-->

GEOLOGI DAERAH GELAR ANYAR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH GELAR ANYAR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT



Penelitian ini dilakukan oleh :
1.         Nama            : Djatmiko, S.T.
2.         Alumni        : STTNAS Yogyakarta
3.         Koordinat    : 107°06'30”BT‒107°09'00”BT dan 07°08'00”LS‒07°12'30”LS
4.         Tahun           : 2018

Geomorfologi Daerah Penelitian


Aspek - aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah penelitian terdiri atas satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis) dan stadia daerah.

Satuan Geomorfologi

Pembagian   satuan   geomorfologi   daerah   penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat kesamaan pola-pola kontur dan mengelompokkannya menjadi satuan geomorfologi didasarkan pada klasifikasi van Zuidam (1983) dengan melihat kerapatan dan kerenggangan kontur. Setelah itu, kemudian melakukan sayatan morfometri pada peta topografi dan pengukuran sudut kelerengan di lapangan. Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisa di lapangan (morfogenesa) dan morfometri pada peta topografi. Morfometri adalah perhitungan sayatan pada peta kontur untuk mengetahui harga kelerengan dan beda tinggi (van Zuidam dan van Zuidam- Cancelado, 1979) (Tabel 1.1). lasifikasi unit geomorfologi memakai tiga klasifikasi yakni klasifikasi unit geomorfologi bentukan lahan asal denudasional (Tabel 1.3), klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal fluvial (Tabel 1.4), dan klasifikasi unit geomorfologi bentukan lahan asal struktural (Tabel 1.5). Dengan memperhatikan pada klasifikasi bentuk muka bumi yakni unit geomorfologi bentuk lahan asal tersebut maka dapat membantu menganalisa morfogenesis (Tabel 1.2) untuk mengetahui karakteristik dari masing – masing jenis unit pada satuan geomorfologinya.
Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta melihat morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi:
1.      Satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat, tanggul alam, bukit alam dan gosong sungai (F4).
2.      Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan, lereng dan perbukitan denudasional (D2).
3.      Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan, bukit sisa pelapukan dan erosi (D4).
4.      Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan, gawir sesar & gawir garis sesar (Tebing curam) (S13).


Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Kuat, Tanggul Alam, Bukit Alam dan Gosong Sungai (F4)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 5% dari seluruh wilayah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Pagelaran, Desa Gelar anyar dan Kertaharja. Satuan ini tersusun oleh endapan sungai berupa bongkahan batuan dengan ukuran diameter bongkah ± 3 - 5 meter, komposisi endapan pasir - bongkah, tuf dan konglomerat. Elevasi tertinggi pada satuan geomorfologi ini berada pada elevasi ± 450 m dan terendah ± 350. Satuan ini memiliki morfometri berupa beda tinggi rata-rata 26,25 m dengan kelerengan rata - rata 12,10 % (Tabel Lampiran 1 Hal;156). Pola pengaliran pada satuan morfologi ini berupa pola pengaliran dendritik. Kenampakan morfogenesa berupa gosong sungai, tanggul alam serta bukit alam yang berada di Sungai Ci-Jampang dan sekitarnya (Gambar 2.2). Pada satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, persawahan, permukiman dan perairan.
Gambar 2.2 Kenampakan morfologi F4 pada Daerah Desa Gelar anyar, lensa menghadap ke arah timut laut (Foto diambil di LP 25 di dekat Desa Selagedang).
Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat – Perbukitan, Lereng dan Perbukitan Denudasional (D2)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 55 % dari seluruh wilayah penelitian meliputi wilayah Desa Gelar anyar, Selagedang dan Kertaharja. Satuan ini umumnya tersusun oleh tuf halus, tuf kasar, batupasir hitam, konglomerat dan breksi batuapung. Dimana elevasi tertinggi pada satuan geomorfologi ini berada pada ± 750 m dan terendahnya ± 250 m. Satuan ini memiliki morfometri berupa beda tinggi rata - rata 40,33 m dengan kelerengan rata - rata 35,99 % (Tabel Lampiran 2 Hal;157). Pola pengaliran pada satuan morfologi ini berupa pola pengaliran dendritik, sub paralel dan trelis. Kenampakan morfologi berupa perbukitan dengan kenampakan pelapukan batuan yang dijumpai dilapangan (Gambar 2.3) disebabkan oleh pelapukan mekanis dan kimia. Pada satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, hutan, persawahan dan pemukiman.
Gambar 2.3 Kenampakan morfologi bergelombang kuat - perbukitan denudasional (D2), lensa menghadap ke arah tenggara (Foto diambil di LP 34, di dekat Desa selagedang).
Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat - Perbukitan, Bukit Sisa Pelapukan dan Erosi (D4)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 25 % dari seluruh wilayah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Pagelaran berupa Desa Gelar anyar, Selagedang dan Kecamatan Sukanegara berupa Desa Sukakarya, Sukarame dan Sindangkerta. Satuan ini umumnya tersusun oleh tuf halus, tuf kasar dan breksi andesit. Dimana elevasi tertinggi pada satuan geomorfologi ini berada pada ± 962 m dan terendahnya ± 750 m. Satuan ini memiliki beda tinggi rata - rata 37,35 m dengan kelerengan rata-rata 34,86 % (Tabel Lampiran 3 Hal;162). Pola pengaliran pada satuan morfologi ini berupa pola pengaliran sub dendritik dan trelis. Kenampakan morfologi ini berupa perbukitan dengan kenampakan sisa pelapukan dari batuan pada perbukitan tersebut (Gambar 2.4). Pada satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, persawahan dan pemukiman.
Gambar 2.4 Kenampakan morfologi perbukitan - tersayat kuat bukit sisa pelapukan dan erosi (D4), lensa menghadap ke arah baratdaya (Foto diambil di LP 62, didekat Desa sukakarya).
Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat - Perbukitan, Gawir Sesar & Gawir Garis Sesar (Tebing curam) (S13)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 15 % dari seluruh wilayah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Pagelaran berupa Desa Gelar anyar, Selagedang dan Kecamatan Sukanagara berupa Desa Sukakarya, Sukarame dan Sindangkerta. Satuan ini umumnya tersusun oleh tuf halus, tuf kasar, batupasir hitam, dan breksi batuapung. Dimana elevasi tertinggi pada satuan geomorfologi ini berada pada ± 962 m dan terendahnya ± 450 m. Satuan ini memiliki morfometri serupa beda tinggi rata - rata 50,80 m dengan kelerengan rata - rata 48.96 % (Tabel Lampiran 4 Hal;166). Pola pengaliran pada satuan morfologi ini berupa pola pengaliran sub dendritik dan trelis. Kenampakan morfogenesa berdasarkan kenampakan lapangan berupa kelurusan arah gawir dengan tingkat pelapukan tinggi dan dicerminkan dengan kelurusan kontur yang rapat pada peta (Gambar 2.5) digunakan sebagai jalan utama Sukanagara - Pagelaran. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, persawahan dan pemukiman.
Gambar 2. 5 kenampakan morfologi bergelombang kuat - perbukitan gawir (S13), lensa menghadap ke arah baratdaya (Foto di ambil di LP 21, didekat Desa kertaharja).
Pola Pengaliran
Pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967), pengamatan peta topografi maupun pengamatan dilapangan dapat dibagi menjadi empat jenis pola pengaliran. Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan pada pengamatan topografi, analisis pola pengaliran maupun pengamatan lapangan. empat pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari pola Dentritik, subdendritik, subparalel dan trelis (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Peta pola pengaliran daerah penelitian.
Pola Pengaliran Sub paralel
Merupakan pola modifikasi dari pola aliran paralel. Pola ini dipengaruhi oleh sedikit kontrol struktur geologi, kemiringan morfologi menengah, umumnya mempunyai batuan dengan resistensi yang seragam terhadap erosi dan cukup adanya kesejajaran sepanjang daerah aliran utama dan anak sungai, (Howard, 1967). Pola pengaliran ini meliputi ± 15 % dari daerah penelitian. Sungai yang masuk pada pola ini yaitu merupakan sungai Ci-langkap. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi perbukitan - tersayat kuat denudasional (D4) dan satuan geomorfologi bergelombang kuat – perbukitan, gawir sesar & gawir garis sesar (Tebing curam) (S13) didaerah Desa Sukarame, Sukakarya, Sindangkerta, Selagedang dan Gelar anyar. Pola pengaliran ini berkembang pada satuan tuf kasar Koleberes, satuan tuf halus Bentang dan breksi andesit Beser.

