Studi Morfotektonik Berdasarkan Das Citatih Dan Cibodas Daerah Bojongkokosan Dan Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Studi
Morfotektonik Berdasarkan Das Citatih Dan Cibodas Daerah Bojongkokosan Dan
Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
5.1. Latar Belakang
Pulau Jawa merupakan salah satu daerah tektonik aktif
yang berada di kawasan Indonesia, hal ini disebabkan oleh aktifitas dari 2
(dua) lempeng yaitu Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Benua Eurasia.
Aktifitas dari kedua lempeng tersebut menyebabkan terjadinya fenomena -
fenomena geologi berupa aktifitas vulkanisme dan struktur geologi pulau Jawa.
Daerah penelitian berada di wilayah Jawa Barat yang
termasuk salah satu wilayah dengan aktifitas vulkanisme Kuarter, aktifitas
vulkanisme ini dihasilkan oleh gunung api Tua, gunung api Salak dan gunung api
Pangrango (Effendi, dkk., 1998). Secara umum kerangka tektonik Jawa Barat dapat
dibagi menjadi 5 (lima) wilayah tektonik yaitu Busur Sunda, Sesar Sumatera,
Kelurusan Sunda, Cimandiri – Bogor – Jakarta dan Purwakarta – Baribis – Citaduy
(Soehaimi, 2004). Sesar aktif di Jawa Barat merupakan daerah sumber gempa bumi
yang dikelompokan ke dalam tiga zona sesar aktif utama, yaitu sesar aktif
Cimandiri, sesar aktif Baribis dan sesar aktif Lembang (Soehaimi, Kertapati dan
Setiawan, 2004). Aktivasi sesar ini ditandai oleh catatan gempa bumi yang
merusak wilayah Jawa Barat. Dalam kurun waktu antara 1629 – 2007 setidaknya
telah terjadi 36 kali kejadian gempa bumi yang merusak wilayah Jawa Barat
(Supartoyo, 2008).
Batuan pada daerah penelitian merupakan batuan
piroklastik yang berumur Kuarter (Effendi, A. C., dkk., 1998) yang dihasilkan
oleh 3 (tiga) gunung api yang berbeda, pada daerah penelitian sangat jarang
dijumpai struktur geologi baik kekar maupun perlapisan batuan. Hal ini
berbanding terbalik dengan wilayah Jawa Barat yang mempunyai kerangka tektonik
yang sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan analisis morfotektonik pada
daerah penelitian melalui perhitungan dan analisis geomorfologi kuantitatif
yang bertujuan untuk mengetahui tingkat aktifitas tektonik yang berlangsung
pada daerah penelitian.
5.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan
analisis morfotektonik pada daerah penelitian berdasarkan morfometri DAS Citatih
dan Cibodas daerah Bojongkokosan dan sekitarnya, Kecamatan Parungkuda,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ada
tidaknya tektonik pada DAS Citatih dan cibodas di daerah Bojongkokosan dan
sekitarnya, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
5.3. Batasan Masalah
Batasan
masalah dalam kajian khusus ini adalah mengenai tingkat aktifitas tektonik
aktif yang berlangsung pada DAS Citatih dan Cibodas di daerah Bojongkokosan melalui perhitungan
dan analisis geomorfologi kuantitatif.
5.4.
Metode Penelitian
Metode penelitian
ini menggunakan geomorfologi kuantitatif yang dimana dapat dibagi menjadi tiga
kegiatan utama yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data.
Kajian morfometri menurut Strahler (1973), dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
linear, area dan relief. Hubungan morfomrtri linear mendeskripsikan hirarki
lokasi sungai salam jaringan DAS, orde sungai, dan panjang tiap segmen dan
mengukur panjang geometric DAS.
Penelitian tentang
karakteristik morfometri yang telah dilakukan diantaranya oleh Shimano (1992)
pada 180 DAS di jepang dengan hasil bahwa variable tinggkat percabangan sungai
dipengaruhi oleh litologi batuan asalnya dan penelitian oleh M Bagyaraj dan B.
Gurugnanam (2010) menghasilkan bahwa bagian atas sebuah patahan berasosiasi
dengan kerapatan jaringan dan tingkat indeks percabangan yang tinggi serta orde
sungai satu, dua dan tiga yang lebih banyak.
Untuk mengetahui
tingkat aktivitas tektonik di daerah penelitian diperlukan studi morfotektonik.
Dalam studi morfotektonik analisis morfometri digunakan untuk mengidentifikasi
karakteristik bentuk wilayah serta kaitannya dengan aktivitas tektonik yang
berkembang. Untuk mengolah data parameter morfometri dan morfotektonik DAS
dapat diartikan sebagai nilai kuantitatif pada jaringan sungai (van Zuidam,
1985). Pada umumnya, morfometri DAS sangat berkaitan dengan kondisi geomorfologi,
batuan dan iklim pada suatu daerah. Adapun unsur - unsur morfometri DAS seperti
:
1. Luas, panjang, dan lebar DAS,
2. Bentuk DAS,
3. Orde dan tingkat percabangan
sungai,
4. Kerapatan sungai
Parameter yang
menjadi karakteristik morfotektonik adalah:
1. Kelurusan sungai
2. Nilai sinusitas muka pegunungan
(Smf).
Gambar
5.1 Diagram alur penelitian
5.5. Landasan
Teori
5.5.1. Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
kesatuan daerah yang dibatasi topografi berupa punggungan – punggungan bukit
dimana jika air hujan jatuh maka airnya mengalir ke dalam sungai yang
bersangkutan dan subDAS adalah suatu daerah yang dibatasi alami oleh topografi
berupa punggungan – punggungan bukit yang memisahkan anak – anak sungai yang
menuju sungai utama (Asdak, 2010).
DAS dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian hulu, bagian
tengah, dan bagian hilir (Asdak, 2010). Ciri-ciri pada setiap bagian DAS dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bagian Hulu
a) Merupakan daerah konservasi.
b) Mempunyai kerapatan drainase lebih
tinggi.
c) Merupakan daerah dengan kemiringan
lereng besar (lebih besar dari 20%).
d) Bukan merupakan daerah banjir.
e) Pengaturan air ditentukan oleh pola
drainase.
2. Bagian Tengah
Daerah Aliran Sungai bagian tengah merupakan daerah transisi
dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. (Asdak,
2010).
3. Bagian Hilir
a)
Merupakan
daerah pemanfaatan.
b)
Kerapatan
drainase lebih kecil.
c)
Merupakan
daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 10 %).
d)
Pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e)
Pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
5.5.2. Fungsi DAS
Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis, dimana
fungsi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang diterima,
geologi dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS
untuk mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan, melepaskan air secara
bertahap, memelihara kualitas air, serta mengurangi pembuangan massa (seperti
terhadap longsor). Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan
oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah
(topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami
perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan
akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu
DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan
curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau
sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan
melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau,
sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda
tajam.
5.5.3. Morfometri DAS
Morfometri adalah keadaan morfologi sungai yang dinyatakan
secara kuantitatif (Horton, 1945). Variabel yang digunakan dalam penelitian
mengenai morfometri antara lain luas DAS, panjang dan lebar DAS, bentuk DAS,
kerapatan jaringan sungai, tingkat percabangan sungai, gradient kemiringan
sungai dan sinusitis muka pegunungan (smf). Kerapatan jaringan sungai
menunjukkan karakteristik batuan, iklim, tanah dan vegetasi sedangkan relief
rasio menunjukkan laju sedimentasi dari suatu DAS.
5.5.3.1. Luas dan Panjang DAS
Garis batas antara DAS adalah punggung permukaan bumi yang
dapat memisahkan dan membagi air hujan ke masing-masing DAS. DAS merupakan
tempat pengumpulan presipitasi ke suatu sistem sungai. Luas daerah aliran dapat
diperkirakan dengan mengukur daerah tersebut pada peta topografi dan citra
inderaan jauh 3D.
Panjang DAS adalah sama dengan jarak
datar dari muara sungai kearah hulu sepanjang sungai induk sedangkan lebar DAS
adalah perbandingan antara luas DAS dengan panjang sungai induk. Lebar DAS
tidak ditemukan dengan pengukuran langsung tetapi dengan rumus berikut.
W
= A/Lb
Keterangan :
W = lebar DAS (Km)
A = luas DAS (Km)
Lb = panjang sungai utama (Km)
5.5.3.2.
Kemiringan atau Gradien Sungai
Kemiringan DAS menjadi parameter yang penting dalam suatu daerah
aliran sungai. Peningkatan nilai relief dan lereng yang curam mengakibatkan
waktu yang di perlukan pada saat pengumpulan air menjadi lebih singkat, selain
berpengaruh terhadap banjir, kemiringan DAS juga berpengaruh terhadap proses
erosi.
Gradien atau kemiringan sungai dapat diperoleh dengan
persamaan sebagai berikut:
G = Jarak
Vertikal/Jarak Horisontal
Keterangan :
G = Gradien Sungai
J. Vertikal = Beda tinggi antara hulu dengan hilir (m)
J. Horisontal = Panjang sungai induk (m)
5.5.3.3. Orde dan Tingkat
Percabangan Sungai
1.) Orde Sungai
Orde sungai adalah nomor urutan setiap segmen sungai
terhadap sungai induknya. Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan
adalah metode strahler (1975). Sungai orde 1 menurut starhler adalah anak - anak
sungai yang letaknya paling ujung dan dianggap sebagai sumber mata air pertama
dari anak sungai tersebut. Segmen sungai hasil pertemuan dari orde yang
setingkat adalah orde 2, dan segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari dua
orde sungai yang tidak setingkat adalah orde sungai yang lebih tinggi.
Gambar 5.2
Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)
2.) Tingkat percabangan sungai
Untuk
menghitung tingkat percabangan sungai dapat digunakan rumus:
Rb = Nu/Nu+1
Keterangan :
Rb = Indeks tingkat percabangan
sungai
Nu = jumlah alur sungai untuk orde
ke u
Nu + 1 = jumlah alur sungai untuk
orde ke u +
Dalam Schumm (1956), indeks tingkat
percabangan sungai (Rb) dapat dinyatakan dengan keadaan sebagai berikut :
Rb <3 : Alur sungai tersebut akan mempunyai kenaikan muka air banjir
dengan cepat, sedangkan penurunannya
berjalan lambat.
Rb 3 – 5 : Alur sungai tesebut mempunyai kenaikan dan penurunan muka air
banjir yang tidak terlalu atau tidak
terlalu lambat.
Rb >5 : Alur sungai tersebut mempunyai kenaikan muka air banjir
dengan
cepat, demikian pula penurunannya
akan berjalan dengan cepat.
5.5.3.4. Kerapatan Jaringan Sungai
Kerapatan sungai adalah suatu indeks yang menunjukkan
banyaknya anak sungai dalam suatu daerah pengaliran. Horton, (1945) menyatakan
bahwa kerapatan jaringan sungai merupakan perluasan fungsi dari besarnya
kapasitas infiltrasi dan ketahanan terhadap erosi. Kerapatan sungai rendah
terlihat pada daerah dengan jenis tanah yang tahan terhadap erosi atau sangat
permeable. Nilai yang tinggi dapat terjadi pada panah yang mudah tererosi atau
permeable yang rendah, dengan kemiringan tanah yang curam, dan hanya sedikit
ditumbuhi tanaman (Sosrodarsano dan Takeda, 2003).
Definisi kerapatan aliran diatas dapat dijabarkan dalam
rumus berikut:
Dd = L/A
Keterangan:
Dd = Kerapatan aliran
L= Panjang Sungai (Km)
A = Luas DAS (km2)
Sosrodarsono dan Takeda (2003)
menyatakan bahwa biasanya indeks kerapatan sungai adalah 0,30 - 0,50 dan
dianggap sebagai indeks yang menunjukkan keadaan topografi dan geologi dalam
DAS. Indeks kerapatan sungai akan kecil pada kondisi litologi yang permeabel di
pegunungan - pegunungan dan di lereng - lereng, tetapi besar unutuk daerah yang
banyak curah hujannya. Nilai dari indeks kerapatan sungai dibagi berdasarkan
beberapa kelas dengan karakteristik yang berbeda - beda.Semakin besar nilai Dd
semakin baik sistem drainasenya. Secara kuantitatif nilai Dd dikelompokan
sebagai berikut:
Tabel 5.1 Nilai Dd menurut soewarno,
1991:
5.5.3.5. Bentuk DAS dan Nisbah
Perpanjangan Sungai
Bentuk
DAS yang tergambar pada suatu peta jaringan sungai adalah batas artificial atau
batas buatan, karena pada kenyataannya batas tersebut tidak tampak di lapangan.
Batas tersebut meskipun tidak tampak di lapangan tetapi pada kenyataannya,
batas tersebut membatasi jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS
besar tersusun atas beberapa sub-DAS, dan sebuah sub-DAS kemungkinan tersusun
oleh beberapa sub – sub DAS dan untuk jelasnya lihat ilustrasi berikut (lihat
Gambar 5.3).
Gambar 5.3 Batas DAS hingga SubDAS (Strahler, 1975)
Banyak-sedikitnya jumlah air hujan yang diterima suatu DAS,
bergantung atas luas atau tidaknya DAS tersebut serta tegas-tidaknya batas
antar DAS. DAS yang memiliki luasan besar tentunya akan menghasilkan debit
puncak yang lebih besar daripada DAS yang kecil. Prediksi debit puncak secara
relatif dapat didekati selain dengan luas DAS adalah dengan bantuan bentuk DAS.
Apabila diasumsikan intensitas hujan, luas dan topografi dua buah DAS adalah
sama tapi bentuk DASnya berbeda (misal panjang dan bulat) maka karakteristik
alirannya dapat diperbandingkan secara relatif. Bentuk DAS panjang akan
memiliki waktu mencapai puncak yang lebih lama daripada bentuk DAS bulat,
sedangkan debit DAS berbentuk bulat adalah lebih besar daripada bentuk DAS yang
panjang. Ilustrasi berbagai bentuk DAS beserta debit puncak yang digambarkan
dalam bentuk kurva hidrograf aliran dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Gambar
5.4 Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai dan Limpasan
(Seyhan, 1997)
Untuk
menghitung bentuk DAS dapat digunakan rumus:
Rc = 4ยตA/P²
Keterangan:
Rc = Basin circularity
A = Luas DAS (m2)
P = Keliling (m)
ะฟ = 3,14
Nisbah
Perpanjangan Sungai Schumm (dalam Seyhan, 1981), mengatakan bahwa nisbah
perpanjangan (Re) adalah nisbah antara garis tengah suatu lingkaran yang
mempunyai luas sama dengan luas DAS, dengan panjang sungai utama.
Re =
(2√(A/ยต))/Lb
Keterangan:
Re = Nisbah perpanjangan
A = Luas DAS
Lb = panjang sungai induk
Tabel 5.2 Bentuk Daerah Aliran
Sungai menurut Soewarno, 1991
No
|
Indeks
|
Keterangan
|
|
1
|
Rc
> Re
|
Membulat
|
Laju aliran permukaan lebih cepat
sehingga konsentrasi air lebih cepat
|
2
|
Rc
< Re
|
Memanjang
|
Laju aliran permukaan lebih lambat
sehingga konsentrasi air lebih lambat
|
5.5.3.6. Kelurusan
Kelurusan
didefinisikan sebagai kelurusan bentangalam yang menggambarkan bentuk batuan
alas yang terkubur (Hobbs, 1904), sedangkan O’Leary et., (1976) mendefinisikan
kelurusan adalah kenampakkan linier sederhana atau kelompok dipermukaan bumi
yang terpetakan, mempunyai kenampakan yang lurus atau agak melengkung, dapat di
bedakan dengan kenampakan di sekitarnya, dan diduga merupakan gejala di bawah
permukaan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kelurusan adalah kenampakan garis
yang dicerminkan oleh sungai atau lembah yang diduga sebagai sesar atau
rekahan.
5.5.3.7. Morfometri Non DAS
Mountain Front Sinuosity (Smf) / Sinusitas Muka Pegunungan
(Smf) Sinusitas muka pegunungan (Smf) merupakan rangkaian pegunungan yang
terdapat pada bagian depan atau muka yang menghadap ke daerah dataran. Muka
pegunungan tersebut merupakan kumpulan kenampakan bentang alam yang terdiri
dari gawir, sungai yang mengikis gawir tersebut dan bentuk lahan baru. Muka
pegunungan pada umumnya merupakan bidang sesar atau zona sesar dan dapat
terbentuk pada semua jenis sesar, yaitu sesar naik, normal, dan mendatar.
Gambar
5.5 Ilustrasi metode smf (Bull dan McFadden, 1977).
Persamaan untuk menghitung muka pegunungan (Smf) adalah:
Tabel 5.3 Klasifikasi derajat
aktivitas tektonik berdasarkan indeks sinuitas muka gunung (Doornkamp, 1986)
5.6. Hasil Analisa
Dari hasil deliniasi subDAS daerah Bojongkokosan
dan sekitarnya, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
digunakan untuk menganalisa beberapa variabel dengan cara menghitung morfometri
subDAS tersebut. Dalam studi morfotektonik, analisis morfometri digunakan untuk
mengidentifikasi karakter bentuk suatu wilayah dan kaitannya dengan tingkat
aktifitas tektonik.
5.6.1.
Hasil Nilai Morfometri DAS
5.6.1.1. Analisis Luas dan Panjang DAS
Daerah Penelitian
Luas daerah
aliran sungai di dapatkan hasil 9 x 6 Km dari keluasan lokasi daerah penelitian
yang dimana pada lokasi tersebut panjang 9 Km dan lebar 6 Km dengan keluasan 54
Km.
Dari
data perhitungan nilai panjang jarak datar dari muara sungai ke arah hulu
sepanjang sungai induk di dapatkan nilai 22 Km. Sedangkan lebar DAS adalah perbandingan
antara luas DAS dengan panjang sungai induk.
W = A/Lb
Keterangan:
W = lebar DAS (Km)
A = luas DAS (Km)
Lb
= panjang sungai utama (Km)
|
Dari
hasil perhitungan rumus diatas diketahui:
Lebar (W) = 54 / 22 (Km)
= 2,45 (Km)
|
Lebar (W) = 23 / 19,5 (Km)
= 1,18 (Km)
|
5.6.1.2.
Analisis Kemiringan atau Gradien Sungai
Gradien atau kemiringan sungai dapat diperoleh dengan
persamaan sebagai berikut:
G = Jarak
Vertikal/Jarak Horisontal
Keterangan:
G = Gradien Sungai
J. Vertikal = Beda tinggi antara
hulu dengan hilir (m)
J. Horisontal = Panjang sungai
induk (m)
|
Dari data
perhitungan nilai kemiringan atau gradient sungai didapatkan:
Gradien Sungai = 237,5 / 22000 (m)
= 0,010 (m)
|
Gradien Sungai = 74 / 15900 (m)
= 0,004 (m)
|
5.6.1.3. Analisis Orde dan Tingkat Percabangan
Sungai
1.) Orde Sungai
Alur sungai dalam suatu DAS dapat dibagi dalam beberapa orde
sungai. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya
terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Dengan demikian makin banyak jumlah orde
sungai akan semakin luas pula DAS nya dan akan semakin panjang pula alur
sungainya.
Gambar
5.6 Peta orde sungai daerah penelitian
Tabel 5.4 Hasil perhitungan orde
sungai
subDAS
|
Orde 1
|
Orde 2
|
Orde 3
|
Orde 4
|
Citatih
|
101
|
24
|
9
|
2
|
Cibodas
|
49
|
10
|
6
|
Tingkat
percabangan sungai (bufurcation ratio) adalah angka atau indeks yang ditentukan
berdasarkan jumlah alur sungai untuk suatu orde.
2.) Tingkat percabangan sungai
Berikut merupakan nilai tingkat
percabangan sungai (Rb) :
Tabel 5.5Hasil perhitungan tingkat
percabangan sungai
Rb
|
Rb1/2
|
Rb2/3
|
Rb3/4
|
Citatih
|
4,21
|
2,67
|
4,50
|
Cibodas
|
4,9
|
1,66
|
Setelah melakukan pengukuran didapat bahwa subDAS daerah penelitian
pada Das Citatih dari orde 1 hingga orde 4 memiliki 136 segmen sungai, dan
rasio subDAS daerah penelitian tersebut memiliki rentang nilai 2,67 sampai 4,50.
Nilai yang didapat merupakan indikasi telah terjadi deformasi akibat pengaruh
tektonik bila nilai rasio cabang sungai kurang dari 3 dan lebih dari 5 (Strahler,
1964; dalam Verstappen, 1983. kemudian
pada Das Cibodas dari orde 1 hingga orde 4 memiliki 65 segmen sungai, dan rasio
subDAS daerah penelitian tersebut memiliki rentang nilai 1,66 sampai 4,9. Nilai
yang didapat merupakan indikasi telah terjadi deformasi akibat pengaruh
tektonik bila nilai rasio cabang sungai kurang dari 3 dan lebih dari 5
(Strahler, 1964; dalam Verstappen, 1983.
5.6.1.4. Analisis Kerapatan Jaringan
Sungai
Kerapatan aliran/drainase DAS merupakan indeks yang
menunjukan banyaknya anak sungai dalam suatu DAS, dinyatakan dengan perbadingan
antar panjang keseluruhan dengan luas DAS atau bisa diartikan seperti ini,
kerapatan aliran/drainase DAS adalah panjang total sungai (sungai utama+anak
sungai) dibagi dengan luas DAS
Definisi kerapatan aliran diatas dapat dijabarkan dalam
rumus berikut:
Dd = L/A
Keterangan:
Dd = indeks kerapatan sungai (km/km2)
L = jumlah panjang sungai termasuk anak-anak sungainya
(Km)
A = Luas DAS (km2)
|
Kerapatan
aliran = 105,4/54
= 1,95 (Km/Km²)
|
Kerapatan
aliran = 38.37/23
= 1,66 (Km/Km²)
|
Nilai kerapatan pengaliran (Dd) Das
citatih dan cibodas masuk kedalam katagori sedang karena alur sungai melewati
batuan dengan resistensi yang lebih lunak, sehingga angkutan sedimen yang
terangkut aliran akan lebih besar (Soewarno, 1991). Hal ini menandakan bahwa
secara keselurahan subDAS di daerah penelitian memiliki kemampuan menampung air
yang cukup dan permeabelitas tanah yang baik pula.
5.6.3.5. Analisis Bentuk DAS dan
Nisbah Perpanjangan Sungai
Bentuk
Daerah Aliran Sungai Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS
mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu
berpengaruh terhadap kecepatan terpusat aliran. Menurut Gregari dan Walling
(1975).
Rc = 4ยตA/P²
Keterangan:
Rc
= Basin circularity
A
= Luas DAS (m2)
P
= Keliling (m)
ะฟ = 3,14
|
Basin circularity Citatih =
4.3,14.54/ 115,13= 5,89
|
Basin circularity Cibodas =
4.3,14.23/51,12 = 5,65
|
Nilai
perhitungan nisbah perpanjangan sungai
Re = (2√(A/ยต))/Lb
Keterangan:
Re = Nisbah perpanjangan
A = Luas DAS
Lb = panjang sungai induk
|
Nisbah
perpanjangan sungai Citatih = (2√
(54/3,14))/22
= 0,37
|
Nisbah
perpanjangan sungai Cibodas = (2√
(23/3,14))/15,9
= 0,34
|
Nilai bentuk DAS dan Nisbah Perpanjangan Sungai menunjukkan
bahwa RC > Re masuk kedalam katagori membulat karena laju aliran permukaan cepat
sehingga konsentrasi air lebih cepat (Soewarno, 199).
5.6.3.6. Kelurusan Daerah Penelitian
Analisa kelurusan dengan menggunakan
data citra DEM dimaksudkan untuk mengamati pola-pola kelurusan. Pada daerah penelitian
memiliki arah kelurusan relative berarah barat laut – tenggara yang didukung
dari data citra Dem dan pola kelurusan sungai.
Gambar 5.7 Kombinasi kelurusan citra
DEM dan kelurusan sungai daerah penelitian
Berdasarkan
dari hasil penarikan kelurusan citra DEM dan kelurusan sungai pada gambar (5.7)
menghasilkan diagram rosette sebagai berikut:
Gambar
5.8 Hasil kelurusan dari diagram roset daerah penelitian.
Dari
diagram roset dapat dilihat bahwa arah struktur geologi di daerah penelitian
dominan ke arah relative Barat Laut - Tenggara. Aktifitas tektonik dapat
diketahui melalui analisis morfotektonik berdasarkan data/informasi yang
diperoleh dari nilai Smf.
5.6.3.7. Analisa Morfometri Non DAS
Pada analisa Smf ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
aktifitas tektonik pada daerah penelitian yang dimana pada analisa ini dibantu
dengan kelurusan punggungan dan lembah. Analisis kelurusan punggungan maupun
lembah, menggunakan data berupa citra DEM dimaksudkan untuk mengamati pola - pola
kelurusan yang konsisten yang nantinya dapat membantu dalam analisis struktur
geologi di daerah penelitian.
Persamaan untuk menghitung muka pegunungan (Smf) adalah:
Smf = Lmf / Ls
Keterangan:
Lmf
= Panjang lekukan muka pegunungan pada bagian bagian bawah
Ls = Jarak lurus muka pegunungan
Tabel 5.6
Nilai perhitungan Smf
No
|
Smf 1
|
Smf 2
|
Smf 3
|
1
|
1.81
|
1,93
|
1,72
|
Gambar
5.9 Hasil analisis Smf pada daerah penelitian.
Dari
data perhitungan sinusitis pegunungan telah didapat nilai 1,72 - 1,93 menandakan
adanya tektonik menengah sampai lemah menurut (Doornkamp, 1986) dalam penentuan
derajat aktivitas tektonik berdasarkan indeks sinusitis muka gunung.
5.7. Pembahasan
Analisis morfotektonik Daerah Aliran
Sungai (DAS) daerah penelitian dilakukan melalui penilaian secara kuantitatif
terhadap berbagai indek geomorfik, yaitu dengan melakukan berbagai perhitungan
morfometri DAS dan morfometri non-DAS. Perhitungan morfometri DAS dan
morfometri lembah/gunung yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
kondisi morfotektonik dan tingkat aktifitas tektonik di daerah penelitian
adalah sebagai berikut:
1.
Sinuitas Muka Gunung
2.
Rasio Cabang Sungai
3.
Kerapatan Pengaliran
Dari
ketiga aspek tersebut diperoleh nilai Rb citatih 2,67 sampai 4,50 dan nilai Rb
cibodas 1,66 sampai 4,9. dapat disimpulkan bahwa daerah memiliki pengaruh
deformasi, kemudian nilai Dd citatih 1,95 dan Dd cibodas 1,66 menandakan aktivitas tektonik yang sedang. Nilai Smf menandakan bahwa aktivitas tektonik
masuk ke dalam kategori menengah sampai lemah.
Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LING DIBAWAH INI
CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )
0 Response to "Studi Morfotektonik Berdasarkan Das Citatih Dan Cibodas Daerah Bojongkokosan Dan Sekitarnya, Kecamatan Parangkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat."
Post a Comment