-->

Geologi Daerah Bojongkokosan dan Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Geologi Daerah Bojongkokosan dan Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.


Penelitian ini dilakukan oleh :

1.         Nama            : Ni Komang Shanti Devi, S.T.
2.         Alumni         : STTNAS Yogyakarta
3.         Koordinat    : 106° 43’ 39.4” BT - 106° 46’ 53.8” BT dan  06° 47’ 04.6” LS -  06° 51’ 58.3” LS
4.         Tahun           : 2018

4.1. Geomorfologi
            Aspek - aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah penelitian terdiri atas pembagian satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesa) dan stadia daerah.

4.1.1. Satuan Geomorfologi
            Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan morfometri dan morfogenesanya. Analisis pada peta topografi dengan melihat pola - pola kontur yang mencerminkan bentuk bentang alam (topografi) berupa beda tinggi dan kelerengan merupakan cerminan dari morfometri. Morfogenesa adalah proses-proses geologi yang membentuk bentang alam (topografi) dari suatu daerah. Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1979) untuk morfometri dan van Zuidam (1983) untuk morfogenesa.
            Berdasarkan sayatan geomorfologi (Lampiran Terikat 2), pehitungan sayatan geomorfologi (Lampiran Terikat 3) dan morfogenesa, maka daerah penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi (Lampiran Lepas 3), yaitu:
1.     Cones of strato - volcanoes/Upper and middle volcano slope (V5)
2.     Volcanic Footslopes (V6)
3.     Volcanic Footslopes (V7)

4.1.1.1. Cones of strato - volcanoes/Upper and middle volcano slope (V5)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 30% dari seluruh daerah penelitian yaitu meliputi Kecamatan Parungkuda, Cibadak dan Bojong Genteng. Satuan ini mempunyai sudut lereng rata - rata 23.34% dan beda tinggi rata - rata 41.76 m. Satuan ini tersusun oleh litologi berupa lapili dan tuf Gunung Tua. Satuan ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian dan industri. Secara morfogenesa satuan ini dikontrol oleh vulkanisme yang membentuk Gunung Tua (Gambar 4.1.).
Gambar 4.1. Cones of strato - volcanoes/Upper and middle volcano slope (V5) (lensa menghadap kearah barat)       

4.1.1.2. Volcanic Footslopes (V6)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 30% dari seluruh daerah penelitian yaitu kecamatan Ciambar. Satuan ini mempunyai sudut lereng rata - rata 12.56% dan beda tinggi rata - rata 41.29 m. Satuan ini tersusun oleh litologi breksi andesit Gunung Pangrango. Satuan ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian. Secara morfogenesa satuan ini di kontrol oleh vulkanisme yang membentuk Gunung Pangrango (Gambar 4.2.).
Gambar 4.2. Volcanic Footslopes (V6) (lensa menghadap kearah utara)

4.1.1.3.Volcanic Footslopes (V7)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 40% dari seluruh daerah penelitian yaitu kecamatan Parungkuda, Cicurug, dan Cidahu. Satuan ini mempunyai sudut lereng rata - rata 15.20% dan beda tinggi rata - rata 50.27 m. Satuan ini tersusun oleh litologi breksi andesit dan tuf Gunung Salak. Satuan ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian. Secara morfogenesa satuan ini di kontrol oleh vulkanisme yang membentuk Gunung Salak (Gambar 4.3.).
Gambar 4.3. Volcanic Footslopes (V7) (lensa menghadap kearah utara)
4.1.2. Pola Pengaliran
Berdasarkan dari pengamatan peta topografi maupun pengamatan di lapangan, pola pengaliran di daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga pola pengaliran utama (Gambar 4.4.) yaitu pola parallel, trellis dan subdendritik.
4.1.2.1. Pola Pengaliran Parallel
Pola pengaliran Parallel adalah pola yang mempunyai arah relatif searah, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula dengan morfologi yang parallel dan memanjang (Howard,1967). Pola
pengaliran Parallel ini merupakan perkembangan dari gunung salak. Pola ini menempati ±43% dari seluruh luasan di daerah penelitian. Pola ini berkembang pada Satuan Bentang Alam Volcanic Footslopes (V7) yang tersusun atas breksi andesit dan tuf gunung salak dan tuf gunung tua. Litologi yang dijumpai pada pola pengaliran ini tak lepas dari aktivitas vulkanisme gunung api. Tata guna lahan pada daerah ini digunakan lahan pertanian.
4.1.2.2. Pola Pengaliran Trelis
            Pola pengaliran trelis dicirikan dengan adanya kemiringan perlapisan (dip) atau terlipat. (Howard,1967).
Pola pengaliran trelis ini merupakan perkembangan dari gunung api tua. Pola ini menempati ±41% dari seluruh luasan di daerah penelitian. Pola ini berkembang pada Satuan Bentang Alam Cones of strato-volcanoes/Upper and middle volcano slope (V5) tersusun oleh litologi berupa, lapilli dan tuff Gunung Tua. Litologi yang dijumpai pada pola pengaliran ini tak lepas dari aktivitas vulkanisme gunung api. Tata guna lahan  dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian dan industri.
4.1.2.3. Pola Pengaliran Subdendritik
            Pola pengaliran subdendritik dicirikan dengan bentuk cabang - cabang pohon (pohon oak), dan cabang - cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut - sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur (Howard,1967).
            Pola pengaliran subdendritik ini merupakan perkembangan dari gunung pangrango. pola ini menempati ±16% dari seluruh luasan di daerah penelitian. Pola ini berkembang pada Satuan Bentang Alam Volcanic Footslopes (V6) tersusun oleh litologi berupa breksi andesit Gunung Pangrango dan tuf Gunung Tua. Litologi yang dijumpai pada pola pengaliran ini tak lepas dari aktivitas vulkanisme gunung api. Tata guna lahan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian dan industri.
Gambar 4.4. Pola pengaliran di daerah penelitian
4.1.3. Proses Geomorfologi
Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses - proses geomorfologi (proses endogenik dan eksogenik) yang mengontrolnya (Thornbury, 1969). Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen. Yang bersifat membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil yang bersifat merusak (detructional landform). Daerah penelitian sendiri termasuk dalam proses geomorfologi berupa bentukan lahan yang bersifat merusak proses eksogen pada daerah penelitian (Gambar 4.5.). Proses geomorfologi yang terlihat pada daerah penelitian terlihat dari karakter jenis batuan dan sebarannya serta beberapa proses eksogenik yang terjadi berdasarkan karakter batuan yang ada di daerah penelitian lebih dominan dibentuk oleh gunung api yang kemudian terlapukkan sangat kuat yang terbukti dari tanahnya yang cukup tebal dan merata. kemudian proses eksogenik yang kemungkinan terjadi ditandai dengan adanya longsoran seperti yang terjadi pada DB 14 (Gambar 4.6). Proses eksogenik yang terjadi diduga juga membentuk pola - pola  aliran sungai yang secara umum masih dikontrol oleh sistem gunung api utamanya yaitu gunung Salak, gunung Pangrango, dan gunung Tua.
Gambar 4.5. Bukti intensif nya proses pelapukan di daerah penelitian (DB 14).

4.1.4. Stadia Daerah
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh beberapa faktor yaitu  litologi, struktur geologi dan morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses eksogen. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah terubah dari aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses vulkanisme masa lampau, namun setelah vulkanisme masa lampau berakhir, proses eksogenik yang intensif lebih dominan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan tampak lapisan tanah penutup  (soil) yang tebal  sebagai petunjuk bahwa  proses  eksogenik  yang  berlangsung sangat intensif (Gambar 4.6). Keberadaan kekar dibeberapa tempat yang bersifat terbuka menjadi media masuknya air permukaan ke batuan yang mempercepat proses pelapukan yang terjadi di daerah penelitian.
Gambar 4.6. Proses eksogen berupa pelapukan (pada DB 14)

Berdasarkan keadaan morfologi di daerah penelitian, proses endogen dan eksogen yang berkembang, sungai dengan erosi ke arah vertikal dan horisontal, serta membandingkan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (gambar 4.7).
Gambar 4.7 Stadia daerah penelitian menurut Lobeck 1939

4.1.5.  Stadia Sungai
Stadia sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat erosi (baik erosi vertikal maupun erosi horisontal), kemiringan lereng, batuan penyusunnya, kedalaman, iklim, aktifitas organism dan waktu. Menurut Thornbury (1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga stadia, yaitu:
1.      Stadia Muda, dicirikan dengan gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah huruf V, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun dan kadang danau.
2.      Stadia Dewasa, dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai berkelok -kelok (meander), tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah berbentuk U.
3.      Stadia Tua, dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada erosi vertikal, lembah lebar, tidak dijumpai meander lagi, terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, stadia sungai pada daearah penelitian dapat di golongkan menjadi sungai berstadia muda hingga dewasa. Sungai berstadia muda dicirikan dengan kemampuan alur secara vertikal dengan penampang hamper menyerupai bentuk huruf “V”, aliran sungai relatif cepat dan tidak dijumpai dataran banjir (Gambar 4.8).  Sungai dengan stadia muda ini di daerah penelitian dijumpai pada Ci Leuleuy yang merupakan pengembangan dari gunung Pangrango.
Gambar 4.8. Tubuh sungai Leuleuy menyerupai huruf V (pada DB 09).

Sedangkan sungai dengan stadia dewasa pada daerah penelitian dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi ke samping lebih kuat dibanding erosi vertikal, terlihat lembah sungai berbentuk menyerupai huruf “U”. Sungai stadia dewasa dapat terlihat pada Ci Palasari yang merupakan pengembangan dari gunung Tua (Gambar 4.9) dan Ci Leutik yang merupakan pengembangan dari gunung salak (Gambar 4.10).
Gambar 4.9. Tubuh sungai Ci Palasari menyerupai huruf U (pada DB 19)



Gambar 4.10. Tubuh sungai Ci Leutik menyerupai huruf U (pada DB 34)


4.2. Stratigrafi
Mengacu pada (Effendi, A. C., dkk (1998)), dan data Shutlle Radar Topography Mission (SRTM), daerah penelitan termasuk dalam Khuluk Pangrango, khuluk Salak, dan Khuluk Tua.Secara umum litologi pada daerah penelitian merupakan batuan vulkanik. yang terdiri dari Khuluk Pangrango yaitu Satuan aliran breksi andesit pangrango ((paba), Khuluk Salak yang terdiri dari Satuan aliran breksi andesit salak (saba) dan Satuan jatuhan tuf salak (sjt) dan khuluk tua yang terdiri dari Satuan jatuhan lapili tua (Tjl) dan Satuan TufTua (tjt). Satuan - satuan ini nantinya akan dibahas secara rinci pada subbab berikutnya.
Gambar 4.11. Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) daerah penelitian
Gambar 4.12. Peta geologi regional daerah penelitian (Effendi, A. C., dkk (1998))
Gambar 4.13. Peta geologi gunung api daerah penelitian
4.2.1. Khuluk Tua
4.2.1.1. Satuan Jatuhan Lapili Tua (Tjl)
Satuan jatuhan lapili tua tersusun oleh batulapili (Tabel 4.1.). batulapili secara genesis merupakan produk gunung api dari Khuluk Tua, maka satuan ini diberi nama satuan jatuhan lapili tua (Tjl).
4.2.1.1.1. Penyebaran dan Ketebalan
            Satuan jatuhan lapili tua ini menempati ± 18% dari luas daerah penelitian yang meliputi Desa Palasari hilir, pamurayan, cibodas dan sekitarnya. Berdasarkan singkapan dilapangan ketebalan tersingkap dari satuan ini berkisar 1 - 5 meter.
Tabel 4.1. Kolom litologi satuan jatuhan lapili tua.
4.2.1.1.2. Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan jatuhan lapili tua adalah lapili (Gambar 4.14). Lapili memiliki warna cokelat dengan bintik putih, tekstur piroklastika, struktur masif, komposisi berupa material berupa lapilli 78% dengan ukuran butir 5 - 50 mm, block 12% dengan ukuran butir 64 - 68 mm dan ash (abu) 17% dengan ukuran butir 0,6 - 2 mm. Berdasarkan analisis mikroskopis (Lampiran Terikat 4). Lapili Tua ini memiliki komposisi berupa mineral plagioclase (13%) dengan ukuran 0.5 – 2 mm, mineral augite (5%) dengan ukuran 0.1 – 0.4 mm dan mineral opaq (6%) dengan ukuran 0.1 – 0.2 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa gelas vulkanik (76%) dengan ukuran sangat halus, sehingga nama mikroskopisnya adalah vitric tuff.
Gambar 4.14. Singkapan lapili tua dengan arah foto N120°E (foto diambil dari
  DB.20).
4.2.1.1.3. Penentuan Umur
Pada satuan jatuhan lapili tua, penentuan umur dengan menggunakan analisis mikropaleontologi tidak dapat dilakukan karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil yang hadir secara insitu atau ideal maka penentuan umur dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi yang mencakup daerah ini.
Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesa dari batuan penyusun pada satuan jatuhan lapili tua, maka satuan ini di korelasikan dengan Formasi Gunung Tua (Effendi, A. C., dkk (1998)). Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan jatuhan lapili tua berumur Kuarter yaitu pada kala plistosen.
4.2.1.1.4. Penentuan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan jatuhan lapili tua ini tidak dapat dilakukan analisis paleontologi untuk menentukan lingkungan pengendapan karena tidak adanya fosil foraminifera bentonik. Oleh karena itu, penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada struktur - struktur primer yang dijumpai dilapangan.
Satuan jatuhan lapili tuaini memiliki struktur masif. Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan jatuhan lapili tua terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.1.1.5. Hubungan Stratigrafi
            Satuan jatuhan lapili tua merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan jatuhan lapili Tua memiliki hubungan menjari dengan satuan jatuhan tuf Tua (Tjt).
4.2.1.2. Satuan jatuhan tuf tua (Tjt)
Satuan jatuhan tuf tua tersusun oleh tuf  (Tabel 4.2). Tuf secara genesis merupakan produk gunung api dari Khuluk Tua, maka satuan ini diberi nama satuan jatuhan tuf tua (Tjt).
4.2.1.2.1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan jatuhan tuf tuaini menempati ± 20% dari luas daerah penelitian yang meliputi Desa parungkuda, bojongkokosan dan mekarsari. Berdasarkan singkapan dilapangan ketebalan tersingkap dari satuan ini berkisar 1 - 5 meter.
 Tabel 4.2. Kolom litologi satuan jatuhan tuf Tua.


4.2.1.2.2. Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan jatuhan tuf tua adalah tuf (Gambar 4.15). Tuf memiliki warna kuning dengan bintik putih, tekstur piroklastika, dan struktur massif dan cross bedding dengan kedudukan N360°E/13°, komposisi berupa ash (abu) 86% dengan ukuran butir 0,5 - 2 mm, lapilli 10% dengan ukuran butir 2 – 40 mm dan block 4% dengan ukuran butir 65 mm. Berdasarkan analisis mikroskopis (Lampiran Terikat 4). Tuf tua memiliki komposisi berupa mineral feldspar (55%) dengan ukuran 0.2 – 1 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa gelas vulkanik (45%) dengan ukuran sangat halus sehingga nama mikroskopisnya adalah Crystal Tuff.
Gambar 4.15. Singkapan tuf tua dengan struktur massif, arah foto N 325° E (foto diambil dari DB.04).


Gambar 4.16. Singkapan tuf dengan struktur cross bedding, arah foto N 305° E (foto diambil dari DB.04).
4.2.1.2.3. Penentuan Umur
Pada satuan tuf jatuhan Tua, penentuan umur dengan menggunakan analisis mikropaleontologi tidak dapat dilakukan karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil yang hadir secara insitu atau ideal maka penentuan umur dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi yang mencakup daerah ini.
Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesa dari batuan penyusun pada satuan tuf  Tua, maka satuan ini di korelasikan dengan Formasi Gunung Tua (Effendi, A. C., dkk (1998)). Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan jatuhan tuf Tua berumur Kuarter  yaitu pada kala plistosen.
4.2.1.2.4. Penentuan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan jatuhan tuf tuaini tidak dapat dilakukan analisis paleontologi untuk menentukan lingkungan pengendapan karena tidak adanya fosil foraminifera bentonik. Oleh karena itu, penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada struktur - struktur primer yang dijumpai dilapangan.
Satuan jatuhan tuf Tua ini memiliki struktur massif dan csoss bedding. Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan jatuhan tuf tua terbentuk pada lingkungan darat yang dibeberapa tempat proses pengendapannya dipengaruhi oleh air ditandai dengan adanya struktur cross bedding.
4.2.1.1.5. Hubungan Stratigrafi
            Satuan jatuhan tuf tua merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. satuan jatuhan Tuf Tua memiliki hubungan menjari dengan satuan jatuhan lapili Tua (Tjl).
                                                                                
4.2.2. Khuluk Salak
4.2.2.1. Satuan jatuhan tuf salak (sjt)
Satuan jatuhan tuf salak tersusun oleh tuf (Tabel 4.3). Tuf secara genesis merupakan produk gunung api dari Khuluk Salak, maka satuan ini diberi nama satuan Tuf Salak (Saba).
4.2.2.1.1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan jatuhan tuf salak ini menempati ± 15% dari luas daerah penelitian yang meliputi Desa Pasawahan, Cicurug dan Bangbayang. Berdasarkan singkapan dilapangan ketebalan tersingkap dari satuan ini berkisar 1 - 2 meter.
Tabel 4.3. Kolom litologi satuan jatuhan tuf salak.

4.2.2.1.2. Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan jatuhan tuf salak adalah tuf  (Gambar 4.17). Tuf memiliki warna kuningan dengan bintik putih, tekstur piroklastika, struktur massif, komposisi berupa  ash (abu) 85% dengan ukuran butir 0,5 - 2 mm dan lapili 15 % dengan ukuran butir 3 - 10 mm. Berdasarkan analisis mikroskopis (Lampiran Terikat 4). Tuf Salak memiliki komposisi berupa mineral augite (20%) dengan ukuran 0.1 - 0.5 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa gelas vulkanik (60%) dengan ukuran sangat halus, sehingga nama mikroskopisnya adalah Vitric Tuff.
Gambar 4.17. Singkapan tuf salak dengan arah foto N70°E (foto diambil dari
DB.03).
4.2.2.1.3. Penentuan Umur
Pada satuan jatuhan tuf salak, penentuan umur dengan menggunakan analisis mikropaleontologi tidak dapat dilakukan karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil yang hadir secara insitu atau ideal maka penentuan umur dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi yang mencakup daerah ini.
Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesa dari batuan penyusun pada satuan tuf  Salak, maka satuan ini di korelasikan dengan Formasi Gunung Salak (Effendi, A. C., dkk (1998)). Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan jatuhan tuf salak berumur Kuarter  yaitu pada kala plistosen.
4.2.2.1.4. Penentuan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan jatuhan tuf salak ini tidak dapat dilakukan analisis paleontologi untuk menentukan lingkungan pengendapan karena tidak adanya fosil foraminifera bentonik. Oleh karena itu, penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada struktur - struktur primer yang dijumpai dilapangan.
Satuan jatuhan tuf salak ini memiliki struktur masif. Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan jatuhan tuf Salak terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.2.1.5. Hubungan Stratigrafi
            Satuan jatuhan tuf salak merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan jatuhan tuf salak menumpang secara selaras diatas satuan jatuhan lapili tua (Tjl) dan satuan jatuhan tuf tua Ttjt).

4.2.2.2. Satuan aliran breksi andesit salak (saba)
Satuan aliran breksi andesit salak tersusun oleh Breksi andesit (Tabel 4.4). Breksi andesit secara genesis merupakan produk gunung apidari Khuluk Salak, maka satuan ini diberi nama satuan aliran breksi andesit salak (saba).
4.2.2.2.1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan aliran breksi andesit salak ini menempati ± 27% dari luas daerah penelitian yang meliputi Desa cicurug, Babakanjaya, pasirdoton dan sekitarnya. Berdasarkan singkapan dilapangan ketebalan tersingkap dari satuan ini berkisar 1 - 3 meter.
Tabel 4.4. Kolom litologi satuan aliran breksi andesit salak.

4.2.2.2.2. Litologi Penyusun
Litologi penyusun satuan aliran breksi andesit salak adalah breksi andesit (Gambar 4.18). breksi andesit memiliki warna segar abu - abu kehitaman, warna lapuk abu - abu dengan bintik putih, struktur fragmental, fragmen andesit ini berukuran >64 mm, bentuk butir meruncing dengan tekstur porfiroafanitik dan matrik berupa abu gunung api ini memiliki ukuran butir < 2 mm. Berdasarkan analisis mikroskopis (Lampiran Terikat 4). Breksi andesit ini fragmennya memiliki komposisi berupa mineral plagioclase (36%) dengan ukuran 0.3 - 1.2 mm, mineral augite (11%) dengan ukuran 0.2 - 0.7 mm dan mineral opaq (2%) dengan ukuran 0.1 - 0.2 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa mineral plagioclase (44%) dan mineral opaq (7%) dengan ukuran sangat halus, sehingga nama mikroskopisnya adalah Andesite (Stereckeinsen, 1976). Matriknya memiliki komposisi berupa mineral feldspar (15%) dengan ukuran 0.1 - 1 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa gelas vulkanik (50%) dengan ukuran sangat halus sehingga nama mikroskopisnya adalah Vitric Tuff.
Gambar 4.18. Singkapan breksi andesit salak dengan arah foto N335°E foto
           diambil dari DB.31).
4.2.1.3.1.3. Penentuan Umur
Pada satuan aliran breksi andesit salak, penentuan umur dengan menggunakan analisis mikropaleontologi tidak dapat dilakukan karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil yang hadir secara insitu atau ideal maka penentuan umur dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi yang mencakup daerah ini.
Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesa dari batuan penyusun pada satuan aliran breksi andesit salak, maka satuan ini di korelasikan dengan Formasi Gunung Salak (Effendi, A. C., dkk (1998)). Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan aliran breksi andesit salak berumur Kuarter pada kala plistosen.
4.2.1.3.1.4. Penentuan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan aliran breksi andesit salak ini tidak dapat dilakukan analisis paleontologi untuk menentukan lingkungan pengendapan karena tidak adanya fosil foraminifera bentonik. Oleh karena itu, penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada struktur - struktur primer yang dijumpai dilapangan.
Satuan aliran breksi andesit salak ini memiliki struktur masif dan membereksi. Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan aliran breksi andesit salak terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.3.3.5. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan rekonstruksi penampang AB pada peta geologi, satuan aliran breksi andesit salak menumpang secara selaras diatas satuan jatuhan tuf salak.
4.2.3. Khuluk Pangrango
4.2.3.1. Satuan aliran breksi andesit pangrango ((paba)
            Satuan aliran breksi andesit pangrangotersusun oleh breksi andesit (Tabel 4.5). Breksi andesit secara genesis merupakan produk gunung apidari Khuluk Pangrango, maka satuan ini diberi nama satuan aliran breksi andesit pangrango ((paba).
4.2.3.1.1. Penyebaran dan Ketebalan
            Satuan aliran breksi andesit pangrango ini menempati ±20% dari luas daerah penelitian yang meliputi Desa Nagrak, Ciambar dan Munjul. Berdasarkan singkapan dilapangan ketebalan tersingkap dari satuan ini berkisar 1 - 4 meter.
Tabel 4.5. Kolom litologi satuan aliran breksi andesit pangrango.
4.2.3.1.1.2. Litologi Penyusun
Litologi penyusun Satuan aliran breksi andesit pangrango tersusun oleh breksi andesit dan dibeberapa tempat dijumpai perselingan batupasir dengan breksi andesit (Gambar 4.19). Secara megaskopis Breksi Andsit memiliki warna segar abu - abu kehitaman, warna lapuk abu - abu dengan bintik putih, struktur fragmental, fragmen andesit ini memiliki ukuran butir > 64 mm, bentuk butir meruncing dengan tekstur porfiroafanitik dan matrik berupa abu gunung api ini memiliki ukuran butir < 2mm. Berdasarkan analisis mikroskopis (Lampiran Terikat 4). Breksi andesit ini fragmennya memiliki komposisi berupa mineral plagioclase (26%) dengan ukuran 0.3 – 1.5 mm, mineral augite (6%) dengan ukuran 0.1 – 0.3 mm dan mineral opaq (4%) dengan ukuran 0.1 – 0.2 mm sebagai fenokris. Massa dasar berupa mineral plagioclase (54%) dan mineral opaq (10%) dengan ukuran sangat halus sehingga nama mikroskopisnya adalah Andesite (Stereckeinsen, 1976). Matriknya memiliki komposisi berupa mineral feldspar (10%) dengan ukuran 0.2 – 1 mm dan mineral opaq (5%) dengan ukuran 0.1 – 0.2 mm sebagai fenokris. Massadasar berupa gelas vulkanik (85%) dengan ukuran sangat halus.sehingga nama mikroskopisnya adalah Vitric Tuff.
Gambar 4.19. Breksi andesit Pangrango dengan arah foto N 325° E foto diambil dari DB. 06

 
Gambar 4.20. Perselingan Batupasir dengan breksi andesit dengan arah foto N 305° E foto diambil dari DB. 06

4.2.1.3.1.3. Penentuan Umur
Pada satuan aliran breksi andesit pangrango, penentuan umur dengan menggunakan analisis mikropaleontologi tidak dapat dilakukan karena pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil yang hadir secara insitu atau ideal maka penentuan umur dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas formasi yang mencakup daerah ini.
Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesa dari batuan penyusun pada satuan aliran breksi andesit pangrango, maka satuan ini di korelasikan dengan Formasi Gunung Pangrango (Effendi, A. C., dkk (1998)). Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan aliran breksi andesit pangrango berumur Kuarter yaitu pada kala holosen.
4.2.1.3.1.4. Penentuan Lingkungan Pengendapan
Pada satuan aliran breksi andesit pangrango ini tidak dapat dilakukan analisis paleontologi untuk menentukan lingkungan pengendapan karena tidak adanya fosil foraminifera bentonik. Oleh karena itu, penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada struktur - struktur primer yang dijumpai dilapangan.
Satuan aliran breksi andesit pangrango ini memiliki struktur masif dan membereksi. Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan aliran breksi andesit pangrango terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.3.3.5. Hubungan Stratigrafi
Satuan aliran breksi andesit pangrango merupakan satuan batuan termuda pada daerah penelitian. satuan aliran breksi andesit pangrango menumpang secara selaras diatas satuan aliran breksi andesit salak.
4.3. Struktur Geologi
Struktur geologi yang dibahas pada subbab ini ialah struktur geologi sekunder yang terjadi setelah batuan terbentuk. Struktur geologi sekunder disebabkan oleh proses tektonik. Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dianalisis berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian data lapangan secara langsung. Hal tersebut juga didukung data citra SRTM, peta topografi dan peta geologi regional. Dalam analisa maupun pengkajian data struktur tersebut, peneliti menganalisa pola kontur dan merasa terdapat beberapa kesamaan dari data citra SRTM, peta kontur, maupun kenampakan di lapangan yang menghasilkan pola struktur geologi daerah penelitian.
Berdasarkan analisis kelurusan bukit pada Citra SRTM 90m (Gambar 4.21), diperoleh frekuensi diagram kelurusan di daerah penelitian yang berarah barat daya - timur laut dan barat laut - tenggara.
Gambar 4.21. Analisis Kelurusan pada Citra SRTM 90m

4.3.1. Struktur Kekar
Pada daerah penelitian dijumpai beberapa struktur kekar. Berdasarkan genesa serta ciri - ciri fisik di lapangan dan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi Billings (1974), struktur kekar yang dijumpai pada daerah penelitian didominasi oleh kekar gerus. Struktur kekar ini berkembang pada sangat baik pada Satuan aliran breksi andesit salak (Gambar 4.22).
Gambar 4.22. Struktur kekar (kekargerus) pada Satuan aliran breksi andesit salak pada DB.30
            Data kekar yang dijumpai pada DB. 30 yaitu kekar 1, N230°E/65° kekar 2, N235°E/70° kekar 3 dan N236°E/69°. Arah relative kekar pada daerah penelitian berarah barat daya - timur laut (gambar 4.23). 
Gambar 4.23. Diagram roset pola kekar pada daerah penelitian

4.4. Sejarah Geologi
Berdasarkan data - data geologi yang meliputi data lapangan, antara lain yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta ditambah dengan hasil analisis, pada akhirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan geologi sejarah pada suatu kerangka ruang dan waktu. Berdasarkan konsep vulkanologi, geologi sejarah dapat di bagi menjadi beberapa 3 periode erupsi yaitu erupsi gunung Tua, erupsi gunung Salak dan erupsi gunung Pangrango.
Erupsi gunung Tua dimulai pada Pleistosen awal. Saat itu tubuh gunung api Khuluk Tua mengalami erupsi eksplosif yang menyemburkan material vulkanik. Material vulkanik yang berukuran kerikil menghasilkan Satuan jatuhan lapili tua dan material vulkanik yang berukuran abu menghasilkan Satuan jatuhan tuf tuayang secara penampang geologi A – A’ memiliki hubungan menjari.
Erupsi Gunung Salak dimulai pada Pleistosen tengah sampai akhir. Saat itu tubuh gunung api Salak mengalami erupsi eksplosif yang menyemburkan material vulkanik. Material vulkanik yang berukuran bom dan block menghasilkan Satuan aliran breksi andesit salak dan material vulkanik yang berukuran abu menghasilkan Satuan jatuhan tuf salak yang secara penampang geologi A – A’ memiliki hubungan selaras.
Erupsi gunung Pangrango dimulai pada Holosen. Saat itu tubuh gunung api Khuluk Pangrango mengalami erupsi eksplosif yang menyemburkan material vulkanik. Material vulkanik yang berukuran yang berukuran bom dan block menghasilkan Satuan aliran breksi andesit pangrango.
4.5. Geologi Lingkungan
Geologi lingkungan merupakan salah satu ilmu terapan geologi yang berhubungan dengan perencanaan fisik, pengembangan wilayah, dan usaha pengendalian lingkungan hidup yang didasarkan pada aspek-aspek geologi yang ada di suatu daerah. Menurut Sampurno (1979) lingkungan dikontrol oleh beberapa aspek geologi yang mencakup sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan potensi batuan untuk bahan galian, dan potensi bencana alam akibat pengaruh kondisi geologinya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidup. Sumber daya alam tersebut mencakup sumber daya tanah dan sumber daya bahan galian.
4.5.1. Sumber Daya Tanah
            Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian sebagian besar digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan untuk pertanian maupun perkebunan sawit (Gambar. 4.23).
Gambar 4.24. Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai lahan perkebunan dan pertanian
4.5.2. Sumber Daya Bahan Galian
            Bahan galian yang ada pada daerah penelitian termasuk dalam bahan galian golongan C (non logam) (Gambar 4.23.). Sumber daya bahan galian ini terdapat pada satuan jatuhan lapili tua.
Gambar 4.25. Lokasi pemanfaatan bahan galian batu lapili pada Lp. 20, Desa Palasari hilir.
            Ketersediaan bahan galian golongan C ini dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai salah satu mata pencaharian dengan menambang pada lereng bukit yang kemudian dijual kepada pembeli batu Lapili.



Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Geologi Daerah Bojongkokosan dan Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel