GEOLOGI DAERAH LEWIDULANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN SODONGHILIR KABUPATEN TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT
GEOLOGI
DAERAH LEWIDULANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN SODONGHILIR KABUPATEN TASIKMALAYA
PROVINSI JAWA BARAT
Penelitian ini dilakukan
oleh :
1.
Nama : Perpetua Moniz Braganca,
S.T.
2.
Alumni : STTNAS Yogyakarta
3.
Koordinat : X : 175000-181000 dan Y : 917200-9178000
4.
Tahun :
2017
GEOLOGI
DAERAH PENELITIAN
Kajian rinci geologi daerah Lewidulang
dan sekitarnya kecamatan Sodonghilir Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
dilakukan setelah melakukan pemetaan geologi rinci (detail geologycal mapping). Interpretasi kondisi geologi daerah
penelitian meliputi berbagai aspek yaitu aspek geomorfologi, aspek stratigrafi,
aspek struktur geologi, aspek sejarah geologi dan juga aspek geologi tata
lingkungan yang berkembang pada daerah
penelitian. Hasil dari kajian ini merupakan interpretasi komprehensif dari
berbagai parameter identifikasi yang dilakukan selama proses pemetaan rinci di
lapangan dan juga didukung oleh analisis laboratorium maupun analisis studio.
4.1. Interpretasi Awal Indikasi Tubuh Gunung Api
Indikasi adanya tubuh gunung api baik
yang masih aktif, mati maupun gunung api purba dapat dikenali
dari berbagai macam
pendekatan, yaitu pendekatan analisis pengindraan jauh
(inderaja) dan geomorfologi, pendekatan analisis peta geologi, pendekatan
analisis stratigrafi maupun litofasies gunung api, struktur geologi, petrologi,
petrografi dan geokimia, analisis data pemboran maupun pendekatan studi geofisika.
4.1.1. Pendekatan Inderaja dan Geomorfologi Gunung Api
Gambar 4.3 Bentukan
3D arah barat-timur dari citra DEM daerah penelitian.
4.1.2. Pendekatan Fasies Gunung Api
Pada bab sebelumnya (Bab II) dibahas mengenai fasies
gunung api yang mana dari tiap fasies gunung api dicirikan oleh kehadiran
batuan tertentu. Dari analisa data yang didapatkan pada survey awal, diperoleh
adanya intrusi, lava, piroklastik jatuhan dan
breksi, secara geomorfologi daerah penelitian berada di lereng
gunung api Kolotok yang diperkirakan gunung api tua,
dapat dilihat dari SRTM yang membentuk kaldera. Untuk fasies gunung api bisa di
interpretasikan berdasarkan geomorfologi. Gunung Bitung dan Beunying merupakan
fasies pusat, Lava Salawu, Breksi Andesit Salawu1 dan Breksi Andesit Salawu2
berupa fasies proksimal, Tuf merupakan fasies
Medial.
4.2. Geomorfologi
Interpretasi awal geologi daerah
penelitian merupakan tahap interpretasi peneliti pada daerah penelitian yang
dilakukan dari hasil analisis serta sintesa awal pada daerah penelitian.
Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data penelitian awal (reconnaissance) dan data sekunder yang
diperoleh sehingga peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek-aspek geologi
yang meliputi atas geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan Pendekatan
kegunungapian dari daerah penelitian. Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan
geomorfologi daerah penelitian terdiri atas pola pengaliran, satuan
geomorfologi, proses geomorfologi (morfogenesis), stadia sungai dan stadia
daerah.
4.1.2 Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi pada
daerah penelitian ditentukan melalui analisis peta topografi dengan melihat
pola kontur, citra DEM (Digital Elevation Model), analisis pola pengaliran, proses geologi,
stadia daerah dan dari data pendukung berupa peta zonasi kelerengan menurut Van
Zuidam – Cancelado (1979) yang di olah menggunakan software arcgis berdasarkan parameter kerapatan
kontur (Gambar 4.4). Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian mengacu
pada klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Brahmantyo dan Bandono, 2006), berdasarkan
proses geologi baik endogen maupun eksogen. Interpretasi dan penamaannya
berdasarkan deskriptif eksplanatoris (genetis), bukan secara empiris atau
parametris, misalnya dari kriteria persen lereng saja.
Gambar 4.4. Peta kemiringan lereng
daerah penelitian berdasarkan pola kontur pada peta topografi (berdasarkan
klasifikasi lereng menurut van Zuidam R.A – van Zuidam-Cancelado 1979).
Selain
pembagian yang didasarkan pada analisis studio, peneliti juga melakukan
pengecekan dan pengukuran terhadap sudut kelerengan secara langsung di
lapangan. Hal itu perlu dilakukan karena peneliti merasa pengukuran berdasarkan
sayatan morfometri pada peta topografi kurang begitu mewakili
keadaan yang sebenarnya. Sebagai contoh, terdapat daerah yang mengalami
perubahan tata guna lahan, dahulu merupakan lahan kosong dibudidayakan
menjadi perkebunan ataupun dilakukan proses penambangan. Hal
itu, tentunya akan mengubah suatu topografi suatu daerah yang berdampak pada
berubahnya suatu kelerengan (Gambar 4.5).
Gambar 4.5. Pembagian Satuan
Geomorfologi melalui analisis peta topografi dengan melihat pola kontur, citra
DEM, analisis pola pengaliran, proses geologi, stadia daerah dan dari data
pendukung berupa peta zonasi kelerengan menurut van Zuidam – van Zuidam Cancelado
(1979) dan Brahmantyo, Bandono, 2006.
Berdasarkan hasil analisis parameter di
atas dan pengamatan secara langsung di lapangan, serta memperhatikan aspek
morfogenesa yang mengontrol morfologi pada daerah penelitian, maka satuan geomorfologi
pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi beberapa satuan Geomorfologi yaitu:
Satuan Geomorfologi Perbukitan Karst (V.2); Satuan Geomorfologi Dataran Karst
(V.8); Satuan Geomorfologi Dataran
Hembusan Piroklasti Lumbung
(III.15); Pegunungan Aliran
Piroklastik Salawu2 (III.12); Satuan Geomorfologi Bukit Intrusi Beunying
(III.5); Satuan Geomorfologi Bukit Intrusi Bitung (III.5); Satuan Geomorfologi
Punggungan Aliran Lava Salawu2 (III.10); Satuan Geomorfologi Punggungan Aliran
Piroklastik Salawu1 (III.10).
4.2.1.1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Karst (V.2)
Satuan
ini meliputi luas kurang lebih 4,17% dari total luas daerah penelitian dan meliputi desa Cipaingeun.
Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk karena akumulasi koral
pada lingkungan laut dangkal yang membentuk terumbu karang (gamping terumbu).
Dari Proses tersebut menghasilkan morfologi tinggian dan rendahan.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng
rata-rata 20,94 % dengan beda tinggi rata-rata
34,75 m, ketinggian daerah antara 575 m – 737 m diatas permukaan laut.
Dikontrol oleh pola pengaliran dendritrik dan memiliki relief
perbukitan-tersayat kuat. Tersusun oleh batugamping terumbu (Gambar 4.6).
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk
dalam satuan geomorfologi perbukitan kars (V.2). Tata guna lahan digunakan
sebagai kawasan pemukiman dan pertanian.
Gambar 4.6. Satuan Geomorfologi Perbukit Karst (V.2).
Lensa kamera menghadap ke arah Selatan (foto diambil di
LP 11 pada koordinat 176725-
9172898).
4.2.1.2. Satuan Geomorfologi Dataran Karst (V.8)
Satuan ini meliputi luas kurang lebih
1,39 % dari total luas daerah penelitian meliputi desa Burujuljaya. Morfologi
pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk karena akumulasi
koral pada lingkungan laut dangkal yang membentuk terumbu karang (gamping
terumbu). Dari Proses tersebut menghasilkan morfologi rendahan.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng
rata-rata 37,50 % dengan beda tinggi rata-rata
12,82 m, ketinggian daerah antara 375 m diatas permukaan laut. Dikontrol
oleh pola pengaliran dentritik dengan bentuk lembah sungai V dan memiliki
relief Bergelombang lemah - kuat. Tersusun oleh Batugamping terumbu.
Berdasarkan data – data di atas, maka
satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi dataran kars (V.8). Tata guna lahan di gunakan sebagai kawasan permukiman.
4.2.1.3. Satuan Geomorfologi Dataran Hemusan Piroklasti Lumbung (III.15)
Satuan ini meliputi luas kurang lebih
38,9 % dari total luas daerah penelitian meliputi Desa Cigunung, Desa
Cibanteng, Desa Lewidulang, Desa Pakalongan dan Desa Cikalong. Morfologi pada
satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung
pada daerah penelitian. Dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi
tinggian dan rendahan, dimana rendahan tersebut terbentuk akibat adanya proses
jatuhan piroklastik kepermukaan bumi menghasilkan batuan tuf sehingga membentuk
bentukan dataran aliran piroklastika (Gambar 4.7).
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng rata-rata 13,39% dengan
beda tinggi rata-rata 39,80 m,
ketinggian daerah antara 200 m – 587 m diatas permukaan laut. Dikontrol oleh
pola pengaliran dendritrik dengan bentuk lembah sungai V dibagian hulu dan U
dibagian Hilir, memiliki relief perbukitan – tersayat kuat. Tersusun oleh tuff
dan breksi tufa.
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi
ini termasuk dalam satuan geomorfologi dataran hembusan piroklastika lumbung
(III.15). Tata gunalahan digunakan sebagai kawasan pemukiman, perkebunan dan
pertanian.
Gambar 4.7. Satuan Geomorfologi
Dataran Jatuhan Piroklastik Lumbung (III.15). Lensa kamera menghadap ke arah
Selatan (foto diambil pada koordinat 1792184-917230).
4.2.1.4. Satuan Geomorfologi Pegunungan Aliran Piroklastik Salawu2 (III.12)
Satuan
ini meliputi luas kurang lebih 32,6 % dari total luas daerah
penelitian meliputi Desa Puspahiang, Desa Puspajaya, Desa Layabakti,
Desa Sukanagara, Desa Sukasenang dan Desa Pusparahayu, Morfologi pada satuan
ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung pada
daerah penelitian. Dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi
tinggian dan rendahan, dimana tinggian tersebut terbentuk akibat adanya jatuhan
piroklastik kepermukaan bumi menghasilkan morfologi pegunungan (Gambar 4.8).
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng rata- rata 35,90 % dengan
beda tinggi rata-rata 75,42m, ketinggian daerah antara 387 m – 600 m diatas
permukaan laut. Dikontrol oleh pola pengaliran sub-paralel dengan bentuk lembah
sungai V, memiliki relief perbukitan-tersayat kuat. Tersusun oleh breksi gunung
api.
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk
dalam satuan geomorfologi pegunungan aliran piroklastik Salawu2 (III.12). Tata
guna lahan digunakan sebagai kawasan pemukiman dan perkebunan.
Gambar 4.8. Satuan Geomorfologi
Pegunungan Aliran Piroklastik Salwu2 (III.15). Lensa kamera menghadap ke arah
Barat (foto diambil pada koordinat 178437-917682).
4.2.1.5. Satuan Geomorfologi Bukit Intrusi Beunying (III.5)
Satuan
ini meliputi luas kurang lebih
5,55 % dari total luas daerah penelitian meliputi Desa Sukasenang.
Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik
yang berlangsung pada daerah penelitian. Dari Proses vulkanik tersebut
menghasilkan morfologi tinggian dan rendahan, dimana tinggian tersebut
terbentuk akibat adanya proses keluarnya magma kepermukaan bumi menghasilkan
lava sehingga membentuk bentukan bukit intrusi.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng
rata-rata 30,44 % dengan beda tinggi rata-rata
41,67 m, ketinggian daerah antara 525 m – 600 m diatas permukaan laut.
Dikontrol oleh pola
pengaliran sub-paralel dengan bentuk lembah sungai V, memiliki relief
perbukitan – tersayat kuat. Tersusun oleh intrusi andesit (Gambar 4.9).
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi
ini termasuk dalam satuan geomorfologi bukit intrusi Beunying (III.5). Tata
guna lahan digunakan sebagai kawasan perkebunan.
Gambar 4.9. Satuan Geomorfologi Bukit
Intrusi Beunying (III.5). Lensa kamera menghadap ke arah Selatan (foto diambil
pada koordinat 178944- 917861).
4.2.1.6. Satuan Geomorfologi Bukit Intrusi Bitung (III.5)
Satuan ini meliputi luas kurang lebih
2,8 % dari total luas daerah penelitian
meliputi Desa Layabakti. Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk
akibat proses vulkanik yang berlangsung pada daerah penelitian. Dari Proses
vulkanik tersebut menghasilkan morfologi tinggian dan rendahan, dimana tinggian
tersebut terbentuk akibat adanya proses keluarnya magma kepermukaan bumi
menghasilkan batuan intrusi.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng
rata-rata 39,47 % dengan beda tinggi rata-rata
59,38m, ketinggian daerah antara 412 m – 550 m diatas permukaan laut.
Dikontrol oleh pola pengaliran sub-dentitik dengan bentuk lembah sungai V,
memiliki relief perbukitan – tersayat kuat. Tersusun oleh intrusi dasit (Gambar
4.10).
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk
dalam satuan geomorfologi bukit intrusi bitung (III.5). Tata guna lahan
digunakan sebagai kawasan pemukiman dan pertanian.
Gambar 4.10. Satuan Geomorfologi Bukit
Intrusi Bitung (III.15) dan Dataran Piroklastik Lumbung. Lensa kamera menghadap
ke arah Selatan (foto diambil pada koordinat 177880-917626).
4.2.1.7. Satuan Geomorfologi Punggungan Alira Piroklastik Salawu1 (III.10)
Satuan
ini meliputi luas kurang lebih 4,17 % dari total luas daerah
penelitian meliputi Desa Muncang. Morfologi pada satuan ini secara
morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung pada daerah
penelitian. Dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi tinggian dan rendahan, dimana
terbentuk akibat adanya proses lelehan aliran lava.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng rata-rata 25,98% dengan
beda tinggi rata-rata 40,00 m,
ketinggian daerah antara 412 m – 450 m diatas permukaan laut. Dikontrol oleh pola pengaliran rectangular dengan bentuk lembah
sungai V, memiliki relief perbukitan-tersayat kuat. Tersusun oleh lava andesit.
Berdasarkan data – data di atas, maka
satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi punggungan aliran
lava Salawu1 (III.10). Tata guna lahan digunakan sebagai kawasan perkebunan.
4.2.1.8. Satuan Geomorfologi Punggungan Aliran Lava Salawu (III.10)
Satuan ini meliputi luas kurang lebih
6,9 % dari total luas daerah penelitian
meliputi Desa Muncang. Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk
akibat proses vulkanik yang berlangsung pada daerah penelitian. terbentuk
akibat adanya proses lelehan lava.
Berdasarkan kenampakan morfologi dan
morfometrinya, satuan ini mempunyai kemiringan lereng rata-rata 30,01 % dengan
beda tinggi rata - rata 43,75 m, ketinggian daerah antara 437 m – 480 m diatas permukaan
laut. Dikontrol oleh pola
pengaliran rectangular dengan bentuk lembah sungai V, memiliki relief
perbukitan – tersayat kuat. Tersusun oleh breksi andesit.
Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi
ini termasuk dalam satuan geomorfologi punggungan aliran lava Salawu (III.10).
Tata guna lahan digunakan sebagai kawasan perkebunan dan pertanian.
4.2.2.
Pola Pengaliran
Pola pengaliran merupakan bagian penting
dari tahapan geomorfologi yang
berhubungan erat dengan topografi dan sistem hidrologi daerah penelitian yang
hubungannya dengan curah hujan dan merupakan sifat-sifat yang paling penting untuk klasifikasi bentang
alam. Pola pengaliran (drainage basin) merupakan suatu pola dalam kesatuan
ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan dan membentuk suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury,
1969). Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan data alur sungai dan lembah
peta topografi maupun citra DEM SRTM maupun pengamatan lapangan. Pola pengaliran
di daerah penelitian berdasarkan jenis-jenis pola aliran sungai menurut
(Howard,1967) dapat dibagi menjadi 3 jenis pola pengaliran (Gambar 4.11) yaitu
pola denditrik, rectangular dan sub-paralel.
Gambar 4.11. Pola pengaliran pada daerah penelitian secara
umum dibagi menjadi pola pengaliran denditrik, rectangular dan sub-paralel.
1.
Pola Pengaliran Dendritik
Pola dendritik yaitu pola aliran
menyerupai percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam.
Berkembang di batuan yang homogen dan kontrol struktur tidak dominan, kontrol pembentukannya adalah pada batuan dengan resistensi yang seragam. Luas pola pengaliran ini meliputi + 47,22 %
dari daerah penelitian. Pola pengaliran dendritik meliputi
sungai-sungai utama yakni sepanjang Sungai Cilongan. Pola pengaliran dendritik
berkembang di satuan geomorfologi dataran aliran piroklastika Lumbung dan
Satuan geomorfologi dataran karst.
2.
Pola Pengaliran Rectangular
Pola Pengaliran rectangular yaitu pola aliran
yang memberikan kenampakan baik individu maupun
bergabungnya dengan sungai utama/induk yang membentuk
sudut tegak lurus. Pola ini berkembang pada daerah yang dipengaruhi oleh struktur geologi yang sistematik. Luas
pola pengaliran ini meliputi + 2,78 %
dari daerah
penelitian. Sungai-sungai yang termasuk ke pola pengaliran
ini adalah hilir Sungai Cilongan. Pola pengaliran ini berkembang di satuan
geomorfologi punggungan aliran lava Jajaway, Satuan geomorfologi punggungan
aliran lava Pangradinan punggungan aliran lava Muncang.
3.
Pola Pengaliran Sub-Paralel
Pola Pengaliran sub paralel yaitu pola
aliran ubahan dari pola aliran paralel yang berkembang pada morfologi dengan
kemiringan menengah. Luas pola pengaliran ini meliputi + 50 % dari
daerah
penelitian.
Pola
pengaliran
ini berkembang di
satuan geomorfologi pegunungan
aliran piroklastik Lumbung, satuan geomorfologi
bukit intrusi Beunying dan satuan geomorfologi bukit intrusi Bitung.
4.2.3. Proses Geomorfologi
Morfogenesis adalah suatu urutan
kejadian dan interaksi antara satuan bentang alam yang ada pada suatu daerah
serta proses - proses geologi (proses endogenik dan eksogenik) yang
mengontrolnya (Thornbury, 1969). Proses - proses
endogenik (asal dalam) tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan tektonik
serta proses eksogenik (asal luar) seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi.
Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material
lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam
lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam
bumi, disebut proses endogen.
Bentuk lahan dari proses geomorfologi
dapat berupa tahap membangun (constructional landform) dan tahap merusak
(destructional landform). Aktivitas vulkanisme terjadi mulai dari periode
Tersier Oligosen-Miosen. Proses ini mempengaruhi morfologi daerah penelitian,
diantaranya menyebabkan terbentuknya morfologi yang khas pada daerah
penelitian, sebagai contoh yaitu terdapat morfologi dataran aliran piroklastik
dan pegunungan aliran piroklastik yang diakibatkan bentuk lahan yang masuk
tahapan membangun tetapi akibat adanya proses eksogenik maka bentuk lahan
tersebut sudah tidak lagi sempurna akibat tahapan merusak karena adanya logsor.
4.2.4.
Stadia Sungai
Stadia sungai di daerah penelitian
memperlihatkan stadia sungai muda (Gambar 4.12) serta stadia dewasa (Gambar
4.13). Stadia sungai muda dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi
berlangsung lebih cepat, erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral,
sisi tepi sungai curam, tidak terdapat dataran banjir, kemiringan sungai
curam, bentuk sungai
relatif lurus dan kenampakan batuan
dasar di sungai Cidadap.
Stadia sungai dewasa
dicirikan oleh kecepatan
aliran berkurang, kemiringan sungai
sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat
dibanding erosi vertical seperti di sungai Cilongan.
Gambar 4.12. Kenampakan aliran Sungai
Cidadap dengan sifat erosional vertikal (foto diambil ke arah barat daya di LP
22 koordinat 178879- 9173500).
Gambar 4.13. Sungai Cilongan memiliki
bentuk “U” yang menunjukkan perkembangan erosi horizontal (foto diambil ke arah
Timur di LP 3 koordinat 182503-917877).
4.2.5. Stadia Daerah
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh
litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah
pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan
menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation). Tingkat kedewasaan suatu
daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia
sungai yang terdapat di daerah penelitian.
Kondisi
bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi
oleh proses eksogenik yang sangat
intensif, sehingga memperlihatkan adanya bukit sisa erosi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan,
dari segi litologi
yang dominan lapuk berat hingga beberapa meter secara
vertikal dan morfologi yang dominan perbukitan sampai tersayat kuat yang
sebagian membentuk bergelombang lemah sampai kuat. Proses eksogenik di lapangan
dengan adanya proses denudasional dimana proses ini menyebabkan batuan dasar di
daerah penelitian tersingkap dengan baik. Hal ini terjadi pada satuan Intrusi
Bitung maupun Intrusi Beunying.
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap
model tingkat stadia menurut Lobeck (1939) (Gambar 2.6), maka dapat disimpulkan
secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia muda - stadia
dewasa. Berdasarkan Tahapan perkembangan bentang alam gunung api (Hartono,
2010) (Gambar 2.4), bentang alam volkanik mengalami tererosi tingkat lanjut.
Penggolongan stadia daerah dan bentukan bentang alam volkanik digunakan untuk
membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek
geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan
dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi, struktur
geologi yang beragam.
4.3. Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian
berdasarkan peta geologi regional Lembar Tasikmalaya (Budhitrisna dkk., 1986)
termasuk ke dalam empat formasi
dari tua ke muda yaitu Formasi Jampang (Tomj),
Dasit (Tmda), Formasi Bentang (Tmpb) dan
Anggota Sukaraja Formasi Bentang (Tmbs). Penentuan umur relatif satuan khuluk
dilakukan berdasarkan hasil analisis tubuh gunung api dan disebandingkan dengan satuan batuan pada Peta
Geologi Lembar Tasikmalaya dan Pameungpeuk (Budhitrisna dkk., 1986).
Gumuk Bukit Bitung termasuk ke dalam
Satuan Batuan Dasit (Tmda). Satuan ini kemudian dinamakan Satuan Khuluk Salawu.
Gumuk Bukit Beunying termasuk kedalam Satuan Batuan Formasi Bentang (Tmpb).
Satuan ini juga termasuk kedalam Khuluk Salawu . Khuluk Lumbung Formasi Bentang
(Tmpb). Ada juga satuan batuan Non-Vulkanik yaitu Batugamping Anggota Sukaraja
Formasi Bentang (Tmbs).
Berdasarkan analisis kesebandingan
geologi regional Lembar Tasikmalaya (Budhitrisna dkk., 1986), dan dengan
penamaan satuan batuan yang mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996)
berdasarkan volkanostratigrafi yang tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia
pada Bab III pasal 26 dan pasal 27(Martodjojo
dan Djuhaeni, 1996),
Satuan Khuluk Salawu
berumur lebih tua dari
pada Satuan Khuluk Lumbung. Penentuan umur relatif satuan khuluk dilakukan
berdasarkan rona morfologi pada citra DEM dan pola yang khas terlihat pada peta
topografi serta dari kesebandingan umur dari data regional (Budhitrisna dkk.,
1986). Sehingga urutan untuk pengumuran satuan stratigrafi di daerah penelitian
dari tua ke muda (Tabel 4.1) berupa:
Tabel 4.1 Urutan
Satuan Stratigrafi dari tua ke mudah daerah penelitian
No.
|
Khuluk
|
Gumuk
|
Non Vulkanik
|
1.
|
Salawu
|
||
2.
|
Salawu 1
|
||
3.
|
Bitung
|
||
4.
|
Salawu 2
|
||
5.
|
Beunying
|
||
6.
|
Lumbung
|
||
7
|
Batugamping Packstone
Anggota Sukaraja
|
Berdasarkan analisis yang telah disebutkan di atas dan digabungkan dengan data pengamatan batuan di lapangan
daerah penelitian dapat dibagi menjadi satuan-satuan volkanostratigrafi dan
satuan non Vulkanik. Satuan-satuan tersebut
akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
4.3.1. Khuluk Salawu
Khuluk Salawu terletak di utara daerah
penelitian. Satuan khuluk ini merupakan satuan khuluk tertua di daerah penelitian. Satuan ini memiliki
morfologi perbukitan sampai tersayat kuat dan terletak pada ketinggian
412-600 mdpl. Khuluk Salawu terdiri atas dua gumuk yaitu gumuk Bitung dan gumuk
Beunying, kemudian terdiri dari tiga satuan yaitu Satuan Batuan Aliran Lava
Andesit Salawu, Satuan Batuan
Aliran Piroklastik Breksi
Andesit Salawu1 dan Satuan Batuan
Aliran Piroklastik Breksi Andesit Salawu 2.
· Satuan Batuan Aliran Lava Andesit Salawu (Sl1)
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Lava Andesit Salawu yang
merupakan kelompok litologi yang tersebar di bagian barat daerah penelitian,
mencakup Desa Muncang, dengan penyebaran 4,17% dari total luas daerah, tepatnya di
lereng paling bawah Gunung Jajaway. Litologi penyusun satuan ini dominan sudah
lapuk relatif kuat sehingga
kenampakannya hanya berupa bongkah karena bagian luarnya sudah mengalami
pelapukan yang intensif. Sehingga ketebalan singkapan tidak bisa di
identifikasikan.
Litologi Penyusun
Satuan
Batuan Aliran Lava Andesit Salawu merupakan satuan
batuan tertua di daerah
penelitian. Satuan ini terdiri dari lava andesit. Secara megaskopis dilapangan
batuan ini terlihat berwarna segar abu-abu gelap, warna lapuk coklat kehitaman
tekstur porfiritik, struktur masif, vesikuler dan terdapat banyak kekar,
berkomposisi mineral kuarsa, felspar, piroksin dan masa dasar mineral mafik dan felsic (Gambar 4.14).
Gambar 4.14. Kenampakan lava andesit di daerah
penelitian dengan tekstur porfiriritik (foto diambil di LP 59 koordinat
176650-917500).
Secara mikroskopis pada pengamatan plane polarized light (PPL) batuan
memperlihatkan warna putih sampai abu-abu cerah dan di cross polarized light (XPL) terlihat berwarna relatif gelap dan
berwarna warni. Sample batuan ini di tandai oleh tingkat kristalisasi magma yang
hipokristalin, inequigranular, tekstur umum porfiritik, tekstur khusus berupa trachytic (fenokris dan masa dasar
batuan memperlihatkan penjajaran mineral) bentuk mineral euhedral – anhedral,
dengan fenokris (64,5%) dengan ukuran 0,1-2 mm. fenokris terdiri dari
plagioklas (karlsbad-Albit) 20%, kuarsa 1%, piroxin
(15%)
opak
3%
dan
massa
dasar
plagioklas (andesin)
30% dan gelas
26% dengan ukuran
<0,1 mm (Lampiran 4 Hal.
125).
Penetuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu
yang membahas satuan batuan yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber
erupsi, ciri fisik dan genesis dari batuan penyusun satuan lava andesit
termasuk kedalam khuluk Salawu yang secara umur berdasarkan Budhitrisna dkk.
(1986), Satuan Lava Andesit Salawu1 berada pada kisaran umur Oligosen-Miosen
(Tabel 4.2).
Tabel
4.2. Kolom Litologi dan Kesebandingan umur terhadap geologi regional pada
Satuan Aliran Lava Andesit Salawu.
Penentuan
Lingkungan Pembentukan
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada
tekstur sampai struktur primer yang dijumpai
dilapangan. Lava Andesit
pada satuan ini memiliki struktur
masif dan dengan tekstur porfiritik dengan pola aliran terlihat secara
megaskopis yang merupakan indikasi pembentukan mineral yang cepat sebab adanya
banyak gangguan dalam proses pembentukannya dan merupakan ciri batuan yang terbentuk di luar tubuh gunung api berupa lava. Berdasarkan
data tersebut, lingkungan pembentukan satuan lava Andesit Salawu terbentuk
pada lingkungan darat tepatnya sudah di permukaan gunung api yang mengalir
keluar sebagai lava.
Hubungan
Stratigrafi dan Genesa
Satuan Lava Andesit
Salawu merupakan satuan
tertua di daerah
penelitian fase destruktif pada zaman Tersier.
Secara hubungan stratigrafi berdasarkan kesebandingan
dengan regional, Satuan Lava Andesit Salawu terbentuk
pada kirasan umur Oligosen Akhir.
Secara genesa berdasarkan data petrografi, batuan lava
andesit Salawu1 terbentuk pada masa afinitas magma yang high kalk alkali
berdasarkan komposisi mineral utama (Gambar
2.10) berupa melimpahnya plagioklas, kehadiran Piroksen,
dan kuarsa (Lampiran 4 Hal.125) yang terbentuk pada tataan tektonik
konvergen yang masih relatif dekat dengan jalur penunjamannya dan suhu
pembentukan batuan berdasarkan sikuen dari plagioklas (modifikasi dari Troger dan Goldsmith 1916 dalam
Kerr 1961) (Gambar 2.12) sehingga lava andesit Salawu dengan
komposisi plagioklas albit, andesin sehingga dapat di kesebandingkan bahwa
lava andesit ini terbentuk di kisaran suhu 770o-900oC.
·
Satuan Batuan Aliran Piroklastik
Breksi Andesit Salawu1 (Sp1)
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Breksi Andesit Salawu1 yang
merupakan kelompok litologi yang tersebar di bagian barat daerah penelitian,
mencakup Desa Muncang, dengan penyebaran 11,11% dari total luas daerah
penelitian, tepatnya di lereng paling bawah Gunung Jajaway. Litologi penyusun
satuan ini dominan sudah lapuk relatif kuat sehingga kenampakannya hanya berupa bongkah
karena bagian luarnya
sudah mengalami pelapukan yang intensif. Sehingga ketebalan singkapan
tidak bisa di identifikasikan.
Litologi
Penyusun
Satuan ini merupakan kelompok litologi
yang berkembang di barat daerah penelitian. Satuan ini terutama tersusun oleh
breksi andesit (Gambar 4.15). Kehadiran satuan ini daerah penelitian secara megaskopis satuan
ini berwarna abu- abu cerah, warna lapuk kuning
kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir tidak seragam, fragmen berukuran
kurang lebih 2-15cm, sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk menyudut sub-angular,
komposisi fragmen andesit berkomposisi mineral kuarsa, feldspar, dengan masa
dasar mineral mafik dominan dan sedikit mineral felsik dan matrik berbutir
halus < 6 mm, berkomposisi litik dan kuarsa.
Gambar 4.15. Kenampakan Breksi Andesit dengan tekstur klastik. A.
Fragmen B. Matrix (foto diambil di LP 15 koordinat 175653-917387).
Secara
mikroskopis fragmen batuan pada pengamatan PPL berwarna coklat dan XPL berwarna relatif hitam,
bentuk kristal euhedral-anhedral, inequigranular, tekstur porfiritik, tekstur
khusus vitrovirik, komposisi plagioklas 33%, hornbled 2%, kuarsa 2%, mineral
opaq 3%, dan massa dasar berupa gelas 60%. Matrix batuan pada pengamatan PPL berwarna coklat
kehitaman dan XPL berwarna relatif hitam, stuktur masif, tekstur
meliputi ukuran butir <2mm, kemas terbuka, bentuk butir menyudut, dan
sortasi sedang. Tersusun oleh komposisi berupa fedspar 14%, kuarsa 7%, lithic 15%, opaq 9% dan matriks
berupa gelas 64% (Lampiran 4 Hal.127
& 129).
Penentuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu yang membahas satuan
batuan yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan
genesis dari batuan penyusun satuan breksi andesit termasuk kedalam khuluk
Salawu yang secara umur berdasarkan Budhitrisna dkk. (1986), Satuan breksi
andesit Salawu2 berada pada kisaran umur Oligosen-Miosen (Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Kolom Litologi
dan Kesebandingan umur terhadap geologi
regional pada Satuan Breksi
Andesit Salawu1.
Penentuan Lingkungan Pembentukan
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada
tekstur sampai struktur primer yang dijumpai dilapangan. Breksi Andesit pada
satuan ini memiliki struktur masif dan dengan tekstur piroklastik dengan pola aliran
terlihat secara megaskopis yang merupakan indikasi pembentukan mineral yang cepat sebab
adanya banyak gangguan dalam proses pembentukannya dan merupakan ciri batuan yang terbentuk di luar tubuh gunung api berupa breksi.
Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan breksi
Andesit Salawu1 terbentuk pada lingkungan darat tepatnya sudah di permukaan
gunung api yang mengalir keluar sebagai breksi.
Hubungan
Stratigrafi dan Genesa
Satuan Breksi Andesit Salawu2 merupakan
satuan yang secara periode setelah lava andesi Salawu1. Secara hubungan
stratigrafi berdasarkan kesebandingan dengan regional, Satuan Breksi Andesit
Salawu1 terbentuk pada kirasan umur Oligosen Bawah setelah pembentukan lava
andesit Salawu1.
Secara genesa berdasarkan data
petrografi, batuan breksi Andesit Salawu1 terbentuk pada masa afinitas magma
yang high kalk alkali berdasarkan komposisi mineral utama (Gambar 2.10) berupa
melimpahnya plagioklas, hornblende, magnetit serta kuarsa (Lampiran 4 Hal.127
& 129) yang terbentuk pada tataan tektonik konvergen yang masih relatif
dekat dengan jalur penunjamannya.
· Gumuk Intrusi Dasit Bitung (Bda)
Gumuk Bitung terletak di barat daya
daerah penelitian. Satuan ini memiliki
morfologi perbukitan sampai tersayat kuat dan terletak pada ketinggian 412-550
mdpl. Gumuk Bitung terdiri atas satu satuan yaitu Satuan Batuan Intrusi Dasit
Bitung.
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Intrusi Dasit Bitung yang
merupakan kelompok litologi yang tersebar di bagian barat laut daerah
penelitian, mencakup Desa Muncang dan Desa Layabakti dengan penyebaran 2,8% dari total luas daerah,
tepatnya di Gunung Bitung Dan Gunung Gegercae.
Litologi penyusun satuan ini masih kelihatan segar namun sabagiannya
ada yang sudah lapuk. Ketebalan singkapan tidak bisa di identifikasikan.
Litologi
Penyusun
Satuan batuan Gumuk Intrusi Dasit Bitung
merupakan kelompok litologi yang berkembang secara setempat di Desa Layabakti.
Litologi Satuan ini tersusun oleh batuan beku dasit (Gambar 4.16). Ciri-Ciri
fisik satuan ini di lapangan memperlihatkan warna segar abu-abu terang, warna
lapuk coklat, tekstur porfiro afanit, stuktur masif, komposisi kuarsa dan
plagioklas.
Gambar 4.16. Kenampakan Intrusi Dasit dengan tekstur porfiro afanit
(foto diambil di LP 53 koordinat 176822-917580).
Secara mikroskopis pada pengamatan PPL
berwarna coklat muda dan XPL berwarna abu-abu kehitaman, struktur zoning,
inequigranular, tekstur porfiritik, bentuk butir menyudut, berkomposisi
plagioklas 34%, hornblede 11%, kuarsa 6%, mineral opaq 3%, dan massa dasar
berupa kuarsa 46% (lampiran 4 Hal. 131).
Penentuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu
yang membahas satuan batuan yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber
erupsi, ciri fisik dan genesis dari batuan penyusun satuan dasit termasuk
kedalam Khuluk Bitung yang secara umur berdasarkan Budhitrisna dkk. (1986),
Satuan Intrusi Dasit Bitung berada pada kisaran umur Miosen (Tabel 4.4).
Tabel 4.4. Kolom Litologi
dan Kesebandingan umur terhadap geologi
regional pada Satuan Intusi
Dasit Bitung.
Penentuan
Lingkungan Pembentukan
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada
tekstur sampai struktur primer yang dijumpai
dilapangan. Intrusi Dasit
pada satuan ini memiliki struktur
masif dan dengan tekstur
porfiritik dengan pola
aliran terlihat secara
megaskopis yang merupakan indikasi pembentukan mineral yang cepat
sebab adanya banyak gangguan dalam proses pembentukannya dan merupakan ciri batuan yang terbentuk tubuh intrusi berupa Dasit. Berdasarkan
data tersebut, lingkungan pembentukan satuan intrusi dasit Bitung terbentuk
pada lingkungan darat.
Hubungan
Stratigrafi dan Genesa
Satuan Intusi Dasit Bitung merupakan
satuan yang secara periode setelah breksi andesit Salawu11. Secara hubungan
stratigrafi berdasarkan kesebandingan dengan regional, Satuan Intusi Dasit
Bitung terbentuk pada kisarann umur Miosen setelah pembentukan breksi andesit
Salawu1.
Secara genesa berdasarkan data petrografi, batuan
Intrusi Dasit Bitung terbentuk pada masa afinitas magma yang high kalk alkali
berdasarkan komposisi mineral utama (Gambar 2.10) berupa melimpahnya
plagioklas, hornblende, magnetit serta kuarsa (Lampiran 4 Hal. 131) yang
terbentuk pada tataan tektonik konvergen yang masih relatif dekat dengan jalur
penunjamannya dan suhu pembentukan batuan berdasarkan sikuen dari
plagioklas (modifikasi dari Troger dan Goldsmith 1916 dalam Kerr 1961) (Gambar
2.12) sehingga intrusi
dasit Bitung dengan komposisi plagioklas (andesine) sehingga
dapat di kesebandingkan bahwa intrusi dasit ini terbentuk di kisaran suhu 900oC.
·
Satuan Batuan Aliran Piroklastik
Breksi Andesit Salawu2 (Sp2)
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Breksi Andesit Salawu3 yang
merupakan kelompok litologi yang tersebar
di bagian utara
daerah penelitian, mencakup
Desa Puspahiang, Desa Layabakti, Desa Sukasenang dan Desa Sukanagara, dengan penyebaran 32,6% dari total luas daerah
penelitian. Litologi penyusun satuan ini dominan sudah lapuk relatif kuat sehingga kenampakannya hanya berupa bongkah
karena bagian luarnya sudah mengalami pelapukan yang intensif. Sehingga
ketebalan singkapan tidak bisa
di identifikasikan.
Litologi Penyusun
Satuan ini merupakan kelompok litologi yang berkembang di
utara daerah penelitian. Satuan ini terutama tersusun oleh breksi andesit
(Gambar 4.17). Kehadiran satuan ini daerah penelitian , secara megaskopis satuan ini berwarna
abu- abu kemerahan, warna lapuk orange
kekuningan , tekstur
klastik, ukuran butir
tidak seragam, fragmen berukuran kurang lebih 2-12cm, sortasi buruk,
kemas terbuka, bentuk menyudut sub-angular, komposisi fragmen andesit
berkomposisi mineral kuarsa, feldspar, dengan masadasar mineral mafik dominan
dan sedikit mineral felsik dan matrik berbutir halus < 2mm, berkomposisi
litik dan kuarsa.
Gambar 4.17. Kenampakan Breksi Andesit Porfiri yang sudah relatif
sangat lapuk (foto diambil di LP 57).
Secara mikroskopis fragmen breksi pada
pengamatan PPL berwarna abu- abu kecoklatan dan XPL hitam keabu-abuan struktur
masif, derajat kristalisasi holokristalin, bentuk mineral euhedral- subhedral,
relasi inequigranular porfiritik dimana fenokris tertanam pada massa dasar
berupa mineral dengan ukuran yang lebih kecil. Komposisi mineral berupa plagioklas
(andesin) 34%, hornblende 9%, kuarsa 8%, mineral
opak 20% dan masa dasar 29%. Matrix breksi pada pengamatan
PPL berwarna abu-abu keputihan dan XPL bewarna abu-abu kehitaman, struktur
masif, tekstur meliput ukuran butir <2mm bentuk butir anggular, kemas terbuka,
komposisi 20% terdiri dari fragmen dan 80% matrix, Komponen fragmen berupa
litik 3%, kuarsa 7%,plagioklas 10%, komponen matrix yaitu gelas 50%, mikrolit
kuarsa 5%, mikrolit plagioklas 25% dan semen berupa oksidasi besi (Lampiran 4
133 & 135)
Penentuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu
yang membahas satuan batuan yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber
erupsi, ciri fisik dan genesis dari batuan penyusun satuan breksi andesit
termasuk kedalam khuluk Salawu yang secara umur berdasarkan Budhitrisna dkk.
(1986), satuan breksi andesit Salawu 2 berada pada kisaran umur Miosen (Tabel
4.5).
Penentuan
Lingkungan Pembentukan
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada tekstur
sampai struktur primer yang dijumpai
dilapangan. Breksi Andesit
porfiri pada satuan
ini memiliki struktur masif dan dengan tekstur piroklastik dengan
pola aliran terlihat secara megaskopis yang merupakan indikasi pembentukan
mineral yang cepat sebab adanya banyak gangguan dalam proses pembentukannya dan
merupakan ciri batuan yang terbentuk di luar tubuh gunung api berupa breksi.
Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan breksi Andesit Salawu3
terbentuk pada lingkungan darat tepatnya sudah di permukaan gunung api yang
mengalir keluar sebagai breksi.
Tabel 4.5. Kolom Litologi dan Kesebandingan umur terhadap
geologi regional pada Satuan Batuan Aliran Piroklastik Breksi Andesit Salawu2
Hubungan
Stratigrafi dan Genesa
Satuan Breksi Andesit Salawu2 merupakan
satuan yang secara periode setelah intrusi dasit Bitung. Secara
hubungan stratigrafi berdasarkan kesebandingan dengan regional, Satuan Breksi Andesit Salawu2
terbentuk pada kisaran umur Miosen Tengah setelah pembentukan intrusi dasit.
Secara genesa berdasarkan data
petrografi, batuan breksi Andesit Salawu2 terbentuk pada masa afinitas magma
yang high kalk alkali berdasarkan komposisi mineral utama (Gambar 2.10) berupa
melimpahnya plagioklas, hornblende, magnetit serta kuarsa (Lampiran 4 Hal.133
& 135) yang terbentuk pada tataan tektonik konvergen yang masih relatif
dekat dengan jalur penunjamannya.
·
Gumuk Intrusi Andesit Beunying
Gumuk
Intrusi Andesit Beunying
terletak di Utara daerah penelitian. Satuan ini memiliki morfologi perbukitan sampai tersayat
kuat dan terletak
pada ketinggian 525-600 mdpl.
Gumuk Beunying terdiri atas satu satuan yaitu Satuan Batuan Intrusi Andesit Beunying
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Intrusi Andesit Beunying yang
merupakan kelompok litologi yang tersebar di bagian Utara daerah
penelitian, penyebaran 5,55% dari total luas daerah penelitian, tepatnya di Gunung
Beunying dan Gunung Gede. Litologi penyusun satuan ini masih kelihatan segar
namun sabagiannya ada yang sudah lapuk. Ketebalan singkapan tidak bisa di identifikasikan.
Litologi
Penyusun
Ciri-Ciri fisik satuan ini di lapangan memperlihatkan
secara megaskopis berwarna segar abu-abu gelap, warna lapuk orange, tekstur
porfiritik, stuktur masif, komposisi kuarsa dan plagioklas, masa dasar mineral
mafik dan felsic (Gambar 4.18). Pada pengamatan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 10x dan perbesaran objektif 4x dan pada pengamatan PPL
berwarna coklat dan XPL abu-abu kehitaman, hipokristalin, bentuk kristal euhedral-anhedaral,
inequigranular, tekstur porfiritik komposisi mineral plagioklas 41%, hornblede
7%, kuarsa 5%, mineral opaq 3%, dan massa dasar berupa mikrolit feldspar
Mmineral tertanam pada massa dasar berupa mikrolit feldspar 44% (Lampiran 4
Hal. 138).
Gambar 4.18. Kenampakan pada Intrusi Andesit dengan tekstur
porfiritik (foto diambil di LP 38 koordinat 179121-917788).
Penentuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu pada peneliti terdahulu
yang membahas satuan batuan yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber
erupsi, ciri fisik dan genesis dari batuan penyusun satuan intrusi andesit
termasuk kedalam Khuluk Salawu yang secara umur berdasarkan Budhitrisna dkk.
(1986), Satuan Intrusi Andesit Beunying berada pada kisaran umur Miosen (Tabel
4.6).
Tabel 4.6. Kolom Litologi dan Kesebandingan umur terhadap geologi
regional pada Satuan Intusi
Andesit Beunying.
Penentuan
Lingkungan Pembentukan
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada
tekstur sampai struktur primer yang dijumpai dilapangan. Intrusi Andesit pada
satuan ini memiliki struktur masif dan dengan tekstur porfiritik dengan pola
aliran terlihat secara megaskopis yang merupakan indikasi pembentukan mineral
yang cepat sebab adanya banyak gangguan dalam
proses pembentukannya dan merupakan ciri batuan yang terbentuk di luar tubuh gunung api berupa Intrusi.
Berdasarkan data tersebut, lingkungan pembentukan satuan Intrusi Andesit Beunying terbentuk pada lingkungan
darat tepatnya sudah di permukaan gunung api yang menerobos lapisan batuan yang lain.
Hubungan
Stratigrafi dan Genesa
Secara hubungan stratigrafi berdasarkan kesebandingan
dengan regional, Satuan Intrusi Andesit Beunying terbentuk pada kirasan umur
Miosen.
Secara genesa berdasarkan data petrografi, batuan
Intrusi Andesit Beunying terbentuk pada masa afinitas magma yang high kalk
alkali berdasarkan komposisi mineral utama (Gambar
2.10) berupa melimpahnya plagioklas, kehadiran Piroksen,
dan kuarsa (Lampiran 4 Hal. 138) yang terbentuk pada tataan tektonik
konvergen yang masih relatif dekat dengan jalur penunjamannya dan suhu
pembentukan batuan berdasarkan sikuen dari plagioklas (modifikasi dari Troger dan Goldsmith 1916 dalam
Kerr 1961) (Gambar 2.12) sehingga intrusi andesit Beunying dengan komposisi
plagioklas (andesin) sehingga dapat di kesebandingkan bahwa intrusi andesit ini
terbentuk di kisaran suhu 900oC.
4.3.2
Khuluk Lumbung
Khuluk Lumbung terletak ± 38,9 % di
daerah penelitian. Satuan khuluk ini merupakan satuan khuluk lebih muda
daripada khuluk Salawu dan berdasarkan hasil analisis citra SRTM dan
kesebandingan umur regional. Satuan ini memiliki morfologi Bergelombang kuat–perbukitan, terletak pada ketinggian 200 m – 587 m mdpl.
Satuan khuluk ini hanya terdiri
dari satuan batuan jatuhan piroklastik Crystal Tuf Lumbung
·
Satuan Batuan
Hembusan Piroklastik Crystal Tuf Lumbung
(Lp)
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan Batuan Hembusan Piroklastik Crystal Tuf Lumbung tersebar di bagian
selatan daerah penelitian, penyebaran singkapan dari total luas daerah.
Satuan ini penyebaranya
lebih luas dari
pada satuan yang
lainnya. Litologi penyusun satuan ini dominan
sudah lapuk relatif
kuat karena ketidak resistennya batuan tersebut
sehingga mengalami pelapukan yang intensif. Ketebalan singkapan tidak bisa di
identifikasikan.
Litologi
Penyusun
Satuan ini terutama tersusun oleh tuf dan
breksi tuf. Memiliki ciri-ciri tuf
dengan warna segar abu- abu, warna lapuk coklat kekuningan,
tekstur piroklastik struktur masif, berkomposisi litik, gelas, dan kuarsa
dengan ukuran < 1mm (Gambar 4.19), dijumpai sisipan breksi tuf dengan warna
abu-abu kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir tidak seragam, fragmen
berukuran kurang lebih 2-36 cm, sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk menyudut –
menyudut tnggung, komposisi fragmen tuf berkomposisi mineral kuarsa,
feldspar,dengan masa dasar mineral mafik dominan
dan sedikit mineral
felsik dan matrik berbutir halus < 2mm, berkomposisi litik, kuarsa(Gambar 4.20).
Gambar 4.19. Kenampakan pada Tuf dengan tekstur Piroklastik
(foto diambil di LP 23 koordinat 178860-917670).
Gambar 4.20. Kenampakan pada breksi tuf
dengan tekstur klastik dan ukuran butir yang tidak seragam (foto diambil di LP
1 koordinat 180650- 917240).
Secara mikoskopis pada pengamatan PPL
berwarna coklat dan XPL berwarna abu-abu kehitaman, stuktur masif, tekstur
meliputi ukuran butir <2mm, kemas terbuka, bentuk butir menyudut
tanggung, sortasi buruk.
Tersusun oleh lithic 8%, feldspar 26%, horblende 7 %,
kuarsa 18%, opaq 7% dan matriks berupa gelas 34%. Sisipan breksi tuff (Lampiran 4 Hal.140) sisipan
breksi tuf komposisi fragmen secara mikroskopis pada pengamatan PPL berwarna coklat
dan XPL abu-abu kehitaman, stuktur masif, tekstur meliputi ukuran butir
>2mm, kemas terbuka, bentuk butir menyudut tanggung, dan sortasi sedang.
Tersusun oleh lithic 5%, feldspar 42%, horblend 5%, kuarsa 23%, opaq 2%, dan
matriks berupa gelas 23%. Matrix ecara mikroskopis pada pengamatan PPL berwarna
coklat dan XPL berwarna relatif hitam, stuktur masif, tekstur meliputi
ukuran butir <2mm,
kemas terbuka, bentuk butir menyudut tanggung, dan sortasi buruk. Tersusun
oleh lithic 12%, feldspar 54%, horrblend 4%, kuarsa 6%, opaq 1% dan matriks
berupa gelas
23% (Lampiran 4
Hal. 142 & 145).
Penetuan Umur
Peneliti terdahulu belum ada yang
melakukan dating untuk pengumuran
secara absolut sehingga dalam penentuan umur batuan di gunakan metode
kesebandingan pada stratigrafi regional ataupun mengacu
pada peneliti terdahulu yang membahas satuan batuan
yang mencakup daerah ini. Berdasarkan sumber erupsi, ciri fisik dan genesis
dari batuan penyusun satuan Crystal tuf
Lumbung termasuk kedalam khuluk Lumbung yang secara umur berdasarkan
Budhitrisna dkk. (1986), Satuan Hembusan Pirklastik Crystal tuf Lumbung berada pada kisaran umur Miosen (Tabel 4.7).
Tabel 4.7. Kolom Litologi dan Kesebandingan umur terhadap
geologi regional pada Satuan Hembusan Pirklastik Crystal tuf Lumbung
Penentuan
Lingkungan Pembentukan
Penentuan
lingkungan pengendapan didasarkan
pada struktur-struktur primer yang dijumpai dilapangan. Crystal tuf pada satuan ini memiliki
struktur masif dan dengan tekstur piroklastik dengan jatuhan terlihat secara
megaskopis yang merupakan indikasi
pembentukan mineral yang cepat sebab adanya banyak gangguan dalam proses
pembentukannya dan merupakan ciri batuan yang terbentuk di luar tubuh gunung
api berupa abu/debu gunung api. Berdasarkan data tersebut, lingkungan
pembentukan satuan jatuhan piroklastik Crystal
tuf Lumbung terbentuk pada lingkungan darat tepatnya sudah
di permukaan gunung api.
Hubungan Stratigrafi dan Genesa
Satuan
Hembusan Piroklastik Crystal Tuf
Lumbung merupakan satuan
yang secara periode setelah
Intusi Andesit Porfiro
Beunying. Secara hubungan
stratigrafi berdasarkan kesebandingan dengan regional, Satuan Jatuhan
Piroklastik Crystal Tuf Lumbung
terbentuk pada kirasan umur Miosen setelah pembentukan Intusi Andesit Beunying.
4.3.3
Satuan Batugamping Packstone Anggota Sukaraja
Satuan
batugamping packstone
anggota sukaraja merupakan
satuan termuda yang tersingkap
di daerah penelitian. Satuan ini disususun oleh litologi batugamping.
Persebaran dan
Ketebalan
Satuan batugamping packstone Anggota Sukaraja ini menempati ± 5,56 % dari luas daerah
penelitian dan mempunyai penyebaran di timur dan selatan dari daerah penelitian
dan menempati wilayah meliputi Desa Berujuljaya dan Desa Cipangeun. Daerah
penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi perbukitan
– dataran kars. Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A-A’,
satuan ini mempunyai ketebalan ± 375 meter.
Litologi
Penyusun
Satuan ini tersusun oleh batugamping packstone. Secara megaskopis dilapangan terlihat
berwarna putih dengan
warna lapuk kekuningan sampai cokelat,
bentuk berupa terumbu karang, tekstur non-klastik, struktur masif, ukuran butir
<2mm,
butiran tidak seragam bentuk sub rounde-sub angular, kemas tertutup, sortasi
baik, komposisi mineral kalsit (Gambar 4.21)
Secara mikroskopis berwarna PPL berwarna
coklat dan pada XPL berwarna warni, tekstur meliputi ukuran, <1/8 mm, kemas
tertutup, bentuk butir menyudut dan sortasi sedang, tersususn oleh fosil 10%,
kalsit 54%, dan micrite 31%, rongga 5% (lampiran 4 Hal.146).
Gambar 4.21. Kenampakan Litologi batugamping pakstone yang sudah relatif lapuk. foto
diambil di LP 11 koordinat 176730-9172400).
Penentuan Umur
Penentuan umur pada satuan ini berdasarkan analisa
kandungan fosil foraminifera Plangtonik pada batugamping packstone, berdasarkan analisa tersebut
dapat diketahui satuan batugamping packstone
Anggota Sukaraja mempunyai kisaran umur N16-N17
(Tabel 4.8). (Miosen
Akhir) didasarkan oleh hadirnya fosil, Spaerodinella Subdehinces (lapisan atas LP.10), Globorotalia acostaensis, Globigerina bulloides (lapisan tengah
LP.11), Globoquardina altispira (lapisan
bawah LP.27) (Lampiran 5 Hal. 148, 149 & 151)
Tabel 4.8. Kisaran umur satuan batugamping packstone Anggota Sukaraja berdasarkan
dari Zonasi Blow (1969).
Lingkungan
pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan menggunakan kandungan fosil
foraminifera bentonik pada batugamping terumbu.
Batugamping packstone
anggota sukaraja diendapkan pada lingkungan neritik
tengah sampai neritik
luar (Tabel 4.9) Data tersebut diperjelas dengan
hasil analisa fosil benthonik bahwa satuan ini di endapkan di kedalaman 20-200
meter (Tipswor, Setzer & Smith, 1996) dan (Phleger 1960), didasarkan
atas hadirnya fosil Martinottiella
commuis, Pyrulinella sp (lapisan atas Lp.10), Amphistegina vulgaris, Amphistegina carinata, Dentalina obliqua (lapisan
tengah LP.11), Martinottiella commuis,
Pyrulinella sp (lapisan bawah LP.27) (Lampiran5 Hal. 152, 154 & 158).
Tabel 4.9. Lingkungan pengendapan satuan batugamping packstone Anggota Sukaraja berdasarkan
kandungan foraminifera bentonik
Hubungan Stratigrafi
Satuan batugamping packstone
Anggota Sukaraja, secara hubungan stratigrafi berdasarkan kesebandingan
dengan regional selaras menjari dengan satuan jatuhan
piroklastik Crystal Tuf Lumbung
(Tabel 4.10).
4.4. Struktur Geologi
Struktur geologi yang terdapat pada
daerah penelitian dapat diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan
pengkajian data citra SRTM, peta topografi, peta geologi regional, dan yang
paling utama adalah data hasil recognaisanse
yang berupa catatan, foto, dan pengukuran dari data–data struktur pada
daerah penelitian.
4.4.1. Analisis Peta Geologi Regional
Berdasarkan data dari hasil analisa peta
geologi regional (Budhitrisna dkk, 1986), maka peneliti
menyimpulkan terdapat adanya
indikasi struktur geologi
yang terdapat pada daerah penelitian (Gambar 4.22).
Pola kelurusan utama sesar – sesar
tersebut berarah barat daya – timur laut yang terdapat pada bagian tengah
daerah penelitian. Keberadaan struktur geologi yang ada di peta geologi
regional perlu dikaji lebih jauh keberadaan serta bukti- buktinya di lapangan
karena peta geologi regional ini hanya sebatas data sekunder dan petunjuk bagi
peneliti dalam menginterpretasi struktur geologi pada daerah penelitian.
Gambar 4.22. Peta
geologi regional daerah penelitian (Budhitrisna dkk, 1986).
4.4.2. Analisis Peta SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
Berdasarkan analisa data struktur
geologi terhadap citra SRTM di daerah penelitian, maka peneliti mendapatkan
hasil analisis yakni terdapatnya beberapa kelurusan-kelurusan berarah
barat-timur, utara-selatan dan pola yang lebih dominan yakni berarah baratlaut-tenggara
yang peneliti interpretasikan sebagai struktur geologi yang terbentuk akibat
adanya tektonik (Gambar
4.23). Kelurusan morfologi semacam ini umum dijumpai pada
daerah perbukitan. Daerah penelitian memiliki umur Oligosen akhir Miosen hingga Pliosen.
Gambar 4.23. Hasil analisa pola kelurusan di daerah
penelitian berdasarkan data citra SRTM.
4.4.3. Analisa Peta Topografi
Berdasarkan analisa pola, arah, dan
kelurusan kontur pada peta topografi di
daerah penelitian, maka peneliti mendapatkan beberapa pola kelurusan yang
berarah relatif barat laut – tenggara (Gambar
4.24).
Gambar 4.24. Peta topografi untuk analisis struktur yang
terdapat di daerah penelitian.
Dari hasil analisa citra SRTM dan
analisa peta topografi dapat disimpulkan
bahwa pola kelurusan dominan memiliki arah barat laut – tenggara.
4.5 Geologi Lingkungan
Geologi lingkungan adalah cabang ilmu geologi terapan
yang membahas tentang pemanfaatan sumber kekayaan bumi oleh manusia dan
berhubungan erat dengan permasalahan perencanaan fisik, pengembangan wilayah
serta usaha pengendalian lingkungan hidup dengan melihat aspek-aspek geologi
yang ada pada suatu daerah. Geologi lingkungan dikontrol oleh beberapa aspek
geologi yang mencakup sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan
lereng, letak dan potensi batuan untuk bahan galian, letak endapan potensial dan
potensi bencana alam akibat pengaruh kondisi geologinya. Suatu perencanaan tata
lingkungan dengan tinjauan ilmu geologi
akan membantu dalam pemanfaatan lingkungan dan mengurangi
pengaruh negatif dari pemanfaatan / dampak lingkungan.
Perencanaan dengan tinjauan geologi
lingkungan akan membantu dalam pemanfaatan lingkungan seoptimal mungkin dan
membantu mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin pengaruh negatif dari
pemanfaatan lingkungan. Pengaruh aspek geologi terhadap lingkungan dapat
menciptakan masalah yang berakibat pada tata kehidupan manusia yang bermukim di
daerah tersebut. Pertumbuhan penduduk suatu daerah seharusnya selaras dengan
kemajuan sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhan hidup.
4.5.1. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia dalam rangka
memenuhi segala kebutuhan hidup. Sumber daya alam
tersebut mencakup sumber daya tanah, sumber daya air, dan sumber daya bahan
galian.
4.5.1.1. Sumber Daya Tanah
Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian
sebagian besar digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan perkebunan,
pemukiman dan pertanian. Tanah lebih banyak di manfaatkan sebagai perkebunan
dan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan
Sodonghilir (Gambar 4.25).
Gambar 4.25.
Kenampakan Pemanfaatan Sumber Daya Tanah di daerah penelitian.
Perkebunan Manggis
(A). Lahan Pertanian (B).
4.5.1.2. Sumber Daya Air
Air merupakan komponen sumber kehidupan
yang sangat penting bagi kelangsungan makhluk hidup. Bagi masyarakat di daerah penelitian, air merupakan
kebutuhan primer dalam mendukung aktifitas
sehari-hari misalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup
seperti: minum, memasak, mandi, mencuci dan digunakan juga sebagai kebutuhan
lain seperti untuk mengairi sawah, mengairi kolam ikan serta untuk penyiraman
tanaman. Sumber daya air di daerah penelitian dapat dijumpai hanya berupa
air permukaan yang di bawa oleh sungai besar seperti Sungai Cilongan, Sungai Cidadap,
Sungai Cilangkap dan sungai-sungai musiman. Sungai musiman di daerah penelitian
memiliki peranan vital bagi masyarakat sekitar
sebab walaupun kondisi
air yang sangat
minim saat musim kemarau tapi hal
itu merupakan penunjang segala kebutuhan air bagi masyarakat (Gambar 4.26 dan
Gambar 4.27).
Gambar 4.26. Kenampakan Sumber Daya Air Sungai Cilongan
(A). Sungai Cidadap (B) dan sungai-sungai musiman (C & D), yang di gunakan
oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan primer sampai sekunder.
Gambar 4.27. Pemanfaatan Air di daerah penelitian salah
satunya yang gunakan sebagai tempat pemancingan dan kolam ikan dan juga
mengairi lahan persawahan.
4.5.2. Bencana Alam
Kecamatan Sodonghilir, kabupaten
Tasikmalaya merupakan salah satu wilayah yang mempunyai potensi gerakan tanah
cukup tinggi di beberapa desa Kabupaten Sodonghilir dan Kabupaten Salawu
tahun belakangan ini. Hal itu terlihat
dari kondisi morfologi yang berupa perbukitan sampai tersayat kuat, curah hujan
yang besar, dan pemanfaatan lahan di daerah penelitian yang sebagian besar di
manfaatkan sebagai lahan perkebunan dan di bagian lereng agak landai di
manfaatkan sebagai perumahan dan kawasan pertanian (Gambar 4.28).
Gambar 4.28. Longsoran di tebing sungai musiman desa
Puspajaya.
4.5. Sejarah Geologi Gunung Api
Berdasarkan data-data geologi yang dijumpai di
lapangan serta hasil interpretasi dan penafsiran stratigrafi, umur, dan data
analisis petrografi serta data sekunder yang mendukung dan pada akhirnya dapat
dibuat suatu kesimpulan geologi yang menggambarkan sejarah
geologi daerah penelitian pada suatu kerangka
ruang dan waktu. Berdasarkan konsep vulkanologi, secara umum gunung
api mengalami fase kontruksi (membangun) dan destruksi (membentuk Khuluk
besar). Vukanisme di daerah penelitian sangat
kompleks sebab merupakan
wilayah yang hampir
keseluruhan di dominasi oleh produk gunung api dari Tersier sampai
Kuarter yang saling tumpang tindih di lokasi yang relatif berdekatan akibat
pengaruh tektonik setting. Berdasarkan
kesebandingan geologi regional, di daerah penelitian terbentuk suatu Khuluk
besar yaitu Khuluk Salawu yang mengalami
vulkanisme pada beberapa
periode, pada daerah penelitian di mulai pada Oligosen membentuk
gunung Jajaway menghasilkan lava dan breksi Jajaway (Gambar 4.29) yang secara genesa merupakan
gawir terletak di barat daerah penelitian. Periode
selanjutnya pada Miosen
Awal terbentuk Intrusi
Bitung yang menerobos breksi
Jajaway secara petrografi berdasarkan tekstur, komposisi, suhu pembentukan
mineral dan kenampakan di lapangan mencirikan suatu intrusi bersifat andesitik
, salah satunya membentuk Intrusi Bitung, setelah itu pada periode selanjutnya
pada Miosen tengah vulkanisme salawu beraktivitas lagi kemudian menghasilkan
breksi, dalam periode yang berbeda dengan umur yang sama terbentuk Gunung
Bitung dan Gunug Gede berupa Intusi yang menerobos breksi dari hasil vulkanisme
Salawu (Gambar 4.30), selain itu di sebelah selatan di luar daerah penelitian
pada Miosen Akhir Gunung Lumbung mengalami aktivitas vulkanisme dengan tipe
erupsi eksplosif yang menghasilkan hembusan piroklastik berupa tuf/abu gunung
api yang diendapkan pada daerah penelitian (Gambar 4.31), Setelah proses
vulkanisme primer, di daerah penelitian juga terjadi proses sekunder. Dengan
umur yang sama terjadi transgresi dan membentuk batugamping diatas batuan tuf
setelah itu mengalami regresi yang membuat pengendapan berhenti dan kembali mengalami
proses eksogenik sampai Pliosen (Gambar 4.32), Hingga saat hanya terlihat
spot-spot kecil di pingir daerah penelitian (Gambar 4.33).
Tektonik daerah penelitian bisa di
identifikasikan berdasarkan data petrografi berupa komposisi mineral dengan
menentukan tingkat afinitas magma (Wilson 1961) dan di kaitkan dengan tataan
tektoniknya. Daerah Penelitian secara keseluruhan mempunyai afinitas magma yang
high calc alkali, sehingga secara
tektonik masuk periode
akhir dengan jarak
penunjaman sudah relatif
jauh dari busur
Gunung
Apinya (Gambar 4.34).
Gambar 4.29. Awal pembentukan Gunung
Jajaway,gunung Bintung dan Gunung Gegercae pada Oligosen Akhir-Miosen Awal
Gambar 4.30. Pembentukan gunung Gede dan Gunung
Beunyin pada Miosen Tengah.
Gambar 4.31.
Terbentuknya tuf di daerah penelitian pada Miosen Akhir.
Gambar 4.32. Terjadi transgresi pada Miosen Akhir dan
membentuk batugamping diatas tuf.
Gambar 4.33.
Terjadinya regresi dan kemudian mengalami proses eksogenik.
Gambar 4.34. Tatanan tektonik berdasarkan tingkat afinitas
magma (Wilson 1961) yang di dapatkan dari analisis komposisi mineral
Silahkan download filenya
dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
0 Response to " GEOLOGI DAERAH LEWIDULANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN SODONGHILIR KABUPATEN TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT"
Post a Comment