GEOLOGI DAERAH MARGAWATI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN GARUT, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT
GEOLOGI DAERAH MARGAWATI DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN GARUT, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT
Penelitian ini dilakukan
oleh :
1.
Nama : Arianto, S.T.
2.
Alumni : STTNAS Yogyakarta
3.
Koordinat : 107° 53' 37” – 107° 56' 48” BT
dan 7° 18' 35” – 7° 13'
47” LS
4.
Tahun :
2018
STRATIGRAFI
Stratigrafi yang disusun dari hasil pemetaan geologi di daerah
penelitian dikelompokkan berdasarkan konsep stratigrafi gunung api. Pengelompokan batuan
berdasarkan stratigrafi gunung api tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia
pada Bab III pasal 26 dan pasal 27 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Pembagian stratigrafi gunungapi dimaksudkan
untuk menata batuan / endapan gunung api berdasarkan urutan kejadian agar
evolusi pembentukan gunungapi mudah dipelajari dan dimengerti. Pembagian batuan
/ endapan gunungapi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan / endapan secara
bersistem berdasarkan sumber, deskripsi, dan genesa.
Beberapa peneliti terdahulu seperti Alzwar,
dkk (1992) telah memetakan daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar
Sindangbarang – Bandarwaru, peta inilah yang akan dijadikan dasar untuk
penentuan umur relatif pada satuan batuan yang dijumpai di daerah penelitian.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyebandingkan batuan yang dijumpai pada
daerah penelitian dengan pola sebaran batuan yang yang telah disusun Alzwar, dkk (1992) pada peta geologi
regional yang telah ada sebelumnya. Peneliti berikutnya adalah Bronto (2006)
yang pernah memetakan bagian timur dari daerah penelitian, metode yang
digunakan untuk pembagian batuan adalah berdasarkan stratigrafi gunung api.
Penarikan batas satuan batuan diawali dengan
pembatasan tubuh gunung api dengan cara analisis dari citra ASTER GDEM.
Interpretasi batasan inilah yang nantinya akan dijadikan dasar awal pemisahan
satuan batuan, karena pembagian batuan/endapan gunungapi dilakukan dengan cara
menggolongkan batuan/endapan secara bersistem berdasarkan sumber, deskripsi,
dan genesa sebagaimana telah disebutkan pada Sandi Stratigrafi Indonesia
(Martodjodjo dan Djuhaeni, 1996). Dengan demikian setiap ekspresi topografi
sangat erat kaitannya dengan litologi penyusun dari setiap gundukan endapan
yang ada di lapangan. Dari pengamatan citra DEM hubungan potong memotong sangat
berlaku untuk menentukan satuan mana yang tertua dan yang termuda yang dimana
satuan tertua terpotong atau tertindih dari erupsi termuda.
Analisis laboratorium perlu dilakukan dalam
pembuatan peta geologi. Analisis labratorium yang terdiri dari analisis
petrografi dan geokimia. Metode dalam analisis petrografi dibuat sayatan tipis batuan dengan
menggunakan mikroskop polarisator, tujuannya untuk mendapatkan data yang berupa
komposisi dan ciri fisik batuan secara mikroskopis, berdasarkan kenampakan
mikroskopisnya dengan pembuatan sayatan tipis berukuran 0,03 mm yang telah
dipreparasi dan dianggap dapat mewakili masing - masing satuan batuan yang ada.
Gambar 3.1 Klasifikasi batuan gunungapi
(piroklastik) menurut Schmid (1981) dan Fisher & Schmincke (1984).
Penamaan batuan sesuai dengan klasifikasi
seperti analisa petrografi menurut klasifikasi menurut
Schmid (1981) dan Fisher & Schmincke (1984).(Gambar 3.1) untuk batuan piroklastika dan Streckeisen (1976) (Gambar 3.2) untuk
batuan beku.
Gambar 3.2 Klasifikasi batuan beku menurut Streckeisen (1976).
Aspek-aspek gunung
api purba, mulai dari geomorfologi gunung api, stratigrafi gunung api, struktur
gunung api sampai analisis petrografi batuan gunung api. Dalam pengelompokan
batuan dan pembuatan peta gunung api mengacu pada konsep stratigrafi gunung api
dan fasies gunung api. Pembagian fasies gunung api dalam penelitian ini
menggunakan konsep yang dikembangkan oleh William dan McBirney (1979 dalam Alldrick, 1989) yang membagi
sebuah gunung api komposit menjadi empat kelompok (Gambar 3.3) yaitu Central
Zone (pusat), Proximal Zone (dekat pusat), Intermediate Zone
(tengah) dan Distal Zone (jauh dari pusat).
Gambar 3.3 Pembagian fasies gunung api
komposit menjadi central zone/pusat, proximal zone/dekat pusat, intermediate
zone/tengah dan distal zone/jauh Williams dan McBirney (1979, dalam
Alldrick 1989).
3.1. Stratigrafi Regional
Beberapa
Peneliti terdahulu sudah melakukan beberapa penelitian yang membahas
stratigrafi regional daerah penelitian. Peneliti tersebut antara lain adalah
Alzwar dkk, (1992) maupun Silitonga (1973) yang telah melakukan
penelitian geologi terkait dengan pemetaan yang mengahasilkan peta geologi
regional lembar Garut-Pameumpeuk dan peta geologi lembar Bandung, dimana daerah
penelitian masuk didalam lembar peta tersebut, sehingga peneliti menjadikan hasil
penelitian tersebut sebagai acuan penelitian.
Berdasarkan peta geologi
Lembar Bandung dan Lembar Garut-Pameumpeuk tersebut daerah penelitian masuk
kedalam beberapa formasi. Formasi yang terdapat di daerah penelitian dari tua
ke muda adalah Formasi Batuan Gunungapi Kracak Puncak-Gede(Qkp) berumur
Pleistosen dan Formasi Batuan Gunungapi Muda (Qyc) berumur Holosen yang Menurut
Alzwar dkk. (1992) (Tabel 3.1).
3.1.1
Satuan Batuan Gunungapi Kuarter Tua
Satuan
ini terdiri dari produk gunungapi berumur Kuarter yang berasal dari beberapa
sumber erupsi, yaitu: G. Waringin-Bedil-Malabar Tua (Qwb), Guntur-Pangkalan-Kendang
(Qko, Qgpk), Sangianganjung (Qsu), Mandalawangi-Mandalagiri (Qmm), Malabar-Tilu
(Qmt), Kancana-Huyung-Tilu (Qkl, Qhl, Qtl), Kracak-Puncakgede (Qkp), dan
beberapa produk sekunder tak teruraikan berasal dari sumber erupsi gunungapi tua
(Qopu). Produk gunungapi Kuarter Tua terdiri dari produk primer berupa lava
andesit, breksi tuf (dengan fragmen batuapung), tuf dan produk sekundernya
berupa breksi lahar. Penyebaran satuan ini kebanyakan telah ditutupi oleh
batuan gunung api Kuarter yang lebih muda.
3.1.2
Satuan Gunungapi Kuarter Muda
Satuan
ini merupakan satuan batuan gunungapi berumur Kuarter yang bersumber dari
gunungapi muda, yaitu: G. Wayang (Qyw), G. Windu (Qyw), G. Papandayan(Qyp), G.
Cikuray (Qyc), G. Masigit (Qym), G. Haruman (Qyh), dan G. Kaledong (Qyk), serta
beberapa produk gunungapi tak teruraikan (Qypu, Qhp, Qhg). Satuan ini terdiri
dari produk gunungapi primer berupa lava andesit, tuf dan piroklastik tak
terkonsolidasi berupa abu gunungapi, lapili dan eflata. Sedangkan produk
sekundernya terdiri dari breksi lahar dengan fragmen andesit.
3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi regional
daerah penelitian berdasarkan peneliti terdahulu Alzwar, dkk (1992) pada Peta
Geologi Lembar Garut – Pameungpeuk termasuk dalam kelompok kelompok batuan
gunung api Kracak – Puncak Gede (Qkp) berumur Pleistosen - Holosen dan batuan gunungapi
muda (Qyc) yang berumur holosen. Alzwar, dkk menyebutkan bahwa batuan kelompok
gunung api muda tersusun atas eflata dan lava aliran yang besusun oleh andesit
basalan yang berasal dari gunung cikuray, kelompok batuan gunung api Kracak -
Puncak Gede tersusun atas tuf kaca halus dan tuf sela, mengandung lapilli
batuapung, breksi lahar dan lava.
Tatanan satuan
stratigrafi di daerah penelitian disusun berdasarkan sumber, jenis batuan, dan
urutan kejadian. Penamaan satuan dilakukan dengan mengacu pada satuan resmi
volkanostratigrafi Sandi Stratigrafi Indonesia (Soejono Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996), dengan menggunakan satuan dasar khuluk dan Gumuk. Khuluk
gunungapi merupakan satuan dasar pada pembagian volkanostratigrafi. Khuluk
gunung api merupakan kumpulan batuan/endapan hasil dari satu atau lebih sumber
erupsi, baik berupa sumber erupsi utama maupun erupsi samping (parasiter), yang
membentuk satu tubuh gunung api.
Sedangkan Gumuk gunung
api merupakan bagian dari khuluk gunung api yang terdiri dari satu atau lebih
batuan/endapan yang dihasilkan dari satu atau beberapa daur letusan gunung api.
Hasil analisis dari pengamatan citra Aster GDEM menunjukan adanya 2 Khuluk dan
1 Gumuk pada daerah penelitian yaitu Gumuk Cikuray,Khuluk Cikuray, Khuluk
Kracak dan Gumuk Kracak (Gambar 3.4). Satuan
stratigrafi gunung api dipilih karena lebih menggambarkan kondisi geologi yang
sebenarnya di lapangan, Parameter utama dalam pembagian satuan adalah suber
erupsi, karena komposisi litologi tidak cukup kuat menjadi pemisah satuan
batuan karena didalam kegiatan vulkanisme suatu sumber erupsi gunung api dapat
menghasilkan komposisi yang berbeda. Sebaliknya, pada sumber erupsi dan umur
berbeda dapat menghasilkan komposisi batuan yang sama. Penentuan umur relatif
satuan khuluk dilakukan berdasarkan hasil analisis tubuh gunungapi yang telah
disebutkan sebelumnya dan disebandingkan dengan satuan batuan pada Peta Geologi
Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar, dkk, 1992).
Gambar 3.4 Analisis tubuh gunung api
dengan pendekatan citra Aster GDEM.
Hasil analisis tubuh
gunung api pada citra ASTER GDEM (Gambar 3.4) menunjukkan bahwa Khuluk Cikuray
termuda karena memiliki morfologi yang lebih halus dibandingkan lainnya dan
dilihat dari ronanya masi berbentuk kerucut dibanding Khuluk Kracak selain itu
ada juga gumuk yang merupakan bagian dari Khuluk Cikuray yang dinamakan Gumuk Cikuray
yang berada pada kaki gunungapi ini. Kemudian yang tua adalah khuluk Kracak
dimana ronanya terlihat kasar. Khuluk Kracak adalah satuan tertua karena rona
pada citra terlihat puncaknya relative lebih lebar yang menandakan gunungapi
ini sudah lebih banyak melakukan aktifitas vulkanisme selain itu ada pula Gumuk
Kracak yang merupakan bagian dari gunungapi Kracak. Hasil analisis inilah yang
kemudian akan disusun dalam kolom volkanostratigrafi dimana penamaan satuan
berdasarkan cirri fisik (deskriptif), sumber erupsi, dan genesis sesuai pada
Sandi Stratigrafi Indonesia (Soejono Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Satuan –
satuan ini nantinya akan dibahas secara rinci pada subbab selanjutnya.
Pada daerah penelitian terdapat 2 khuluk gunung api dan
1 gumuk dengan empat satuan litologi. Urutan umur satuan stratigrafi khuluk,
gumuk dari tua ke muda adalah sebagai berikut :
1.
Khuluk
Kracak, terdiri dari satuan litologi yaitu lava andesit masif aliran Kracak (Kl).
2.
Khuluk
Cikuray, terdiri dari dua satuan litologi yaitu lava andesit Sheeting aliran CIkuray (Cl) dan endapan lahar CIkuray (Clh)
3.
Gumuk
Cikuray, terdiri dari satuan litologi yaitu breksi andesit kemas
terbuka jatuhan Cikurai
(Cb).
3.2.1
Khuluk
Kracak
Khuluk Gunung Kracak adalah satuan gunungapi tua.
Khuluk Kracak ini berada di bagian timur dari daerah penelitian. Satuan ini
memliki morfologi perbukitan - tersayat kuat dan bergelombang kuat – perbukitan
dengan pola aliran paralel dan subparalel. Pada Khuluk Kracak ini hanya
dijumpai satu satuan litologi yaitu lava andesit masif aliran Kracak pada
daerah penelitian. Khuluk Kracak ini menempati ±41,3% dari luas daerah
penelitian dan berada di bagian timur daerah penelitian.
3.2.1.1 Satuan
Lava Andesit Masif Aliran Gunungapi Kracak
Satuan ini tersebar di
sebelah timur daerah penelitian, tersusun oleh satu litologi yaitu lava andesit
porfiroafanitik dari gunungapi Kracak. Kondisi batuan pada satuan ini sudah
lapuk, sedikitnya singkapan segar menyebabkan sulitnya mencari batas kontak
dengan satuan yang lain.
3.2.1.2 Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan lava andesit
porfiroafanitik ini menempati ±41,3 % dari luas daerah penelitian dan berada di
bagian timur daerah penelitian. Satuan ini meliputi Desa Margawati, Sukanegla,
Cimuncang, Lebakagung, Tanjungsari, Godok, dan Sirnagalih.
Hasil analisis pembagian
tubuh gunung api berdasarkan citra ASTER GDEM sangat membantu dalam penentuan
batas satuan, karena perbedaan litologi dan tingkat pelapukan telah tercermin
dari citra. Tebal keseluruhan dari satuan ini diperkirakan mencapai ± 350 m
berdasarkan rekonstruksi dari penampang geologi yang ada di Peta Geologi Gunung
Api (Lampiran Lepas 2).
3.2.1.3 Litologi
Penyusun
Litologi penyusun dari
satuan ini secara dominan disusun oleh lava andesit hasil dari erupsi pusat Khuluk
Kracak walaupun juga di jumpai juga beberapa lokasi breksi andesit dan tuf.
Lava andesit pada lokasi ini memiliki ciri warna lapuk coklat dan warna segar
abu-abu cerah, tekstur porfiroafanitik dengan struktur massif, kemas tertutup,
sortasi buruk, secara mikroskopis
komposisi piroksen 10%, kuarsa 15%, feldspar 35%, plagioklas 35% dan
opak 5 % dengan nama petrografi andesite (Streckeisen,1976)
(Lampiran hal 89/Lp1)(Gambar 3.6).
Tabel 3.2 Kolom litologi satuan lava andesit masif
aliran Kracak.
Sedangkan untuk
Kenampakan batuan breksi dilapangan berwarna abu-abu, struktu massif tekstur
porfiritik dengan kemas tertutup,bentuk butir menyudut, ukuran >2mm fragmen
berupa andesite dengan komposisi plagioklas 30%, feldspar 30%, Hornblen 10% dan
kuarsa 25% dengan nama petrografi andesite
(Streckeisen,1976)(Lampiran hal 93/Lp7) (Gambar 3.6) dan untuk matriksnya
berkomposisi litik 10 %, gelas 35 %, Kuarsa 20 % dan feldspar 26%, dengan nama
petrografi Crystal Tuff (
Schmid,1981)(Lampiran hal 97/Lp7), selanjutnya untuk singkapan tuf yang
dijumpai di satuan ini yaitu memiliki kenampakan dilapangan warna segar putih
kekuningan warna lapuk coklat, struktur perlapisan, kemas terbuka dengan
sortasi yang baik berkomposisi litik 15%, feldspar 15%,kuarsa 10%, dan gelas
vulkanik 60% dengan nama petrografi Vitcric
Tuff (Schmid,1981 (lampiran hal 99/Lp58)).(Gambar
3.7) (Tabel 3.2).
Gambar 3.5 Breksi andesite Gunung Api
Kracak Lp 6 (arah lensa N 180°,Di ambil di Desa Margawati)
Gambar 3.6 Lava
andesite masif aliran gunungapi kracak (arah lensa N 35°E, foto diambil dari
LP.1 daerah Desa Margawati).
Gambar 3.7 Tuf
gunungapi kracak (arah lensa N 345°E, foto diambil dari LP.58 daerah Desa Margawati).
3.2.1.4 Umur
Penarikan umur relatif
sulit dilakukan dengan fosil karena pada satuan lava andesit porfiroafanitik
aliran Kracak ini termasuk pada batuan gunung api yang miskin akan fosil. Oleh
karena itu, untuk penentuan umur pada satuan ini dilakukan berdasarkan
kesebandingan dengan stratigrafi regional lembar Garut – Pameungpeuk (Alzwar,
1992) ataupun mengacu kepada peneliti terdahulu, maka satuan ini berumur Pleistosen.
3.2.1.5 Hubungan
Stratigrafi
Berdasarkan pada stratigrafi
regional (Alzwar, 1992) maka peneliti berkesimpulan, hubungan stratigrafi
dengan satuan diatasnya yang berumur lebih muda yaitu selaras.
3.2.1.6 Lingkungan
Pengendapan
Penentuan lingkungan
pengendapan ini dilakukan berdasarkan data lapangan meliputi morfologi satuan, batuan
penyusun satuan ini dan dilihat dari citra ASTER GDEM. Berdasarkan pengamatan
di lapangan dengan dijumpainya lava dari erupsi Gunung Kracak dan morfologi
yang melandai ke arah timur- barat daya, maka batuan ini diendapkan pada fasies
proximal dari Gunungapi Kracak
(Gambar 3.6).
Gambar 3.8. Pembagian fasies gunung
api komposit menjadi central zone/pusat,
proximal zone/dekat pusat, intermediate zone/tengah dan distal zone/jauh (Williams dan McBirney,
1979).
3.2.2
Khuluk Cikuray
Khuluk Gunung Cikuray
adalah satuan gunung api yang muncul setelah gunungapi Kracak. Khuluk Cikuray
juga adalah satuan gunung api termuda setelah Khuluk Kracak yang berada di
bagian timur dari daerah penelitian. Satuan ini memliki morfologi perbukitan -
tersayat kuat dengan pola aliran paralel. Pada Khuluk Kracak ini hanya dijumpai
dua satuan yaitu breksi andesit porfiroafanitik aliran Kracak dan lava andesit porfiroafanitik
aliran Kracak pada daerah penelitian. Khuluk Kracak ini menempati ±62.58% dari
luas daerah penelitian dan berada di bagian barat daya daerah penelitian.
3.2.2.1
Satuan Lava Andesit Sheeting Aliran Gunungapi Cikuray
Satuan ini tersebar di
sebelah barat daerah penelitian, tersusun oleh lava porfiroafanitik aliran gunungapi
Cikuray. Kondisi batuan pada satuan ini sedikit lapuk, sedikitnya singkapan
segar menyebabkan sulitnya mencari batas kontak dengan satuan yang lain. Satuan
ini tersusun secara dominan oleh lava andesit porfiroafanitik dengan di
beberapa tempat terdapat pula yang memiliki tekstur porfiritik.
3.2.2.1.1 Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan lava andesit
porfiroafanitik aliran gunungapi cikuray ini menempati ±% dari luas daerah
penelitian dan berada di bagian baratdaya daerah penelitian. Satuan ini
meliputi Desa Mekarsari, Cilawu, Dayengmangu, Sukatani dan Sukamaju.
Hasil analisis pembagian
tubuh gunung api berdasarkan citra ASTER GDEM sangat membantu dalam penentuan
batas satuan, karena perbedaan litologi dan tingkat pelapukan telah tercermin
dari citra. Tebal keseluruhan dari satuan ini diperkirakan mencapai ± 200 m
berdasarkan rekonstruksi dari penampang geologi yang ada di Peta Geologi Gunung
Api (Lampiran Lepas 2).
3.2.2.1.2 Litologi
Penyusun
Litologi penyusun dari
satuan ini secara dominan disusun oleh lava andesit Sheeting . Lava andesit pada satuan ini secara megaskopis di
lapangan menunjukan lava andesit memiliki warna lapuk coklat, warna segar
abu-abu kehitaman, memiliki tekstur porfiroafanitik, struktur sheeting joint,
sampai masif. Komposisi mineral batuanya yaitu plagioclase 35%, hornblen 15 %,
feldspar 45% dan opak 5 % secara petrografi batuan ini bernama andesite (Strerckeisen,1976) (Lampiran
hal 87/Lp 101),(Gambar 3.7) (Tabel 3.3).
Tabel 3.3 Kolom litologi satuan lava andesit sheeting aliran gunungapi Cikuray.
Gambar 3.9 Lava
andesit aliran khuluk Cikuray (arah lensa N 130°E, foto diambil dari LP.9,
daerah Desa Mekarsari).
3.2.2.1.3 Umur
Penarikan umur relatif
sulit dilakukan dengan fosil karena pada satuan lava andesit pofiroafanitik
aliran gunungapi Cikuray ini termasuk pada batuan gunung api yang miskin akan
fosil. Oleh karena itu, untuk penentuan umur pada satuan lava andesit
porfiroafanitik aliran gunungapi Cikuray ini dilakukan berdasarkan
kesebandingan dengan stratigrafi regional lembar Garut – Pameungpeuk (Alzwar,
1992) ataupun mengacu kepada peneliti terdahulu, maka satuan ini berumur Holosen
3.2.2.1.4 Hubungan
Stratigrafi
Berdasarkan pada
stratigrafi regional (Alzwar, 1992) maka peneliti berkesimpulan hubungan
stratigrafi dengan satuan di bawahnya yaitu satuan lava andesit masif aliran
gunungapi Kracak adalah selaras.
3.2.2.1.5 Lingkungan
Pengendapan
Penentuan lingkungan
pengendapan ini dilakukan berdasarkan data lapangan meliputi morfologi satuan, batuan
penyusun satuan ini dan dilihat dari citra ASTER GDEM. Berdasarkan pengamatan
di lapangan dengan dijumpainya lava dari erupsi Gunung Kracak dan morfologi
yang melandai ke arah barat-timur laut, maka batuan ini diendapkan pada fasies proximal dari Gunungapi Cikuray (Gambar
3.8).
Gambar 3.10. Pembagian fasies gunung
api komposit menjadi central zone/pusat, proximal
zone/dekat pusat, intermediate zone/tengah
dan distal zone/jauh (Williams dan
McBirney, 1979).
3.2.2.2
Satuan Breksi Kemas Terbuka Aliran Gunungapi Cikuray
Satuan ini tersebar di
sebelah utara daerah penelitian, tersusun oleh litologi yaitu Breksi andesit
dari G.Cikuray dengan dijumpai juga lava pada beberapa lokasi pengamatan.
Kondisi batuan pada satuan ini sudah lapuk, sedikitnya singkapan segar
menyebabkan sulitnya mencari batas kontak dengan satuan yang lain.
3.2.2.2.1 Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan breksi andesit aliran gunungapi cikuray ini menempati ±10,2 %
dari luas daerah penelitian dan berada di bagian utara daerah penelitian.
Satuan ini meliputi Desa Ngamplang dan Ngamplangsari.
Hasil analisis pembagian
tubuh gunung api berdasarkan citra ASTER GDEM sangat membantu dalam penentuan
batas satuan, karena perbedaan litologi dan tingkat pelapukan telah tercermin
dari citra. Tebal keseluruhan dari satuan ini diperkirakan mencapai ±150m
berdasarkan rekonstruksi dari penampang geologi yang ada di Peta Geologi Gunung
Api (Lampiran Lepas 3).
3.2.2.2.2 Litologi
Penyusun
Litologi penyusun dari
satuan ini secara dominan disusun oleh breksi andesit dengan dijumpai pula lava
dibeberapa lokasi pengamatan hasil dari erupsi Gunung api Cikuray. Breksi andesit secara megaskopis memiliki warna lapuk
coklat, warna segar abu - abu, memiliki tekstur porfiritik dengan dicirikan
sortasi baik, kemas terbuka, struktur massif bentuk butir menyudut taanggung
dengan ukuran >2 mm dengan fragmen
berkomposis plagioklas 25%, feldspar 65%, hornblend 10% dan piroksen 5% dengan
nama petrografi andesite (Streckeisen,1976)
(Gambar 3.10)(Lampiran hal 101/Lp53). Sedangkan untuk matriksnya yaitu
berkomposisi feldspar 45%, kuarsa 30%, gelas 15% dan opak 10% dengan nama
petrografi Cristal Tuff (Schmid,1981)(Lampiran
hal 103/Lp53). Selanjutnya untuk sisipan lava yang dijumpai pada lapangan ini
memiliki kenampakan dilapangan berwarna segar abu-abu,dan warna lapuk coklat
bertekstur porfiroafanitik dengan struktur fragmental massif berkomposisi
mineral kuarsa 20%, plagioklas 20%, feldspar 35%, dan hornblen 5% dengan nama
petrografi andesite (Streckeisen),(Gambar
3.11) (Lampiran hal 91/Lp 49)(Tabel 3.4).
Tabel 3.4 Kolom litologi satuan breksi andesit kemas terbuka.
Gambar 3.10 breksi
andesite aliran gunungapi Cikuray (arah lensa N 190°E, foto diambil dari LP.58,
daerah Desa Ngamplangsari).
Gambar 3.11 Lava
andesite aliran gunungapi Cikuray (arah lensa N 190°E, foto diambil dari LP.49,
daerah Desa Ngamplangsari).
3.2.2.2.3 Umur
Penarikan umur relatif
sulit dilakukan dengan fosil karena pada satuan breksi andesit afanitik aliran
Cikuray ini termasuk pada batuan gunung api yang miskin akan fosil. Oleh karena
itu, untuk penentuan umur pada satuan lava andesit afanitik aliran Cikuray ini
dilakukan berdasarkan kesebandingan dengan stratigrafi regional lembar Garut -
Pameungpeuk (Alzwar, 1992) ataupun mengacu kepada peneliti terdahulu, maka
satuan ini berumur Holosen.
3.2.2.2.4 Hubungan
Stratigrafi
Berdasarkan pada stratigrafi
regional (Alzwar, 1992) maka peneliti berkesimpulan sementara hubungan
stratigrafi dengan satuan di bawahnya yaitu satuan lava andesit aliran Cikuray
adalah selaras.
3.2.2.2.5 Lingkungan
Pengendapan
Penentuan lingkungan
pengendapan ini dilakukan berdasarkan data lapangan meliputi morfologi satuan,
batuan penyusun satuan ini dan dilihat dari citra ASTER GDEM. Berdasarkan
pengamatan di lapangan dengan dijumpainya lava hasil dari erupsi Gunung Cikuray
dan morfologi yang melandai ke barat daya – timur laut, maka batuan ini
diendapkan pada fasies proksimal –
intermediate dari Gunung api Cikuray
(Gambar 3.10).
Gambar 3.12 Pembagian
fasies gunung api komposit menjadi central zone/pusat, proximal zone/dekat
pusat, intermediate zone/tengah dan distal zone/jauh (Williams dan McBirney, 1979).
3.2.3 Endapan
Lahar
Satuan ini tersebar di antara
dua khuluk Cikuray, terdiri dari endapan dengan ukuran kerikil sampai bongkah
dan berada pada ketinggian 900 – 1000
mdpl.
3.2.3.1
Satuan Endapan Lahar Gunungapi Cikuray
Satuan ini tersebar dari selatan ke utara daerah
penelitian, tersusun oleh litologi endapan lahar dengan ukuran kerikil sampai
bongkah dengan bentuk berbeda- beda dengan fragmen yang dijumpai yaitu andesite
dengan warna abu-abu, struktur massif, dan tekstur afanitik.
3.2.3.2
Penyebaran dan Ketebalan
Satuan endapan lahar ini
menempati ±30 % dari luas daerah penelitian dan berada di bagian selatan samapi
utara daerah penelitian. Satuan ini meliputi Desa Kersamaju, Tanjungkarang,
Nangtang, Tanjungkarang, Neglasari dan Pusparaja.
Hasil analisis pembagian
tubuh gunungapi berdasarkan citra ASTER GDEM sangat membantu dalam penentuan
batas satuan, karena perbedaan litologi dan tingkat pelapukan telah tercermin
dari citra. Tebal keseluruhan dari satuan ini diperkirakan mencapai ±28 m
berdasarkan rekonstruksi dari penampang geologi yang ada di Peta Geologi Gunung
Api (Lampiran Lepas 2).
3.2.3.2.1 Litologi
Penyusun
Litologi penyusun dari
satuan ini secara dominan disusun oleh endapan lava andesit afanitik hasil dari
erupsi Gunungapi disekitarnya yaitu
Gunungapi Cikuray. Fragmen andesit secara megaskopis di lapangan menunjukan warna
lapuk coklat, warna segar abu-abu kehitaman, memiliki tekstur afanitik, struktur masif. Komposisi plagioklas 35%, feldspar 45%, dan hornblende
15% dengan nama petrografi andesite (Streckeisen,1976)(Lampiran
hal 95/Lp110). (Gambar 3.11) (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Kolom litologi satuan endapan lahar Ckuray
Gambar 3.11 Endapan
lahar dengan fragmen andesite (arah lensa N 120°E, foto diambil dari LP.23,
daerah Desa Kotakulon).
3.2.3.2.2 Umur
Penarikan umur relatif
sulit dilakukan dengan fosil karena pada endapan lahar ini termasuk pada batuan gunung api yang miskin akan fosil. Oleh
karena itu, untuk penentuan umur pada satuan endapan lahar ini dilakukan
berdasarkan kesebandingan dengan stratigrafi regional lembar Garut -
Pameungpeuk (Alzwar, 1992) ataupun mengacu kepada peneliti terdahulu, maka
satuan ini berumur Holosen.
3.2.3.2.3 Hubungan
Stratigrafi
Berdasarkan pada stratigrafi
regional (Alzwar, 1992 maka peneliti berkesimpulan sementara hubungan
stratigrafi dengan satuan di bawahnya yaitu satuan breksi andesite aliran
khuluk cikuray adalah selaras.
3.2.3.3 Lingkungan
Pengendapan
Penentuan lingkungan
pengendapan ini dilakukan berdasarkan data lapangan meliputi morfologi satuan,
batuan penyusun satuan ini dan dilihat dari citra ASTER GDEM. Berdasarkan
pengamatan di lapangan dengan dijumpainya lahar hasil dari erupsi Gunungapi. Maka
batuan ini diendapkan pada fasies intemediate Khuluk Cikuray (Gambar 3.12).
Gambar 3.12 Pembagian fasies
gunung api komposit menjadi central zone/pusat, proximal zone/dekat pusat,
intermediate zone/tengah dan distal zone/jauh (Williams dan McBirney, 1979).
2.2.5 Kesebandingan Stratigrafi Regional dengan Daerah Penelitian
Berdasarkan
hasil analisis secara keseluruhan pada seluruh satuan batuan yang terdapat di
daerah penelitian, maka dapat disebandingkan antara stratigrafi daerah
penelitian dengan stratigrafi regional peneliti terdahulu (Peta Geologi
Regional Lembar Garut - Pamaumpeuk, Alzwar, dkk., 1992). Kesebandingan
stratigrafi regional terhadap stratigrafi daerah penelitian akan ditampilkan
dalam kolom kesebandingan (Tabel 3.6). Hasil kesebandingan antara stratigrafi regional
dengan stratigrafi daerah penelitian dapat diketahui bahwa Satuan Khuluk
Kracak termasuk dalam Formasi Gunung api
tua yang berumur Kuarter (Pliestosen Akhir) Gunung
api Kracak- Puncak Gede (Qkp). Selain itu untuk satuan Khuluk Cikurai masuk
dalam formasi Gunung api muda yang burumur (Holosen) Gunung api muda (Gyc) dan
yang terakhir yang berumur paling muda yaitu endapan lahar masuk dalam Formasi
endapan Kolofium (Qk).
Table 3.6 Kesebandingan daerah penelitian.
GEOMORFOLOGI
Proses dari Tugas Akhir 2 ini meliputi penelitian
mengenai kondisi geologi rinci, sortasi lokasi pengamatan, analisis
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, pengukuran ketebalan,
pengelompokan satuan, analisis petrografi, analisis potensi geologi lingkungan
yang tersusun dalam laporan Tugas Akhir 2. Proses - proses tersebut akan
menghasilkan peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi dan
laporan Tugas Akhir 2 yang disertai hasil dari masalah khusus yang diambil,
semua terangkum pada diagram alir penelitian (Gambar 2.1).
Gambar
2.1 Diagram skema alur penelitian.
2.1 Geomorfologi
2.1.1 Metode Analisis Geomorfologi Daerah
Penelitian
Analisis
geomorfologi yang dilakukan dalam penelitian yaitu meliputi analisis bentuk
morfologi khusus (pola circular,
bentukan tapal kuda, morfologi sisa gunung api), pembagian satuan geomorfologi
(morfometri dan morfogenesa), penentuan pola pengaliran, dan proses
geomorfologi, serta stadia daerah. Dalam menganalisis kondisi geomorfologi dan
melakukan pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian, penulis melihat
kondisi morfologi pada daerah penelitian masih relatif sama dengan pola kontur.
Hal tersebut dikarenakan tidak ada aktifitas penambangan maupun aktifitas lain
yang merubah morfologi secara singkat di lapangan. Oleh karena itu peneliti
melakukan analisis pada peta topografi dengan melihat pola – pola kontur dan
kemudian melakukan sayatan morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan
langsung di lapangan.
Tahap awal yang dilakukan dalam analisis
geomorfologi adalah analisis bentuk morfologi khusus terkait gunung api yaitu
pola circular, bentukan tapal kuda dan morfologi sisa gunung api.
Analisis pada tahap ini dilakukan pada Citra DEM dengan menggunakan software
Global Mapper. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya sisa aktivitas
gunung api di masa lalu seperti yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu
(Bronto, 2006). Selain itu juga bertujuan untuk membagi tubuh gunung api guna
memudahkan dalam pembagian satuan geomorfologi gunung api.
Pembagian satuan
geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada 2 aspek yaitu morfometri dan morfogenesa. Satuan geomorfologi morfometri yaitu
pembagian kenampakan satuan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi
(Tabel 2.1) menurut van Zuidam dan van Zuidam – Cancelado (1979). Hal
tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui kesamaan relatif nilai sudut lereng dan beda tinggi dari
puncak sampai dasar lekukan dari suatu morfologi. Sedangkan pembagian
morfogenesa didasarkan pada klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Tabel 2.3
dan Tabel 2.4) oleh Brahmantyo dan Bandono (2006). Pembagian satuan geomorfologi ini
merupakan kombinasi dari 2 klasifikasi berbeda karena dalam satuan Bentuk Muka
Bumi (BMB) oleh Brahmantyo dan Bandono tidak dijelaskan secara rinci tentang morfometri dari bentang alam
yang ada, sehingga dengan kombinasi ini diharapkan diperoleh satuan
geomorfologi yang menjelaskan aspek morfometri dan morfogenesa dari masing –
masing satuan geomofologi yang ada.
Acuan
pembagian Klasifikasi BMB ini akan mengikuti beberapa kriteria di bawah ini:
1. Secara umum dibagi berdasarkan satuan bentang
alam yang dibentuk akibat proses – proses endogen/ struktur geologi (pegunungan
lipatan, pegunungan plateau/ lapisan datar, Pegunungan Sesar, dan gunung api)
dan proses – proses eksogen (pegunungan karst, dataran sungai dan danau,
dataran pantai, delta, dan laut, gurun, dan glasial), yang kemudian dibagi ke
dalam satuan bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh proses – proses
eksogen.
2. Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen,
termasuk di dalamnya adalah lembah dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh
proses endogen maupun oleh proses eksogen.
3. Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau
titik belok dari bentuk gelombang sinusoidal ideal. Di alam, batas lembah
dicirikan oleh tekuk lereng yang umumnya merupakan titik – titik tertinggi endapan
koluvial dan/ atau aluvial.
4. Penamaan satuan paling sedikit mengikuti
prinsip tiga kata, atau paling banyak empat kata bila ada kekhususan; terdiri
dari bentuk/ geometri/ morfologi, genesa morfologis (proses – proses endogen –
eksogen), dan nama geografis. Contoh : Lembah Antiklin Welaran, Punggungan
Sinklin Paras, Perbukitan Bancuh Seboro, Dataran Banjir Lokulo, Bukit Jenjang
Vulkanik Selacau, Kerucut Gunungapi Guntur, Punggungan Aliran Lava Guntur,
Kubah Lava Merapi, Perbukitan Dinding Kaldera Maninjau, Perbukitan Menara Karst
Maros, Dataran Teras Bengawan Solo, Dataran Teras Terumbu Cilauteureun, dsb.
Satuan
– satuan geomorfologi yang telah ditentukan berdasarkan kombinasi klasifikasi
morfometri menurut van Zuidam dan van
Zuidam – Cancelado
(1979) serta
penentuan morfogenesa
yang mengacu pada klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB)
oleh Brahmantyo dan Bandono (2006), untuk
memudahkan pengenalannya dalam peta geomorfologi daerah penelitian maka dibuat
suatu simbol satuan geomorfologi. Penentuan simbol satuan geomorfologi ini
mengacu pada standarisasi penyusunan peta geomorfologi yang disusun oleh Badan
Standarisasi Nasional Indonesia (1996) dengan beberapa penyesuaian terhadap
parameter deskripstif satuan geomorfologi tersebut. Dalam simbol satuan
geomorfologi tersebut terdapat 4 karakter (X.X.X.X) yang mencerminkan masing –
masing parameter dalam setiap satuan geomorfologi yang telah ditentukan.
Secara
lebih jelas, berikut uraian terkait penentuan simbol satuan geomorfologi :
a. Karakter pertama (X.X.X.X) merupakan suatu huruf yang
mencerminkan morfogenesa satuan geomorfologi tersebut yang mengacu pada
klasifikasi van Zuidam (1983) misalnya “F” untuk satuan geomorfologi yang
terbentuk oleh proses fluviatil, “V” untuk satuan geomorfologi yang terbentuk oleh proses
vulkanik, dan sebagainya.
b. Karakter kedua (X.X.X.X) merupakan suatu angka yang
mencerminkan bentuk muka bumi yang mengacu pada klasifikasi BMB menurut Brahmantyo dan Bandono (2006). Angka tersebut merupakan nomor urut dalam
klasifikasi BMB (2006) misalnya dalam bentang alam pegunungan gunung api, angka
“11” merupakan punggungan aliran piroklastika, angka “10” merupakan punggungan
aliran lava dan angka “12” merupakan punggungan aliran piroklastika.
c. Karakter ketiga (X.X.X.X) merupakan suatu angka yang
mencerminkan klasifikasi morfometri menurut van Zuidam dan van Zuidam – Cancelado (1979). Angka tersebut merupakan nomor urut dalam klasifikasi tersebut
misalnya angka “3” merupakan topografi bergelombang lemah – kuat, angka “4”
merupakan topografi bergelombang kuat – perbukitan, angka “5” merupakan
topografi perbukitan – tersayat kuat, dan sebagainya.
d. Karakter keempat
(X.X.X.X) suatu angka yang
mencerminkan nama geografis yang digunakan dalam penentuan satuan geomorfologi.
Dalam hal ini peneliti menggunakan angka “1” untuk mencerminkan nama geografis
Cikuray, “2” untuk menjelaskan nama geografis Kracak,.
Pewarnaan satuan geomorfologi daerah
penelitian mengacu pada klasifikasi menurut van Zuidam (1979) (Tabel 2.2),
karena dalam klasifikasi BMB menurut Brahmantyo dan Bandono (2006) tidak
ditentukan secara jelas terkait penentuan warna satuan bentuk muka bumi yang
ada.
Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut
lereng dan beda tinggi (van Zuidam dan van Zuidam - Cancelado, 1979)
No
|
Relief
|
Kelerengan (%)
|
Beda
Tinggi
(m)
|
1
|
Topografi
dataran
|
0 – 2
|
< 5
|
2
|
Topografi
bergelombang lemah
|
3 – 7
|
5 – 50
|
3
|
Topografi
bergelombang lemah – kuat
|
8 – 13
|
25 – 75
|
4
|
Topografi
bergelombang kuat – perbukitan
|
14 – 20
|
50 – 200
|
5
|
Topografi
perbukitan – tersayat
kuat
|
21 – 55
|
200 – 500
|
6
|
Topografi
tersayat kuat
– pegunungan
|
56 – 140
|
500 – 1000
|
7
|
Topografi
pegunungan
|
> 140
|
> 1000
|
Tabel
2.2
Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan (van Zuidam,
1979).
No
|
Genesa
|
Pewarnaan
|
1
|
Denudasional (D)
|
Coklat
|
2
|
Struktural (S)
|
Ungu
|
3
|
Vulkanik (V)
|
Merah
|
4
|
Fluvial
(F)
|
Biru
|
5
|
Marine
(M)
|
Biru
gelap
|
6
|
Karst
(K)
|
Orange
|
7
|
Glasial
(G)
|
Biru
terang
|
8
|
Eolian
(E)
|
Kuning
|
Tabel 2.3 Bentang alam pegunungan gunung api (Brahmantyo dan Bandono,
2006)
Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan
berdasarkan klasifikasi Howard (1967, dalam
Thornbury, 1969) (Gambar 2.2). Pola pengaliran (drainage pattern)
merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang
merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang
(Thornbury, 1969).
Gambar 2.2 Jenis - jenis pola aliran sungai menurut (Howard, 1967 dalam Thornbury,
1969), A. Pola
aliran dasar, B. Pola aliran ubahan.
Perkembangan
dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah
kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik kuarter, serta
sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage basin). Beberapa pola aliran dasar yang
mengacu pada pola pengaliran dasar dan ubahan dari Howard (1967)
(Gambar 2.2) adalah sebagai berikut:
1. Dendritic, berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-cabang sungai
(anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang
runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa
pengendalian struktur. Contoh pada batuan beku atau lapisan horisontal.
2. Parallel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar,
mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula
pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai
kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada
lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan
sungai-sungai sekunder (cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai
utama, mencirikan daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
4. Rectangular, pola
aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut
siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang saling
berpotongan dan juga sesar.
5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari
satu titik pusat berasosiasi pada kubah, tubuh gunungapi dan pada tipe-tipe
bukit kerucut/conical hills yang terisolasi.
6. Annular, bentuknya
melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang tererosi puncaknya atau
struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe subsekuen, cabangnya
dapat obsekuen atau resekuen.
7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan
atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau topografi
karst.
8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di
daerah metamorf yang bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis
yang memiliki resistensi yang
sama.
9. Subdendritic, merupakan pola
modifikasi dari pola aliran dendritic yang secara umum dipengaruhi oleh
struktur geologi.
10. Pinnate,
merupakan pola modifikasi dari
pola aliran dendritic yang dicirikan
oleh jarak yang berdekatan, banyaknya anak sungai yang memasuki induk sungai
dengan sudut tajam. Pola ini terlihat seperti bulu atau daun pakis. Pola ini
berkembang baik pada tekstur halus dan material yang mudah tererosi.
11. Anastomatic,
merupakan pola modifikasi dari
pola aliran dendritic yang dicirikan
oleh jaringan saluran yang saling menyambung, rawa dan oxbow lake yang dapat ditemukan pada daerah dataran banjir, delta
dan daerah rawa pasang surut (tidal
marshes).
12. Distributary,
merupakan pola modifikasi dari
pola aliran dendritic. Pola ini
ditemukan pada daerah kipas alluvial dan delta.
13. Subparallel,
merupakan pola modifikasi dari
pola aliran parallel. Pola ini
dipengaruhi oleh sedikit kontrol struktur geologi, kemiringan morfologi
menengah, umumnya mempunyai batuan dengan resistensi yang seragam terhadap
erosi dan cukup adanya kesejajaran sepanjang daerah aliran utama dan anak
sungai.
14. Colinear,
merupakan pola modifikasi dari
pola aliran parallel yang dicirikan
oleh kesejajaran aliran yang sungguh lurus yang kadang hilang dan muncul lagi.
Pola ini dapat ditemukan pada daerah linear
loess dan sand ridges.
15. Directional
trellis, merupakan pola
modifikasi dari pola aliran trellis.
Pola ini umumnya dapat ditemukan pada daerah yang mempunyai lapisan homoclin dengan kemiringan batuan yang
kecil dan pada kemiringan morfologi lemah dengan punggung pantai.
16. Recurved
trellis, merupakan pola
modifikasi dari pola aliran trellis. Pola
ini terbentuk pada daerah sekitar hidung dari plunging folds.
Stadia sungai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : tingkat
erosi, baik erosi vertikal maupun erosi horizontal, jenis batuannya, kemiringan
lereng, kedalaman, iklim, aktivitas organisme dan waktu. Menurut Thornbury
(1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga stadia yaitu stadia muda, dewasa dan tua.
1.
Stadia muda dicirikan dengan
sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat, erosi vertikal lebih besar
daripada erosi lateral, lembah berbentuk V, tidak terdapat dataran banjir,
gradien sungai curam, ditandai dengan adanya jeram dan air terjun, arus sungai
deras, bentuk sungai relatif lurus.
2.
Stadia dewasa ini dicirikan
oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang, dataran banjir mulai
terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat dibanding
erosi vertikal pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar lembah
berbentuk U.
3.
Stadia tua dicirikan oleh
kecepatan aliran makin berkurang, pelebaran lembah lebih kuat dibanding
pendalaman sungai, dataran banjir lebih lebar dibanding sabuk meander, lembah berbentuk U, danau tapal
kuda, tanggul alam lebih umum dijumpai daripada ketika sungai bertingkat
dewasa.
Untuk
menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat penting memperhatikan
berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang
telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya
untuk mengetahui proses - proses geologi yang telah berlangsung pada daerah
tersebut. Proses tersebut bisa berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi,
magmatisme) dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah
penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi.
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi
daerah telah berubah dari morfologi aslinya (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Tahap - tahap perkembangan bentang alam
gunung api (Hartono, 2011).
2.1.2 Fisiografi Regional
Fisiografi Jawa Barat dibagi berdasarkan kondisi morfologi, litologi
penyusun dan pola struktur yang ada menjadi 6 Zona Fisiografi yang berarah
barat - timur (van Bemmelen, 1949 dalam
Martodjojo, 1984). Zona – zona ini dari utara sampai selatan (Gambar 2.4)
yaitu:
1.
Zona Dataran Pantai Jakarta
Zona Dataran Pantai Jakarta mempunyai lebar sekitar 40 km
yang membentang dari Serang sampai ke Cirebon. Dataran ini terdiri oleh endapan
aluvial sungai dan lahar dengan sesekali terdapat sedikit sedimen laut tersier
yang terlipat.
2.
Zona Bogor
Zona Bogor terletak di sebelah selatan dari Dataran
Pantai Jakarta ini memanjang barat - timur dimulai dari Rangkasbitung ke sebelah timur melalui Purwakarta
dan Subang serta membelok ke Tenggara sampai Majenang – Bumiayu Jawa Tengah,
dengan lebar sekitar 40km. Litologi pada zona ini yaitu batuan sedimen berumur
Neogen yang terlipat kuat sehingga membentuk antiklinorium dan batuan terobosan. Di bagian bawah berupa flysch dan batulempung sedangkan di
bagian atasnya diendapkan breksi.
3.
Zona Pegunungan Bayah
Zona ini
terletak di bagian barat daya Jawa Barat. Morfologi yang dapat dijumpai pada
Zona Pegunungan Bayah berupa kubah dan punggungan yang berada pada zona depresi
tengah.
4.
Zona Bandung
Zona Bandung merupakan daerah depresi di antara barisan
pegunungan (intermontane depressions).
Zona ini memanjang dari barat ke timur, dimulai dari Lembah Cimandiri di barat
Sukabumi sampai Segara Anakan di Pantai Selatan Jawa Tengah dengan lebar antara
20-40 km. Pegunungan yang membatasi depresi-depresi tersebut pada umumnya
berupa tinggian yang tersusun atas batuan yang berumur tersier. Secara
struktural, zona ini merupakan puncak antiklin Jawa Barat yang runtuh setelah
pengangkatan. Daerah rendah ini kemudian terisi oleh endapan gunung api muda.
5.
Zona Gunung Api Kuarter
Zona Gunungapi Kuarter
tersebar di sekitar bagian tengah Jawa Barat. Zona ini terbentuk hasil dari
endapan gunungapi berumur Kuarter. Beberapa Gunungapi di daerah Jawa Barat
yaitu Kendeng (1.370 m), Gagak (1.511 m), Salak (2.211 m), Gede-Pangrango
(3.019 m), Burangrang (2.064 m), Tangkuban Prahu (2.076 m), Bukittunggul (2.209
m), Calancang (1.667 m), Cakrabuwana (1.721 m). Pada bagian timur Zona Bogor
tertutupi oleh gunungapi muda yaitu Bukittunggul (2.209 m), Tampomas (1.684 m)
dan Ciremai (3.078 m). Batas antara Zona Bandung dengan Pegunungan Selatan juga
dibatasi oleh rangkaian gunung api yaitu Kendeng (1.852 m), Patuha (2.429 m),
Tilu (2.040 m), Malabar (2.321m), Papandayan (2.622 m), Cikuray (2.821 m).
6.
Pegunungan Selatan
Pegunungan Selatan ini membentang dari Pelabuhan Ratu
sampai Pulau Nusakambangan. Zona ini rata-rata mempunyai lebar 50 km, tetapi
pada bagian timur menyempit beberapa kilometer ke Pulau Nusakambangan. Litologi
dari zona ini yaitu batuan hasil gunungapi berumur Oligo-Miosen dan batuan
sedimen Tersier fasies laut. Pegunungan Selatan dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a.
Djampang Section,
Terletak pada bagian barat Pegunungan Selatan dimana
erosi dari laut Hindia meningkat secara bertahap hingga ketinggian 1000 m.
Terdapat beberapa volcanic necks yang
tahan terhadap erosi (Mt Malang 1.305 m) dan kemudian dirusak oleh adanya sesar
yang melengkung ke Zona Bandung.
b.
Pangalengan Section,
Terletak pada bagian tengah Pegunungan Selatan yang
merupakan salah satu bagian tertinggi. Terdapat gunungapi mati (Kancana, 2.182 m)
yang kemudian dirusak oleh step fault yang
melengkung ke Zona Bandung.
c.
Karangnunggal Section.
Karangnunggal Section
merupakan bagian timur dari Pegunungan Selatan. Bagian ini menyerupai Djampang Section dimana berupa mountain land dengan ketinggian agak
rendah yang tidak lebih dari 1000 m (Bongkok 1.144 m). Perbedaan ketinggian di antara
bagian tengah (Pangalengan section)
pada satu sisi dan Djampang Section
ke barat dan Karangnunggal Section ke
timur pada satu sisi yang lain, saat transgeresi Miosen Atas pada rangkaian
Bentang-Beser bagian tengah (Pangalengan Section)
tidak seluruhnya terendam, yang merupakan pulau saat itu.
Berdasarkan ciri – ciri dari masing - masing Fisiografi Jawa Barat di atas, maka
daerah penelitian termasuk dalam Fisiografi Gunung api
Kuarter yang merupakan bagian dari
Zona Depresi Tengah Jawa Barat.
Gambar 2.4 Peta Fisiografi Jawa Barat (modifikasi dari van Bemmelen,
1949).
2.1.3 Satuan
Geomorfologi Daerah Penelitian
Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian
mengacu pada kombinasi klasifikasi lereng dan relief (van Zuidam dan Cancelado,
1979) dengan klasifikasi Bentuk Muka Buni (BMB) yang menitikberatkan pada
proses – proses geologi baik eksogen maupun endogen (Brahmantyo, B. dan
Subandono, 2006) (Gambar 2.5). Penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga
kata, atau paling banyak empat kata bila ada kekhususan; terdiri dari bentuk /
geometri / morfologi, genesa morfologis (proses-proses endogen – eksogen), dan
nama geografis (Brahmantyo, B. dan
Subandono, 2006).
Dalam pengkodean satuan geomorfologi
didasarkan pada pengkodean SNI 1999 yang dikeluarkan oleh BSN (Badan Standarisasi
Nasional (1996) ).
Gambar 2.5 Kenampakan pembagian geomorfologi
berdasarkan Citra SRTM
Berdasarkan kriteria acuan pembagian klasifikasi BMB
(Brahmantyo dan Bandono, 2006), maka daerah penelitian terbagi menjadi:
1. Satuan
bergelombang lemah - kuat punggungan aliran lahar Cikuray (V.11.3.1).
2. Satuan
bergelombang kuat - perbukitan punggungan aliran piroklastik Cikuray (V.12.4.1).
3.
Satuan bergelombang kuat -
perbukitan punggungan aliran lava Cikuray (V.10.4.1).
4. Satuan
perbukitan – tersayat kuat punggungan aliran lava Kracak (V.10.5.2).
2.1.3.1 Satuan
Bergelombang Lemah - Kuat
Punggungan Aliran Lahar Cikuray (V.11.3.1).
Satuan ini menempati 30,1
% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Sukamaju, Sukatani, Mekarsari, Pasanggrahan, Margalaksana, Suci, dan
Lebak Jaya. Secara
Morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata - rata 9,9 % dan beda
tinggi rata - rata 43,7 meter (Tabel Lampiran 4, hal 85). Secara morfogenesa satuan ini
terbentuk akibat aktivitas vulkanisme yang tersusun oleh litologi berupa
endapan lahar yang berukuran kerikil – bongkah. Ciri – ciri daerah ini vulkanik
yaitu dengan pola kontur yang merapat dan pola aliran berupa parallel dan subparalel. Tata guna lahan di daerah ini adalah pemukiman,
persawahan, perkebunan, dan ladang. Kenampakan morfologi
disajikan pada (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Satuan
geomorfologi bergelombang lemah- kuat punggungan aliran lahar gunungapi Kracak-
Cikuray. Arah lensa N 93°E (Foto diambil di Desa Sukatani, Lp 111).
2.1.3.2 Satuan
Bergelombang Kuat -
Perbukitan Punggungan aliran piroklastika
Cikuray ( V.12.4.1).
Satuan ini menempati 10,2
% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Ngamplang dan Ngamplangsari. Secara morfometri satuan ini mempunyai
kelerengan rata - rata 16,62% dan beda tinggi
rata - rata 60,23 meter (Tabel Lampiran 3, hal 84). Secara morfogenesa satuan ini terbentuk
akibat aktivitas vulkanisme yang tersusun oleh litologi berupa breksi andesit
porfiritik dan lava andesit porfiroafanitik. Ciri – ciri daerah ini vulkanik
yaitu dengan pola kontur yang merapat dan pola aliran berupa subparalel. Tata guna lahan di daerah ini adalah pemukiman, persawahan, dan perkebunan,. Kenampakan morfologi disajikan pada (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Satuan
geomorfologi bergelombang kuat perbukitan kaki gunungapi cikuray. Arah lensa N
105°E (Foto diambil di Desa Margalaksana Lp 118),
2.1.3.3 Satuan Bergelombang Kuat - Perbukitan
Punggungan Aliran Lava Cikuray (V.10.4.1)
Satuan ini menempati 18,1
% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Cilawu, Karyamekar, Dayeuhmanggung, Mekarsari,
Sukatani, Dan Sukamaju. Secara
Morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata - rata 17,22
% dan beda tinggi rata - rata 61,88 meter (Tabel Lampiran 1, hal 81). Secara morfogenesa satuan ini
terbentuk akibat aktivitas vulkanisme yang tersusun oleh litologi berupa lava andesit porfiroafanitik. Ciri – ciri daerah ini vulkanik yaitu
dengan pola kontur yang merapat dan merenggang kearah bawah dan pola aliran
berupa paralel. Tata guna lahan di daerah ini adalah pemukiman, persawahan dan
perkebunan. Kenampakan morfologi disajikan pada (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Satuan
geomorfologi bergelombang kuat punggungan aliran lava Gunungapi Cikuray. Arah
lensa N 275°E Lp 22 (Foto diambil di Desa Margawati).
2.1.3.4 Satuan Perbukitan – Tersayat Kuat Punggungan
Aliran Lava Khuluk Gunungapi Kracak (V.10.6.2)
Satuan ini menempati 31,3
% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu meliputi Desa Margawati, Sukanegla, Cimuncang, Lebak agung,
Tanjungsari, Godok, dan Sindanggalih.
Secara Morfometri satuan ini mempunyai kelerengan rata - rata 23,33 % dan beda tinggi rata - rata 68,97 meter (Tabel
Lampiran 2, hal 82). Secara morfogenesa satuan ini
terbentuk akibat aktivitas vulkanisme yang tersusun oleh litologi berupa Lava
andesit porfiroafanitik. Ciri – ciri daerah ini vulkanik yaitu dengan pola
kontur yang merapat dan merenggang kearah bawah dan pola aliran berupa parallel dan sub paralel. Tata guna lahan di daerah ini adalah
pemukiman, persawahan dan perkebunan. Kenampakan morfologi disajikan pada
(Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Satuan geomorfologi bergelombang
kuat – perbukitan punggungan aliran lava Gunungapi Kracak. Arah lensa N 75°E Lp 25 (Foto diambil di Desa Margawati).
2.1.4
Pola
Pengaliran
Berdasarkan dari
pengamatan peta topografi maupun pengamatan di lapangan, pola pengaliran di
daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua pola pengaliran utama (Gambar 4.7) yaitu pola paralel dan suparalel.
Gambar 2.10 Pola pengaliran pada daerah
penelitian.
2.1.4.1 Pola
Pengaliran Paralel
Pola pengaliran yang
mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng
sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan
memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau
trellis. Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin. (Howard,1967).
Pola pengaliran paralel
menempati ±45% dari total luasan di daerah penelitian yaitu meliputi Sungai Ci
Goong, Ci Harus, Ci Pejeuh, Ci Akar, CI Hedeng, dan Ci Wulan. Pola ini
berkembang pada bentang alam bergelombang punggungan aliran lahar gunungapi,
bergelombang lemah dataran kaki gunung api Cikuray, bergelombang kuat
punggungan aliran lava gunungapi Cikuray, bergelombang kuat - perbukitan
punggungan aliran lava gunung api Kracak, dan perbukitan - tersayat kuat
punggungan aliran lava gunungapi Kracak yang tersusun atas lava andesit
porfiroafanitik dan endapan – endapan lahar berukuran bongkah. Daerah yang
memiliki pola pengaliran paralel ini diinterpretasikan sebagai daerah
lereng/punggungan suatu tubuh gunung api karena terdapat sungai sungai yang
relative sejajar. Tata guna lahan pada satuan geomorfologi ini adalah
pemukiman, perkebunan, persawahan dan hutan.
2.1.4.2 Pola
Pengaliran Subparalel
Pola pengaliran subparalel
ini merupakan pola ubahan dari pola pengaliran parallel yang berkembang pada
morfologi kemiringan menengah.(Howard, 1967).
Pola pengaliran subparalel menempati
±65% dari total luasan di daerah penelitian yaitu meliputi Sungai Ci Rium, Ci
Pejeuh, Ci Maragas, Ci Walen, Ci Haliung, Ci Weras, Ci talung dan Ci Jagala. Pola
ini berkembang pada bentang alam bergelombang punggungan aliran lahar, dan
bergelombang kuat – perbukitan aliran lava gunungapi Kracak yang tersusun atas
lava andesit porfiroafanitik dan endapan – endapan lahar berukuran bongkah.
Tata guna lahan pada satuan geomorfologi ini adalah pemukiman, perkebunan,
persawahan, ladang dan hutan.
2.1.5
Proses Geomorfologi
Morfogenesis adalah
suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan bentang alam yang ada pada
suatu daerah serta proses - proses geologi (proses endogenik dan eksogenik)
yang mengontrolnya (Thornbury, 1969). Proses - proses endogenik (asal dalam)
tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan tektonik serta proses eksogenik
(asal luar) seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi. Media geomorfologi
mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan
bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan
atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut
proses endogen.
Bentuk lahan dari proses
geomorfologi dapat berupa bentuk lahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau
bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional
landform). Daerah penelitian sendiri menurut pembagian zona fisiografi oleh
van Bemmelen (1979) termasuk dalam zona depresi tengah pulau jawa atau zona
bandung di daerah jawa bagian barat yang sebagian diterobos oleh gunung api Kuarter.
Aktivitas vulkanisme dan tektonik bersifat constructive
(membangun) pada daerah penelitian. Daerah Kabupaten Garut dan Kabupaten
Tasikmalaya secara keseluruhan tersusun oleh batuan hasil kegiatan gunung api.
Martodjodjo (2003) menyebutkan bahwa telah terjadi 3 kali magmatisme - vulkanisme
yang terjadi sejak Kapur - Eosen yang dibuktikan dengan hadirnya granit dan
batuan vulkanik berumur Eosen Formasi Jatibarang berarah timur laut - barat daya,
Oligo - Miosen yang ditandai dengan hadirnya batuan vulkanik di pegunungan
selatan jawa barat, dan yang terakhir adalah munculnya gunung api muda di
daerah penelitian yang berada di bagian barat jawa dimana telah ada sejak
pliosen hinggal sekarang. Proses tektonik sendiri berlangsung bersamaan dengan
magmatisme – vulkanisme yang terjadi dimana menjadi kontrol terhadap kemunculan
gunung api sejak Kapur-Eosen, Oligo - Miosen juga Pliosen - Resen.
Tahap pembangunan (constructive) yang paling terakhir terjadi
pada kala Pliosen yang ditandai dengan hadirnya batuan gunung api berumur
Pliosen yang berasal dari gunung api Mandalawangi, gunung api Mandalagiri,
gunung api Guntur, gunung api Pangkalan dan gunungapi Kendang (Alzwar, dkk,
1992). Selanjutnya yaitu tahap destructive (merusak) yang disebabkan dengan adanya
proses eksogenik seperti pelapukan, erosi dan transportasi yang berlangsung
intensif sejak vulkanisme pada daerah ini berakhir hingga saat ini, karena
setiap batuan memiliki sifat resistensi yang berbeda maka terbentuklah sisa
morfologi sebagai akibat proses eksogenik yang dikontrol oleh litologi itu
sendiri dan juga struktur geologi.
2.1.6
Stadia Sungai
Mengacu pada hasil
perbandingan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), secara umum
stadia sungai dibagi menjadi 3 yaitu muda, dewasa, dan tua dimana dari ketiga
ini memilik ciri-ciri yang berbeda, pola pengaliran daerah penelitian termasuk
dalam stadia dewasa. Stadia sungai dewasa dicirikan oleh kecepatan aliran
berkurang, kemiringan sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai
terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat dibanding erosi vertical
(Gambar 4.8). Sungai dengan stadia dewasa contohnya adalah
Sungai Ci Wulan.
Gambar 2.11 Kenampakan
aliran sungai stadia dewasa dengan sifat erosional lateral (Foto diambil di
Desa Sukatani. Arah lensa N 150°E).
2.1.7
Stadia Daerah
Stadia daerah dikontrol
oleh litologi dan proses geomorfologi daerah penelitian yang termaksut dalam
bentang alam vulkanisme. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah terubah dari aslinya. Tingkat kedewasaan
suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia
sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi bentang alam di daerah
penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses vulkanisme pada
awalnya, namun setelah vulkanisme berakhir proses eksogenik yang intensif
sangat dominan, sehingga memperlihatkan adanya jejak erosi pada bentang alam
vulkanik yang mengontrol daerah penelitian.
Gambar 2.12 Tahap
perkembangan bentangalam gunung api (Hartono, 2011).
Hasil perbandingan
antara data lapangan pengontrol stadia daerah terhadap tahap perkembangan
bentangalam gunung api (Gambar 4.9) oleh Hartono (2011),
maka dapat disimpulkan tahap
perkembangan bentang alam gunung api daerah penelitian adalah pada tahap pendataran.
Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu
peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang
ada di daerah penelitian, hal ini di karenakan
masing-masing tingkatan dalam stadia
daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi, struktur geologi yang
beragam.
SEJARAH GEOLOGI
4.1 Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian direkonstruksi
berdasarkan analisis data yang terukur meliputi unsur litologi, umur, lingkungan
pengendapan serta pola tektonik dan mekanisme pembentukannya. Penentuan sejarah
geologi daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi regional peneliti -
peneliti terdahulu. Model sejarah geologi dimulai sejak kala Pleistosen dimana
batuan tertua di daerah penelitian pertama kali terbentuk
· Kala Plistosen
Tektonik pliosen akhir juga mengawali terbentuknya
aktivitas vulkanisme plistosen yang menjadi aktivitas vulkanisme pada daerah
penelitian yang ditandai dengan munculnya Khuluk Kracak pada daerah penelitian
dengan satuan lava andesit massif aliran Kracak. Berdasarkan dari data lapangan
dan citra SRTM, Khuluk Kracak merupakan satuan tertua pada kala Pleistosen pada
daerah penelitian sehingga diinterpretasikan bahwa lava andesit massif aliran
Kracak merupakan produk pertama dari aktifitas Khuluk Krcak, kegiatan erupsi
atau aktivitas vulkanisme Gunung Kracak yang berulang sehingga batuan pada
daerah penelitian terbentuk dalam ketebalan seperti saat ini dala prosesnya
hasil dari erupsi Gunung api ini tidak selamanya lava hal ini di bukitikan adanya
singkapan breksi dan tuf yang ditemukan pada lingkungan proksimal – Intermediate.
