Punung adalah selaras menjari, sedangkan hubungan stratigrafi diatasnya dengan endapan pasir – bongkah adalah ketidakselarasan. Umur dari satuan batugamping terumbu Punung adalah akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir (N14 – N16) menjari dengan satuan dibawahnya yaitu kalkarenit Punung yang berumur akhir Miosen Tengah (N12 – N14). Hubungan stratigrafi selaras menjari antara satuan kalkarenit Punung dan batugamping terumbu Punung ini didapatkan dari analisis mikropaleontologi umur batuan dengan menggunakan foraminifera plangtonik, serta data lapangan yang menunjukan adanya hubungan stratigrafi selaras menjari pada LP 29, LP 19 dan LP 28 dengan keterdapatan satuan batugamping terumbu Punung pada satuan kalkarenit Punung. Hubungan stratigrafi selaras menjari juga didapatkan dari rekontruksi arah jurus dan kemiringan lapisan batuan dan satuan diatasnya yaitu satuan kalkarenit Punung adalah sama – sama selaras menjari. Hubungan stratigrafi antara satuan batugamping terumbu Punung dan endapan pasir – bongkah adalah tidak selaras, dikarenakan proses dari endapan pasir – bongkah masih terjadi sampai saat ini atau berumur Kuarter (Holosen). Hubungan stratigrafi antara satuan breksi andesit Wuni dengan satuan batugamping terumbu Punung adalah tidak selaras. Hubungan ini dilapangan ditemukan dengan mengetahui bahwa batugamping terumbu Punung menindih breksi andesit Wuni (Gambar 2.35).
Gambar 2.35   Kontak tidak selaras antara breksi andesit Wuni dan batugamping terumbu Punung (foto diambil dari LP 77 lensa menghadap ke barat).
2.1.1.1      Satuan Endapan Pasir – Bongkah
Satuan ini merupakan satuan yang tersusun oleh endapan berukuran pasir sampai bongkah. Satuan ini merupakan satuan dengan umur batuan yang paling muda pada daerah penelitian.
2.1.1.1.1     Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 0,59% dari daerah penelitian dengan morfologi bergelombang lemah dan pola pengaliran berupa parallel. Satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah fluvial (F1). Satuan endapan ini pelamparannya berada disebelah barat laut dari daerah penelitian dengan wilayah meliputi Desa Tawangrejeni berada di sekitar Kali Lesti. Satuan endapan pasir - bongkah mempunyai ketebalan di lapangan mencapai 10 m.
2.1.1.1.2     Litologi Penyusun
Penyusun satuan endapan pasir – bongkah terdri dari material lepas andesit dan batugamping yang belum terlitifikasi atau pembatuan (Gambar 2.36). Satuan ini berupa satuan material endapan (material lepas) yang berukur pasir sampai bongkah, material lepas tersebut berupa andesit dan batugamping (Tabel 2.12). Material lepas ini tersingkap di sepanjang sungai Lesti.


Tabel 2.8 Kolom litologi endapan pasir - bongkah (tanpa skala).


Gambar 2.36   Endapan berukuran pasir – bongkah (foto diambil dari LP 01 lensa menghadap ke selatan).

2.1.1.1.1     Penentuan Umur
Penentuan umur didasarkan pada karakteristik dari material penyusun satuan ini yang berupa material lepas berukuran pasir – bongkah yang belum terkonsolidasi dengan baik, dapat dikatakan bahwa satuan ini adalah satuan endapan. Berdasarkan pada data lapangan bahwa proses pengendapan masih berlangsung hingga sekarang, maka umur dari satuan ini adalah Kuarter.
2.1.1.1.2     Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan dari satuan ini adalah lingkungan darat. Hal tersebut didasarkan pada data – data pengamatan di lapangan, yang mana untuk penentuan lingkungan pengendapan dapat dilihat dri material – material lepas dan belum terlitifikasi. Material penyusun satuan endapan ini merupakan hasil erosi dari batuan yang lebih tua.
2.1.1.1.3     Hubungan Stratigrafi
 Hubungan satuan endapan berukuran pasir – bongkah dengan satuan batugamping terumbu Punung adalah tidak selaras. Hal ini didasarkan pada perbedaan umur yang mencolok. Karena proses yang menghasil endapan berukuran pasir – bongkah masih terjadi sampai saat ini.
2.1.2           Korelasi dan Kesebandingan Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian
Dari hasil analisis secara keseluruhan pada satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian, maka dapat dikorelasikan dan disebandingkan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional peneliti terdahulu  Peta Geologi Regional Lembar Turen (Sujanto, dkk., 1992) dan stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur (Nahrowi, 1979) (Tabel 2.9). Hasil korelasi antara Stratigrafi Regional Lembar Turen dan Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur (Nahrowi, 1972) dengan stratigrafi pada daerah penelitian berdasarkan litostratigrafi dapat diketahui bahwa satuan breksi andesit skoria Mandalika termasuk kedalam Formasi Mandalika, diatasnya secara tidak selaras diendapkan satuan breksi andesit Wuni termasuk kedalam Formasi Wuni, diatasnya secara selaras menjari diendapkan satuan batupasir Nampol termasuk kedalam Formasi Nampol, diatasnya secara selaras menjari diendapkan satuan kalkarenit Punung termasuk kedalam Formasi Punung, dan diatasnya secara selaras menjari diendapkan satuan batugamping terumbu Punung termasuk kedalam Formasi Punung dan satuan diatasnya diendapkan secara tidak selaras endapan pasir – bongkah yang termasuk kedalam Endapan Aluvial.



Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
1.     Full Draft


Berlangganan update artikel terbaru via email:

2 Responses to "GEOLOGI DAERAH SUMBERMANJING WETAN, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR"

  1. Gan adf.ly nya suspended jadi gak bisa di download. Boleh minta tolong dibenerin gak. Atau bisa kirim ke email ga gan soft file ini. Soalnya buat literatur studi khusus gan.
    Thanks

    ReplyDelete
  2. Lengkap sekali penjelasanya mengenai Pengertian Geologi

    Terimakasih banyak ilmunya

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel