GEOLOGI DAERAH SUKASENANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNG JAYA KABUPATEN TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT
GEOLOGI DAERAH SUKASENANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNG JAYA
KABUPATEN TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT
Penelitian ini dilakukan
oleh :
1.
Nama : Agung Yudi Marfa, S.T.
2.
Alumni : STTNAS Yogyakarta
3.
Koordinat : 174200 –
183200 mE dan 9177100 – 9183100 mN
4.
Tahun :
2018
Interpretasi awal geologi pada daerah penelitian merupakan tahap
interpretasi peneliti pada daerah penelitian meliputi aspek-aspek geologi yang
berkembang di daerah penelitian. Pada tahapan awal ini dilakukan suatu analisis serta sintesa
awal ada daerah penelitian. Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil
data penelitian awal (reconnaissance)
dan data sekunder yang diperoleh sehingga peneliti memiliki gambaran awal
terhadap aspek-aspek geologi yang terdapat pada daerah penelitian. Aspek-aspek
geologi tersebut meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan
geologi gunung api dari daerah penelitian.
4.1. Geomorfologi
Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi
pada daerah penelitian berupa : satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses
geomorfologi (morfogenesis), dan stadia daerah. Masing-masing aspek dijelaskan
sebagai berikut:
4.1.1 Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi daerah
penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat
pola-pola kontur yang
mencerminkan bentuk bentang alam (topografi). Dalam pembagian tersebut
memperhatikan kerapatan dan kerenggangan kontur serta pola-pola kontur yang
khas seperti pola melingkar dan sebagainya. Analisis pembagian satuan bentang
alam tersebut didasarkan oleh dua aspek penting yaitu aspek morfometri dan
morfogenesis.Berdasarkan
hasil perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta melihat
morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi :
1.
satuan
geomorfologi Denudasional slopes and hills (D1)
2.
Satuan
geomorfologi Denudasional slopes and hills (D2)
Satuan Geomorfologi Denudasional slopes and hills (D1)
Satuan geomorfologi ini Bergelombang Lemah – Sedang
Denudasional meliputi ± 52 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu dari seluruh daerah
penelitian meliputi daerah Desa Tanjungjaya, Desa Sukarasa, Desa margalaksana
dan Desa Serang yang mempunyai pelamparan relatif barat - timur pada bagian utara. Morfologi pada
satuan ini berupa bergelombang lemah (Van Zuidam – Cancelado, 1979), secara
morfoganesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlansung pada daerah
penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata - rata 31,03
m dan sudut lereng rata - rata 13,46 %. Satuan ini tersusun oleh litologi
berupa breksi andesit tuf dan kalkarenit. Litologi ini sebagian besar sudah
mengalami pelapukan dan sebagian singkapan tertutupi oleh vegetasi, satuan
geomorfologi ini dimanfaatkan penduduk sebagai pemungkiman persawahan, ladang dan perkebunan. (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Satuan geomorfologi
bergelombang lemah – sedang denudasional (D1) Lensa menghadap ke arah timur
(foto di ambil dekat LP 06, Desa Margalaksana)
Satuan Geomorfologi Denudasional slopes and hills (D2)
Satuan
geomorfologi ini bergelombang lemah – kuat Denudasional meliputi ± 48% dari
seluruh daerah penelitian meliputi Desa Puspajaya, Desa Puspahiang, Desa
Sukasenang dan Desa Sukanagara, yang mempunyai pelamparan relatif barat - timur pada bagian selatan. Morfologi pada
satuan ini berupa bergelombang lemah, secara morfoganesa terbentuk akibat
proses denudasional yang berlansung pada daerah penelitian. Satuan ini
mempunyai beda tinggi rata - rata 35,33 m dan sudut lereng rata - rata 19,96%.
Satuan ini tersusun oleh litologi berupa Tuf, breksi andesit, kalkarenit dan Andesit
porfiri. Satuan ini dimanfaatkan sebagai pemungkiman, dan perkebunan manggis. (Gambar 4.2)
Gambar 4.2 Satuan geomorfologi
bergelombang lemah – kuat denudasional (D2)
Lensa menghadap ke arah selatan
(foto di ambil dekat LP 41 , Desa Puspajaya)
4.1.2
Pola Pengaliran
Pola pengaliran di daerah penelitian
berdasarkan jenis - jenis pola aliran sungai menurut
Howard (1967), Pembagian jenis
pola pengaliran didasarkan pada pengamatan peta topografi, analisis pola
pengaliran maupun pengamatan lapangan (Gambar 4.3). pola pengaliran yang
berkembang di daerah penelitian terdiri dari pola pengaliran Subdentritik.
Gambar 4.3 Peta pola pengaliran
daerah penelitian.
Pola pengaliran SubDendritik
Pola pengaliran ini meliputi keseluruhan dari daerah
penelitian. Sungai-sungai yang termasuk ke pola pengaliran ini adalah Sungai Ci Mawate, Ci panojer dan anak sungainya.
Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi bergelombang lemah - sedang - kuat denudasional (D1 dan D2) dan berkembang di
satuan batuan breksi andesit gunung api
tua dan satuan tuff bentang. Pola Subdentritik dapat mengindikasikan bahwa daerah
penelitian berada
pada proses-proses struktur yang mulai berkembang. Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari
pola utama yaitu Dentritik, pada umumnya berkembang
pada morfologi dengan kemiringan menengah (Howard, 1967, dalam
Soeroto, 2012).
4.1.3
Proses
Geomorfologi
Proses geomorfologi adalah semua proses fisika, kimia
dan biologi yang mengakibatkan perubahan kepada bentuk bumi. Proses fisika ada
yang berasal dari dalam bumi (seperti penerobosan batuan beku, dan deformasi
tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar bumi (seperti penyinaran
oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit ke permukaan bumi).
Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst yang melibatkan
berbagai proses kimiawi. Proses biologi seperti aktifitas hewan dan akar
tumbuhan.
Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk
memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal
dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen.
Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen. Media yang datang
dari luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).
Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa
bentuklahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau
bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional landform). Proses dan
media dapat menghasilkan bentuklahan berbeda di satu kawasan dengan kawasan
lainnya, contoh: erosi oleh aliran sungai menghasilkan lembah (pengrusakan) dan
juga dapat mewujudkan delta (membangun).
Proses - proses geomorfologi yang berada pada daerah
penelitian yaitu proses eksogen, yang mana dicirikan oleh proses pelapukan dan
erosi yang cukup intensif pada daerah penelitian.
4.1.4
Stadia
Sungai
Stadia sungai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti : tingkat erosi, baik erosi vertikal maupun erosi horizontal, jenis
batuannya, kemiringan lereng, kedalaman, iklim, aktivitas organisme dan waktu. Menurut
Thornbury (1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga stadia yaitu
stadia muda, dewasa dan tua. Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan
stadia sungai muda - dewasa.
Stadia muda, dicirikan oleh bentuk lembah sungai V,
proses erosi vertikal lebih intensif, serta kecepatan aliran sungai relatif
lebih cepat, Umumnya
tidak memiliki dataran banjir dan batas antar sungai susah untuk dipisahkan, Kemungkinan
muncul air terjun, biasanya pada litologi yang resisten. Hal ini merupakan ciri
khas pada stadia muda. (Gambar 4.4)
Stadia dewasa,
dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang, dataran
banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, Beberapa litologi pada dasar dan tebing sungai
mungkin muncul akibat erosi oleh arus sungai,
Relief atau topografi
tertinggi kemungkinan akan muncul pada stadia ini, erosi
kesamping lebih kuat dibanding erosi vertikal pada tingkat ini sungai mencapai
kedalaman paling besar, serta lembah berbentuk U.
(Gambar 4.5).
Gambar 4.4 Aliran sungai stadia muda, foto di ambil dekat LP 62 Desa Sukanagara, pada sungai Ci Panjoer (lensa menghadap ke arah barat laut).
Gambar 4.5 Aliran sungai stadia Dewaa, foto di ambil
dekat LP 11 Desa Tanjungjaya, pada sungai Ci Mawate (lensa menghadap ke arah barat).
4.1.5
Stadia
Daerah
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat
kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan
bentang alam dan kondisi sungai yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah
penelitian dikontrol oleh litologi, dan morfologi (proses) baik proses endogen
maupun proses eksogen.
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut
Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda,
dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi). Kondisi bentang alam di daerah
penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat
intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil (Gambar 4.6).
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model
tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia
daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 4.7) Penggolongan stadia
daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu peneliti dalam
menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah
penelitian, hal ini dikarenakan tingkatan dalam stadia daerah di daerah
penelitian di kontrol oleh proses eksogen yaitu berupa erosi dan pelapukan yang
menunjukan stadia daerah di daerah penelitian menggambarkan morfologi daerah
telah berubah dari morfologi aslinya.
Gambar 4.7 Stadia daerah menurut Lobeck
(1939)
4.2 Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan
geologi regional lembar Tasikmalaya (Budhitrisna, 1986) termasuk ke dalam dua formasi dan satu anggota dari tua ke muda yaitu Formasi Bentang (Tmpb),
Anggota sukaraja Formasi bentang
(Tmbs), dan Formasi hasil Gunungapi Tua (Qtv).
Berdasarkan hasil Pemetaan detail, dijumpai variasi litologi dari tua ke muda
yaitu satuan batuan Tuf Bentang, satuan batuan
batugamping
kalkarenit Bentang, satuan Intrusi Andesit dan satuan batuan breksi gunungapi tua. Penamaan satuan batuan tersebut mengacu pada
Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi.
Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap
penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya.
4.2.1
Satuan Tuf Bentang
Satuan Batuan Tuf Bentang merupakan satuan tertua yang
tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini disusun dominan Tuf berdasarkan
ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan
satuan tidak resmi dan
berdasarkan pada geologi regional
juga litostratigarfi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan Tuff Bentang.
4.2.1.1
Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan batuan batupasir Bentang ini menempati ± 40% dari luas daerah
penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relative barat – timur ke selatan dengan wilayah yaitu
meliputi Desa Puspahiang, Desa Pusparahayu, Desa Puspajaya, Desa
Desa Cimanggu, Desa Layabakti, Desa Sukasenang, Desa Sukanagara, Desa dan Desa
Linggaraja. Di daerah penelitian satuan ini
menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat Denudasional (D2). Berdasarkan pengukuran
ketebalan di penampang geologi A – B, satuan ini mempunyai ketebalan ±850 meter.
4.2.1.2
Litologi
Penyusun
Satuan ini tersusun secara dominan
oleh Tuf lithik, secara megaskopis berwarna segar putih
keabu-abuan, warna lapuk abu-abu kecoklatan, tekstur piroklastik, ukuran butir
<2mm, kebundaran sub-angular sampai sub-rounded, mudah patah, terpilah
sedang, komposisi terdapat gelas vulkanik, kuarsa dan litik. secara mikroskopis
dalam pengamatan PPL berwarna abu-abu terang dan XPL berwarna abu-abu gelap,
tekstur dengan ukuran butir <2mm, bentuk butir angular, kemas terbuka,
pemilahan sedang, terusun oleh Litik 52%, Feldspar 10%, Gelas Vulkanik 31%, dan
Mineral Opaq 7%, sehingga nama petrografisnya adalah Tuf Lithik (Klasifikasi
Schmid, 1981), (Gambar 4.8). (Tabel 4.1) (Lampiran
analisis petrografi).
Gambar 4.8 Singkapan Tuf (A, B dan C). Lensa menghadap ke arah barat
(Foto diambil di LP 66, Desa Sukanagara)
Tabel 4.1. Kolom litologi satuan
Tuf Bentang (tidak dalam skala sebenarnya).
4.2.1.3
Umur
Identifikasi umur relatif
pada satuan Tuff Bentang ini tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis paleontologi, hal ini dikarenakan
berdasarkan pada pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di
laboratorium. Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relatif satuan Tuf Bentang ini hanya melakukan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan penentuan umur pada satuan Tuf Bentang ini dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada stratigrafi regional yang tedapat pada peta geologi lembar Tasikmalaya (T. Budhitrisna, 1986), merupakan bagian dari Formasi Bentang yang berumur Miosen Akhir.
dilakukan dengan menggunakan analisis paleontologi, hal ini dikarenakan
berdasarkan pada pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di
laboratorium. Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relatif satuan Tuf Bentang ini hanya melakukan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan penentuan umur pada satuan Tuf Bentang ini dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada stratigrafi regional yang tedapat pada peta geologi lembar Tasikmalaya (T. Budhitrisna, 1986), merupakan bagian dari Formasi Bentang yang berumur Miosen Akhir.
4.2.1.4
Lingkungan
pengendapan
Pada satuan ini tidak ditemukannya
fosil yang dapat mengidentifikasikan penentuan lingkungan pengendapan maka berdasarkan dari data lapangan dan hasil
analisa petrografi satuan ini terendapkan di lingkungan darat.
4.2.1.5
Hubungan
Stratigrafi
Hubungan satuan Tuf ini
terhadap satuan batuan yang berada di
bawahnya tidak diketahui dikarenakan tidak ditemukan kontak dengan satuan
yang berada di bawahnya.
bawahnya tidak diketahui dikarenakan tidak ditemukan kontak dengan satuan
yang berada di bawahnya.
4.2.2
Satuan
Batuan Kalkarenit Bentang
Satuan batuan
Kalkarenit Bentang merupakan satuan batuan yang umur nya sama dengan satuan
Batupasir Bentang, karena satuan Kalkarenit Bentang ini hubungannya melensa
pada satuan Tuf Bentang. Satuan ini disusun secara
dominan oleh Kalkarenit,
umumnya dapat dikorelasikan dengan Formasi
Bentang, sehingga berdsarkan pada litostratigrafi
dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan
ini diberi nama satuan Kalkarenit Bentang Berdasarkan
ciri fisik satuan batuan ini di lapangan,
memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada
geologi regional.
4.2.2.1
Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan batuan Kalkarenit Bentang ini menempati ± 17% dari luas daerah
penelitian dan mempunyai penyebaran relatif pada bagian barat-timur, daerah penelitian dengan
wilayah meliputi Kecamatan Salawu Desa
Cimanggu dan Desa Puspajaya,
Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang
lemah – menengah Denudasional (D1). Berdasarkan pengukuran
ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 100 meter.
4.2.2.2
Litologi
Penyusun
Litologi penyusun pada satuan ini
berupa Kalkarenit, secara megaskopis
berwarna segar kuning gelap, wanra lapuk abu abu kecoklatan, tekstur klastik,
ukuran butir pasir sedang-pasir halus, kemas tertutup, struktur berlapis,
breaksi kuat dengan HCL, tersusun oleh komposisi mineral karbonat, fosil,
secara mikroskopis dalam pengamatan PPL berwarna abu-abu kehitaman, XPL
berwarna abu-abu, tekstur meliputi ukuran 1/16 - 2 mm, kemas tertutup, bentuk
butir membulat tanggung - menyudut tanggung, sortasi sedang, tersusun oleh
Kalsit 7%, Micrite 15%, Fosil 74%, mineral opaq 4%, sehingga nama
petrografisnya adalah Packestone (Dunham,
1962).
satuan ini juga
mengandung mikrofosil plangtonik berupa Globigerinoides
immaturus, Globorotalia acostaenis, Globigerinoides conglobatus,
Globigerinoides trilobus, sedangkan untuk mikrofosil bentonik terdapat Bolivina sp, cibicides sp, elphidium sp,
amphistegina sp, quincueloculina sp, cibicides alazanensis.
(Gambar 4.9) (Tabel 4.2) (Lampiran
analisis petrografi dan paleontologi)
|
Tabel 4.2. Kolom litologi satuan Kalkarenit Bentang (tidak dalam skala sebenarnya).
4.2.2.3
Umur
Penentuan umur pada
satuan Kalkarenit
Bentang ini dilakukan berdasarkan pada hasil
analisis paleontologi terhadap kandungan fosil foraminifera plangtonik yang terdapat pada lapisan atas
dengan nomor sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi), lapisan tengah dengan nomor
sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi), dan
lapisan bawah tidak dijumpai fosil foraminifera
plangtonik dengan nomor sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi). Berdasarkan pada hasil analisis
tersebut dapat diketahui bahwa satuan batugamping
kalkarenit Bentang ini mempunyai kisaran umur
N16
(Miosen Akhir) yang didasarkan atas kehadiran Globigerinoides immaturus (Brady, 1877), Globorotalia acostaensis (Blow, 1959), Globigerina prabuloidess (Blow, 1959), Globigerinoides trilobus (Reuss, 1850), (Tabel 4.3). (Lampiran
paleontologi).
Tabel 4.3. Kisaran umur foraminifera plangtonik pada satuan Kalkarenit
Bentang berdasarkan zonasi Blow (1969).
4.2.2.4
Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan
pengendapan pada satuan Kalkarenit Bentang ini dilakukan berdasarkan dari hasil analisis paleontologi
terhadap kandungan fosil foraminifera bentonik yang terdapat pada lapisan
bawah dengan nomor sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi), lapisan tengah dengan nomor
sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi), dan lapisan atas dengannomor
sampel AG-40 (Lampiran analisis paleontologi). Berdasarkan dari hasil analisis
paleontologi tersebut, maka dapat diketahui bahwa satuan Kalkarenit Bentang ini terendapkan di kedalaman sekitar 100-130 meter pada lingkungan laut neritik
luar (Tipsword, 1966) yang didasarkan atas kehadiran foraminifera
bentonik berupa Bolivina sp ( d’Orbigny, 1839 ), Cibicides cognatus
( Galloway and Morrey, 1931), Cibicides fletcheri (Galloway & Wissler, 1927
), Cibicidoides floridanus (Cushman, 1918), Cibicides sp, Cibicidoides sp, Amphistegina
sp, Elphidium sp, Quincueloculina sp, (Tabel 4.4). (Lampiran paleontologi).
Tabel 4.4. Lingkungan pengendapan pada satuan Kalkarenit Bentang
berdasarkan kandungan foraminifera Bentonik, Tipsword (1969).
4.2.2.5
Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil
pengamatan di daerah penelitian, hasil rekonstruksi
penampang geologi A-B, hasil analisis umur relatif yang menunjukkan satuan ini memiliki umur N16 (Miosen Akhir), dan mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian (Budhitrisna, 1986), maka peneliti memiliki kesimpulan bahwa hubungan stratigrafi pada satuan Kalkarenit Bentang ini dengan satuan yang di atas nya tidak selaras dengan satuan Breksi Andesit Gunungapi Tua memiliki kisaran umur Kuarter sedangkan hubungan dengan di bawahnya yaitu satuan Tuf Bentang memiliki umur kisaran miosen akhir adalah selaras melensa.
penampang geologi A-B, hasil analisis umur relatif yang menunjukkan satuan ini memiliki umur N16 (Miosen Akhir), dan mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian (Budhitrisna, 1986), maka peneliti memiliki kesimpulan bahwa hubungan stratigrafi pada satuan Kalkarenit Bentang ini dengan satuan yang di atas nya tidak selaras dengan satuan Breksi Andesit Gunungapi Tua memiliki kisaran umur Kuarter sedangkan hubungan dengan di bawahnya yaitu satuan Tuf Bentang memiliki umur kisaran miosen akhir adalah selaras melensa.
4.2.3
Satuan
Batuan Intrusi Andesit Porfiri
Satuan batuan Intrusi Andesit porfiri
merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan Batugamping Bentang dan Tuf
Bentang, hubungan antara satuan ini yaitu dimana satuan Andesit Porfiri ini menerobos satuan Tuf Bentang, satuan ini
disusun secara dominan oleh Andesit. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini
di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan
berdasarkan pada geologi regional maka satuan ini diberi nama satuan Intrusi
Andesit Porfiri.
4.2.3.1
Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan batuan Intrusi Andesit Porfiri ini menempati ± 5 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran di selatan daerah
penelitian, daerah
penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Tanjungjaya Desa Sukasenang. Di daerah
penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat Denudasional (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang
A - B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 100
meter.
4.2.3.2
Litologi
Penyusun
Satuan
ini tersusun secara dominan oleh Intrusi Andesit, secara megaskopis
berwarna abu-abu gelap, warna lapuk coklat kemerahan, tekstur porfiritik,
struktur masif, komposisi kuarsa dan plagioklas, masa dasar mineral mafik dan
felsik. Secara mikroskopis pada pengamatan PPL
berwarna coklat dan XPL berwarna abu-abu kehitaman, hipokristalin, bentuk
kristal subhedral-anhedral,
inequigranular, tektur porfiritik tekstur khusus pilotaksitik, tersusun oleh plagioklas
41%, hornblede 7%, kuarsa 5%, mineral opaq 3%, dan Gelas Vulkanik 10% massa
dasar berupa mikrolit feldspar 34%,
sehingga nama peetrografisnya adalah Andesit Porfiri (Streckeisen, 1976). (Gambar
4.10) (Tabel 4.4)
(Lampiran analisa Petrografi).
Gambar
4.10 Singkapan Intrusi Andesit Porfiri Lensa
menghadap ke arah utara (Foto diambil di LP 72, Desa Sukasenang)
4.2.3.3
Umur
Identifikasi umur relatif
pada satuan Intrusi Andesit Porfiri ini tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan analisis paleontologi, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri fisik
batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium
yang menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil. Berdasarkan asumsi
tersebut, maka analisis umur relatif satuan Intrusi Andesit Porfiri ini hanya dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan pada data
geologi regional. Berdasarkan kesebandingan
ciri fisik batuan pada stratigrafi regional
menurut Budhitrisna (1986),
maka satuan Intrusi andesit porfiri ini merupakan bagian dari Formasi Bentang yang berumur Miosen
akhir.
4.2.3.4
Lingkungan
Pengendapan
Identifikasi lingkungan
pengendapan satuan Intrusi Andesit Porfiri ini tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan analisis paleontologi, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri fisik
batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium menunjukkan
bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil, sama
halnya dengan analisis terhadap umur relatif
dari satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan lava andesit Jampang ini dilakukan berdasarkan pada data
geologi regional yang menyatakan bahwa satuan Intrusi Andesit
Porfiri ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat.
4.2.3.5
Hubungan
Statigrafi
hubungan antara satuan ini yaitu dimana satuan
Andesit Porfiri ini menerobos satuan Tuf Bentang yang berumur yaitu Miosen akhir, sedangkan dengan satuan
yang berada diatas nya satuan Breksi Andesit Gunungapi Tua hubungannya tidak
selaras.
4.2.4
Satuan
Batuan Breksi andesit Gunungapi Tua
Satuan batuan Breksi andesit Gunungapi Tua merupakan
satuan batuan lebih muda dari satuan intrusi
Andesit, satuan kalkarenit bentang dan satuan Tuf bentang. Hubungan antara satuan batuan ini dengan satuan batuan Tuf
Bentang dan satuan Kalkarenit bentang dan Intrusi Andesit porfiri yaitu
hubungannya tidak selaras, Satuan ini disusun
secara dominan oleh breksi andesit.
Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara
penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional dapat
disebandingkan dengan Formasi hasil gunungapi
tua maka satuan ini diberi nama satuan Breksi Andesit Gunungapi tua.
4.2.4.1
Penyebaran
dan Ketebalan
Satuan batuan Breksi Andesit Gunungapi Tua ini menempati
± 38 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relativ barat – timur
ke utara, daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Salawu Desa
Margalaksana, dan Kecamatan Tanjung Jaya Desa Tanjungjaya. Di daerah penelitian
satuan ini menepati satuan geomorfologi berupa bergelombang lemah – menengah Denudasional
(D1). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A - B, satuan ini mempunyai
ketebalan ± 200 meter.
4.2.4.2 Litologi
Penyusun
Satuan
ini tersusun secara dominan oleh breksi andesit, secara megaskopis berwarna segar abu-abu cerah,
warna lapuk coklat kemerahan, tekstur piroklastik, ukuran fragmen > 64mm,
bentuk butir menyudut, struktur fragmental dan masif, sortasi buruk, dengan komposisi
fragmen Andesit dan matrik Tuf, secara mikroskopis fragmen dalam pengamatan PPL
berwarna abu-abu kecoklatan dan XPL berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiritik,
hipokristalin, bentuk mineral subhedral-
anhedral, relasi inequigranular porfiritik dimana
fenokris tertanam pada massa dasar berupa mineral dengan ukuran yang lebih
kecil, tersusun oleh plasgioklas 48%, Hornblende 7%, mineral opaq 3%, mikrolit Plagioklas 34%, Gelas vulkanik 8%, sehingga nama petrografisnya adalah Andesit,
sedangkan Matrik dalam pengamatan PPL berwarna coklat gelap dan XPL abu-abu
gelap, tekkstur dengan ukuran butir 1/64 - 1/2, bentuk butir membulat tanggung
- menyudut tanggung, kemas tertutup, pemilahan sedang, tersusun oleh Feldspar 33%, mineral opaq 7%, dan Gelas Vulkanik 60%, sehingga nama petrografisnya adalah Vitrik Tuf (Schmid, 1981), (Gambar 4.11) (Tabel 4.5) (Lampiran analisa
Petrografi).
Gambar 4.11
Singkapan Breksi Andesit Gunungapi Tua. (A,B,C, dan D) Lensa menghadap ke arah utara (Foto
diambil di LP 7, Desa Sukarasa).
Tabel 4.6. Kolom litologi satuan Breksi
Andesit Gunungapi Tua Bentang (tidak dalam skala sebenarnya).
4.2.4.3
Umur
Pada satuan ini tidak ada
di temukannya indikasi fosil yang di gunakan sebagai penentuan kisaran umur maka
penentuan umur pada
satuan Breksi Andesit Gunungapi
Tua ini dilakukan berdasarkan korelasi dan kesebandingan
dari penentuan umur yang dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada
stratigrafi regional yang terdapat pada Peta Geologi Regional Lembar
Tasikmalaya (T. Budhitrisna, 1986), dimana satuan batuan ini berumur Kuarter kala pleistosen.
4.2.4.4
Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan pada satuan
ini berdasarkan dari hasil data lapangan satuan Breksi Gunungapi Tua terbentuk di darat, dikarekan
tidak di temukannya fosil maupun unsur karbonat yang terkandung dalam satuan
ini.
4.2.4.5
Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi pada satuan Breksi
Gunungapi Tua dengan satuan yang ada di bawahnya yaitu satuan Tuf Bentang dan
satuan Kalkarenit Bentang serta Intrusi Andesit Porfiri hubungannya yaitu tidak selaras karena adanya perbedaan umur.
4.2.5
Korelasi Stratigrafi Regional dengan
Stratigrafi Daerah Penelitian
Hasil korelasi antara stratigrafi regional
menurut (Budhitrisna, 1986) dengan stratigrafi daerah penelitian
berdasarkan litostratigrafi. Dapat diketahui bahwa satuan Tuf Bentang termasuk
kedalam Formasi Bentang, satuan Kalkarenit Bentang masuk ke dalam Formasi
Anggota Sukaraja Formasi Bentang, satuan intrusi Andesit termsuk ke dalam Formasi Bentang,
dan satuan Breksi Andesit Gunungapi Tua termasuk ke dalam Formasi Hasil
Gunungapi Tua. (Gambarl 4.12).
Gambar 4.12
Korelasi statigrafi regional lembar Tasikamla (Budhitrisna, 1986) dengan
stratigrafi daerah penelitian (tidak dalam sekala sebenarnya)
4.3 Struktur
Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi yang terdapat pada daerah
penelitian dapat diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian
data citra SRTM, interpretasi peta topografi dan yang paling utama adalah data hasil penelitian lansug dilapangan
yang berupa catatan, foto, dan pengukuran dari data-data struktur dan unsur
unsur penyertanya yang ada pada daerah penelitian.
Di interpretasikan dari
citra SRTM dan
interpretasi peta topografi, bahwa arah kelurusan bagian A berarah barat - timur dan
bagian B berarah barat laut – tenggara, C berarah
utara selatan, dapat dilihat dari pola kelurusannya. (Gambar 4.13).
Gambar
4.15
Interpretasi Pola Kelurusan Kontur
Pada
daerah penelitian sangat sulit dijumpai struktur geologi yang berkembang,
banyak faktor yang menjadi alasannya, berupa akses dan medan pada daerah
penelitian, juga
dijumpai berupa soil
yang sangat tebal akibat pelapukan yang sangat intensif, ataupun kemungkinan tertutup
dan tertimbunnya struktur geologi yang berkembang oleh vegetasi yang tumbuh
pada daerah penelitian.
Peneliti mencoba menginterpretasikan struktur Geologi pada daerah
penelitian, dimana interpretasi citra SRTM pada kelurusan C ditemukan adanya
indikasi pola struktur sesar yang ditunjukan oleh blok yang bergerak ke arah
selatan. Kemudian pada peta topografi dijumpai adanya kelurusan kontur dan
keluruan sungai dari hal tersebut peneliti menginterpretasikan adanya struktur
sesar mendatar mengkiri.
4.4 Geologi Sejarah Daerah Penelitian
Dalam merekontruksu sejarah geologi
daerah penelitian, data-data yang digunakan meliputi data lapangan,
interprestasi dan penafsiran, data sekunder berupa ciri litologi, umur satuan
litologi, lingkungan pengendapan, hubungan stratigrafi serta pola struktur dan
mekanisme pembentukannya sesuai dengan konsep ruang dan waktu. Selain data
tersebut juga dilakukan pencocokan terhadap data geologi regional dari peneliti
terdahulu. Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari stratigrafi tertua ke
muda yang ada didaerah penelitian yaitu mulai sejak kala Miosen sampai kala
Pleistosen.
4.4.1
Kala Miosen Akhir
Sejarah
Geologi daerah penelitian di perkirakan berawal pada masa kenozoikum zaman
Tersier kala Miosen Akhir, ditunjukan dengan diendapkan nya formasi Bentang
berupa satuan Tuf Bentang yang merupkan prodak aktifitas vulkanisme dimana formasi ini diendapkan pada lingkungan
darat satuan ini secara berangsur berubah menjadi lingkungan laut dangkal yang
di tunjukan dengan diendapkannya satuan kalkarenit Bentang dimana berdasarkan
hasil analisis mikrofosil menunjukan umur miosen akhir (N16) berdasarkan
kehadiran fosil foraminifera planktonik
berupa Globigerinoides immaturus (Brady,
1877), Globorotalia
acostaensis (Blow, 1959), Globigerina prabuloidess (Blow, 1959), Globigerinoides trilobus (Reuss, 1850), satuan kalkarenit ini
di endapkan pada lingkungan neritik luar berdasarkan kehadiran fosil foraminifera
bentonik berupa Bolivina
sp ( d’Orbigny, 1839 ), Cibicides cognatus ( Galloway and Morrey, 1931), Cibicides
fletcheri (Galloway & Wissler, 1927 ), Cibicidoides floridanus (Cushman,
1918), Cibicides sp, Cibicidoides sp, Amphistegina sp, Elphidium sp, Quincueloculina
sp, dimana
hubungan antara Tuf Bentang dengan Kalkarenit Bentang adalah melensa, kemudian
setelah satuan batuan Tuf Bentang diendapakan satuan
ini di terobos oleh satuan intrusi andesit porfiri.
4.4.2
Kala Pleitosen
Kemudian pada kala plesitosen di endapkan formasi
Hasil Gunungapi Tua berupa satuan Breksi Andesit Hasil Gunungapi Tua yang
merupakan hasil produk dari aktifitas vulkanisme. Satuan Breksi Andesit
Gunungapi Tua ini menutupi secara tidak searas di atas formasi Bentang, satuan
ini terbentuk pada lingkungan darat. Kemudian pada kala sekaranag (resen) terjadi
proses pelapukan yang sangat intensif didaerah penelitian.
4.5 Geologi Tata Lingkungan Daerah
Penelitian
Geologi lingkungan
merupakan salah satu disiplin ilmu geologi terapan yang membahas pemanfaatan
sumber kekayaan bumi oleh manusia dan berhubungan erat dengan masalah – masalah
perencanaan fisik, pengembangan wilayah dan usaha pengendalian lingkungan hidup
dengan melihat aspek - aspek geologi yang ada di suatu daerah. Geologi lingkungan dalam pengembangan dan
peruntukan suatu wilayah mempertimbangkan reaksi lingkungan dan benturan –
benturan yang mungkin timbul sebagai akibat peruntukan tersebut.
Menurut (Sampurno, 1979),
keadaan lingkungan dikontrol kuat oleh beberapa aspek geologi yang mencakup
sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan
potensi batuan untuk bahan galian, letak endapan potensial dan potensi bencana
alam akibat pengaruh kondisi geologinya.
Pengaruh aspek geologi terhadap lingkungan dapat menciptakan masalah
yang berakibat pada tata kehidupan manusia yang bermukim di daerah tersebut. Pertumbuhan penduduk suatu daerah seharusnya
selaras dengan kemajuan sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Alam menyediakan segala kebutuhan hidup manusia, namun demikian dalam
pengelolaan sumberdaya alam perlu suatu perencanaan yang tidak hanya melihat
segi pertumbuhan yang menghasilkan pertumbuhan pendapatan atau materi, akan
tetapi mempertimbangkan juga aspek peningkatan kualitas hidup sehingga dalam
penetapan suatu daerah sebagai kawasan tertentu sesuai dengan potensi dan
fungsi sebenarnya daerah tersebut. Perencanaan dengan tinjauan geologi
lingkungan akan membantu dalam pemanfaatan lingkungan seoptimal mungkin dan
membantu mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin pengaruh negatif dari
pemanfaatan lingkungan.
Dalam usaha peningkatan potensi yang dimiliki daerah Sukasenang dan sekitarnya, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat, khususnya yang berkaitan dengan potensi geologi yang berhubungan
dengan lingkungan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi sumberdaya geologi
yang ada. Dari sumber ini diharapkan dapat diketahui potensi geologi yang ada
baik berupa sesumber maupun yang berupa bencana alam.
Pemahaman mengenai perencanaan lingkungan diharapkan dapat menciptakan
keseimbangan hidup antar manusia dan alam serta mencegah akumulasi masalah yang
dapat menimbulkan akibat kesalahan dalam perencanaan pemanfaatan lahan.
Pembahasan mengenai masalah geologi lingkungan pada daerah penelitian dibagi
menjadi dua bagian yaitu: sesumber yang bersifat positif dan bencana alam yang
bersifat negatif.
4.5.1 Sesumber
Sesumber merupakan sesuatu yang ada di alam yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungannya baik yang bersifat kebutuhan
primer maupun sekunder, termasuk yang digunakan pada masa kini maupun pada masa
yang akan datang. Sesumber yang ada pada daerah penelitian antara lain: sumber daya tanah, sumber daya air, dan sumberdaya bahan galian.
4.5.1.1 Sumber
Daya Tanah
Tanah merupakan hasil dari pelapukan batuan
yang ada di bawahnya ataupun yang ada di sekitar tanah tersebut berada. Pada daerah penelitian tanah berasal dari pelapukan Breksi
Andesit dan Tuf. Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian
sebagian besar digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan pertanian rakyat
yang meliputi pertanian lahan sawah, ladang dan lahan kering (Gambar 4.15).
Gambar 4.16 Tataguna lahan persawahan di Desa Margalaksana (foto diambil dari LP 3 dengan arah lensa barat laut).
4.5.1.2 Sumber
Daya Air
Air merupakan komponen utama sebagai sumber kehidupan yang sangat
penting bagi kelangsungan semua makhluk hidup. Bagi masyarakat di daerah
penelitian, air mempakan kebutuhan yang sangat vital dalam mendukung aktifitas
sehari-hari misalnya untuk memenuhi kebutuhan mmah tangga seperti : minum,
memasak, mandi, mencuci dan digunakan juga sebagai kebutuhan lain seperti
membuat penampungan dan bendungan untuk mengairi sawah dan ladang dan juga
untuk memandikan hewan ternaknya.
Sumber daya air di daerah penelitian dapat dijumpai berupa air bawah
permukaan dan air permukaan. Air bawah permukaan di daerah penelitian berupa sumur yang digali oleh penduduk setempat yang umumnya
terdapat di daerah sekitar pemukiman penduduk. Sedangkan, pada air permukaan di
daerah penelitian berupa air yang terdapat pada sungai-sungai baik itu pada
sungai besar maupun sungai kecil yang di manfaatkan oleh penduduk setempat untuk
kebutuhan pengairan ladang dan persawahan.
4.5.1.3 Sumber Daya Bahan Galian
Bahan galian yang terdapat pada daerah penelitian merupakan bahan
galian Batugamping
Kalkarenit Bentang khususnya pada litologi batugamping dengan kondisi
batuan yang kompak memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan galian dengan
nilai yang cukup ekonomis, karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
bangunan. Juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku untuk mendirikan bangunan ataupun sebagai bahan pengerasan jalan (Gambar 4.17)
Gambar 4.17 Pemanfaatan batugamping
sebagai bahan bakubangunan, bahan pengerasan jalan, dan bahan pembuat dinding terasering (foto diambil di
Desa Cimanggu di dekat LP 41 lensa mengahadap Utara).
4.5.2 Bencana
Alam
Bencana alam merupakan suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam,
manusia atau oleh kedua-duanya (Sampoerno, 1979). Jika batas kesetimbangan
ekosistem telah dilampaui, dapat menimbulkan suatu kerugian bagi makhluk hidup
di alam tersebut terutama bagi manusia, seperti : korban jiwa, harta benda, kerusakan sarana
prasarana dan kerusakan lingkungan, sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap tatanan
kehidupan dan penghidupan baik hewan, tumbuhan maupun manusia itu sendiri,
seperti terjadi kekeringan di musim kemarau dan terjadi erosi pada jalan dan
tebing di musim hujan. Bencana geologi meliputi bencana yang diakibatkan oleh :
tanah longsor, gempa bumi, letusan gunungapi, dan banjir. Bencana alam yang
dapat diamati di daerah penelitian berupa gerakan tanah (longsoran) seperti
pada (Gambar4.17).
Gambar 4.18
Longsoran di Desa Layabakti (foto diambil di dekat Lp 27,
lensa
menghadap ke arah barat).
Silahkan download filenya
dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LINk DIBAWAH INI
CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )
0 Response to "GEOLOGI DAERAH SUKASENANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNG JAYA KABUPATEN TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT"
Post a Comment