· Kala
Holosen
Kegiatan vulkanisme berikutnya di daerah penelitian ditandai
dengan munculnya Khuluk Cikuray yang
merupakan bagian dari formasi gunung api muda Kuarter berdasarkan data
lapangan dan kenampakan citra Khuluk Cikuray masih nampak kerucut dibagian
puncaknya yang menandakan proses pelapukan dan erosional daerah tersebut belum
terlalu intens dibandingkan dengan khuluk Kracak yang berumur lebih tua, proses
vulkanisme yang terjadi berulang baik itu lelehan lava ataupun jatuhan
piroklastika membutuk suatu Gumuk kecil dibagian kaki gunung Cikuray yaitu
Gumuk Cikuray dengan daerah yang disusun oleh satuan breksi piroklastika
berkemas terbuka.
Pada aktivitas vulkanisme di daerah penelitian mengalami
penurunan di akhir kala ini sehingga kegiatan erupsi berhenti. Berhentinya
proses konstruktif gunung api di daerah penelitian mengakibatkan proses
destruktif atau proses eksogenik yang meliputi proses erosi, transportasi dan
sedimentasi berjalan begitu dominan hingga saat ini. Proses eksogenik itulah
yang menyebabkan masih berlangsungnya proses sedimentasi hingga sekarang dengan
mengendapkan satuan endapan endapan.
GEOLOGI LINGKUNGAN
5.1 Geologi
Lingkungan
Geologi lingkungan merupakan disiplin
ilmu geologi yang berhubungan dengan masalah - masalah perencanaan fisik,
pengembangan wilayah dan usaha pengendalian lingkungan hidup dengan melihat
aspek - aspek geologi yang ada di suatu daerah. Menurut Sampoerno (1979)
keadaan lingkungan dikontrol kuat oleh beberapa aspek geologi yang mencakup
sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan
potensi batuan untuk bahan galian, letak endapan potensial dan potensi bencana
alam akibat pengaruh kondisi geologinya. Pengaruh aspek geologi terhadap
lingkungan dapat menciptakan masalah yang berakibat pada tata kehidupan manusia
yang bermukim di daerah tersebut. Alam menyediakan segala kebutuhan hidup
manusia, namun demikian dalam pengelolaan sumberdaya alam perlu suatu
perencanaan yang tidak hanya melihat segi pertumbuhan melainkan menghasilkan pertumbuhan
pendapatan atau materi, akan tetapi mempertimbangkan juga aspek peningkatan
kualitas hidup sehingga dalam penetapan suatu daerah sebagai kawasan tertentu
sesuai dengan potensi dan fungsi sebenarnya daerah tersebut. Perencanaan dengan
tinjauan geologi lingkungan akan membantu dalam pemanfaatan lingkungan
seoptimal mungkin dan membantu mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin
pengaruh negatif dari pemanfaatan lingkungan
Dalam
upaya peningkatan potensi yang dimiliki daerah Margawati dan
sekitarnya, Kecamatan Garut, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat khususnya
yang berkaitan dengan potensi geologi terkait lingkungan dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi baik sumberdaya geologi
maupun bencana geologi yang ada. Kondisi geologi tata lingkungan daerah
penelitian memperlihatkan adanya aspek positif maupun negatif yang perlu
diperhatikan terutama dalam penataan dan pemanfaatan lingkungan geologi,
sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, serta dapat menekan sekecil
mungkin dampak negatifnya. Mengingat pentingnya hal tersebut maka perlu
dukungan dari masyarakat dan pemerintah setempat untuk menata dan memanfaatkan
kondisi geologi tersebut. Pembahasan geologi lingkungan daerah penelitian
dibagi menjadi tiga, yaitu sumberdaya alam, bencana alam dan potensi
pengembangan wilayah.
5.1.1
Sumberdaya
Alam
Sumberdaya alam merupakan potensi
geologi yang bersifat positif dan memberikan kontribusi (sumbangan) bagi
peningkatan kesejahteraan maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat (Sampoerno,
1979). Dari hasil pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa sumber daya
alam yang terdapat pada daerah penelitian yang bersifat menguntungkan dan dapat
dikembangkan meliputi sumberdaya tanah, sumberdaya air serta sumberdaya bahan
galian.
5.1.1.1
Sumberdaya Tanah
Karakteristik
tanah hasil letusan gunung api umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang
baik, karena mengandung unsur hara yang cukup hasil dari abu letusan gunung
api.
Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian sebagian besar digunakan oleh
masyarakat sekitar sebagai lahan pertanian rakyat yang meliputi lahan
pemukiman, pertanian lahan sawah, perkebunan dan hutan produksi. Penduduk
sekitar daerah penelitian bermukim pada daerah yang memiliki morfologi yang
datar. Pertanian lahan sawah merupakan lahan yang digunakan masyarakat untuk
bercocok tanamanan jenis padi, jagung, ketela (Gambar 5.1). Budidaya ini
dilakukan oleh masyarakat daerah penelitian tepatnya di daerah Margawatu, Mekarsari, Sukamaju, Sukanegla dan
Margalaksana dimana daerah tersebut memiliki kondisi topografi daerah
relatif datar pada daerah penelitian.
Gambar 5.1. Lahan yang dimanfaatkan
sebagai sawah (Foto diambil di LP 114, Desa Margawati. Lensa
menghadap ke arah Utara).
Sementara
itu lahan dengan topografi bergelombang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai
kebun teh, dan kebun sayur seperti tomat, meliputi Desa Sirnagalih, Dayeuhmangung, Cibodas, Kersamaju sebagian
daerah Margawati. Hal ini juga didukung oleh iklim daerah
tersebut yang memiliki suhu yang relatif dingin yang baik untuk kegiatan
perbekunan tersebut. Daerah yang memiliki topografi yang relatif curam yang
meliputi Desa Margawati,
Mekarsari, dan Dayeuhmanggung, sebagian daerah dimanfaatkan
sebagai hutan produksi baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah yang
didominasi oleh hutan pinus.
Gambar 5.2 Lahan yang dimanfaatkan
sebagai perkebunan teh (Foto diambil di LP 104 , Desa
Dayeuhmangung. Lensa menghadap ke arah timur laut).
5.1.1.2
Sumberdaya
Air
Air merupakan sumber kehidupan dan komponen yang penting bagi semua
makhluk hidup. Bagi masyarakat, air merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam
menunjang aktivitasnya, antara lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
seperti minum, mandi, mencuci dan sebagainya. Selain itu air juga dimanfaatkan
untuk kebutuhan pertanian guna keperluan irigasi. Secara umum sumberdaya air
yang terdapat di daerah penelitian berupa air permukaan, dan airtanah (groundwater). Air permukaan berupa
sungai - sungai seperti Sungai Ciwulan
dan Cipejeuh yang terdapat di bagian utara daerah penelitian. Sungai - sungai
tersebut pada umumnya digunakan untuk saluran irigasi yang airnya sangat
dipengaruhi oleh musim sehingga pemanfaatan air secara optimal hanya dapat
dilakukan pada musim penghujan.
5.1.2
Bencana
Alam
Bencana alam
merupakan suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam dan manusia. Bencana alam
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi makhluk hidup di alam tersebut terutama
bagi manusia. Bencana alam pada umumnya dapat berupa tanah longsor, gempa bumi,
letusan gunung api, dan banjir. Bencana alam yang dapat diamati pada daerah
penelitian berupa gerakan tanah dan resiko banjir bandang. Gerakan tanah
terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam terjadi karena
pelapukan batuan yang intensif dengan batuan dasar berupa andesit yang dapat
menjadi bidang gelincir, kelerengan yang curam dan curah hujan yang tinggi,
sedangkan faktor manusia adalah pemanfataan lahan yang tidak sesuai (Gambar 5.3).
Gambar
5.3 Daerah rawan gerakan tanah.
5.1.3 Potensi Pengembangan
Wilayah
Melihat ekonomi
penduduk setempat yang secara umum mata pencahariannya sebagai petani dan
kondisi geologi, sosial, dan wilayah kota maka pengembangan wilayah pada daerah
penelitian diutamakan pada sektor pertanian, perkebunan dan pengembangan daerah
wisata. Daerah penelitian yang sebagian besar merupakan wilayah pertanian dan
perkebunan ini memiliki kekurangan dalam perihal akses jalan untuk mobilitas
petani mengangkut hasil panennya. Dalam pengembangan kedepannya untuk
efektifitas produksi hasil panen, peneliti menyarankan untuk pembangunan akses
jalan yang memadai. Potensi daerah penelitian selain digunakan untuk pertanian
adalah pengembangan Desa Wisata hal ini dikarenakan adanya potensi hayati dan
non-hayati yang dapat dikembangkan, selain alamnya yang indah terdapat pula
potensi wisata edukasi berupa pertanian, perkebunan dan geowisata puncak Gunung
Cikuray.
Silahkan download filenya
dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LINk DIBAWAH INI
CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )
link download gk bisa dibuka gan. akunnya suspended
ReplyDelete