Pola Pengaliran Dendritik

Pola pengaliran dengan bentuk seperti pohon, dengan anak-anak sungai dan cabang-cabangnya mempunyai arah yang tidak beraturan. Umumnya berkembang pada batuan yang resistensinya seragam, batuan sedimen datar, atau hampir datar, daerah batuan beku masif, daerah lipatan, daerah metamorf yang kompleks. Kontrol struktur tidak dominan di pola ini, namun biasanya pola aliran ini akan terdapat pada daerah punggungan suatu antiklin. Pola pengaliran ini menempati 2 satuan geomorfologi yaitu Satuan geomorfologi bergelombang kuat-perbukitan, lereng dan perbukitan denudasional (D2) dan Satuan geomorfologi bergelombang lemah-kuat, tanggul alam, bukit alam dan gosong sungai (F4) didaerah Desa Kertaharja, Mekarsari, Selagedang dan Gelar anyar dengan luas wilayah ± (30%) daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang pada satuan tuf halus Bentang dan Endapan pasir - bongkah.

Pola Pengaliran Sub-Dendritik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola aliran dendritik yang mencirikan daerah yang disusun oleh batuan yang memiliki resistensi relatif homogen dan sudah mulai berkembang proses-proses struktur. Pola pengaliran ini menempati 3 satuan geomorfologi yaitu Satuan geomorfologi bergelombang kuat- perbukitan, lereng dan perbukitan denudasional (D2), Satuan geomorfologi bergelombang kuat-perbukitan, gawir sesar & gawir garis sesar (Tebing curam) (S13) dan Satuan geomorfologi bergelombang kuat-perbukitan, bukit sisa pelapukan (D4) didaerah Desa Gelar Anyar, Selagedang, Sukakarya, Sukarame dan Sindangkerta dengan luas wilayah ± (30%) daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang pada satuan tuf kasar Koleberes, satuan tuf halus Bentang dan breksi andesit Beser.

Pola Pengaliran Trellis

Pola pengaliran trelis terbentuk dari  cabang-cabang  sungai  kecil  yang berukuran sama, dengan aliran tegak lurus sepanjang sungai induk sub sekuen yang paralel. Terdapat pada daerah lipatan, patahan yang paralel, daerah blok punggungan pantai hasil pengangkatan dasar laut, daerah vulkanik atau metasedimen derajat rendah dengan pelapukan yang berbeda-beda (Howard, 1967 dalam Soeroto, 2012). Pola pengaliran ini menempati 3 satuan geomorfologi yaitu Satuan geomorfologi bergelombang kuat-perbukitan, lereng dan perbukitan denudasional (D2),  Satuan   geomorfologi  bergelombang kuat-perbukitan,  gawir sesar & gawir garis sesar (Tebing curam) (S13) dan Satuan geomorfologi bergelombang kuat-perbukitan,bukit sisa pelapukan (D4) didaerah Desa Gelar Anyar, Selagedang, Kertaharja, Sukakarya dan Sindangkerta dengan luas wilayah ± (25%) daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang pada satuan tuf kasar Koleberes, satuan tuf halus Bentang dan breksi andesit Beser.

Stadia Sungai

Perkembangan stadia sungai pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Stadia sungai penelitian di kontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi, memperlihatkan stadia sungai dewasa dicirikan dengan sungai aktif, kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping/lateral lebih kuat dibanding erosi vertikal pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar lembah berbentuk U (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 kenampakan sungai stadia dewasa dengan sifat erosional kesamping/lateral, lembah sungai membentuk huruf “U” (Foto diambil dekat LP 14, Sungai Ci-jampang Desa kertaharja, lensa mengarah ke barat laut).

Stadia Daerah

Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Untuk menentukan stadia suatu daerah , maka sangat penting memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses-proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut bisa berupa proses endogenik (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme) dan proses eksogenik (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Stadia daerah menurut Lobeck (1939) dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi). Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil yang tebal akibat proses denudasional (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Soil tebal akibat proses denudasional, lensa menghadap ke arah Barat (Foto di ambil didekat LP 58).
Gambar 2. 9 Kenampakan struktur kekar dan sesar akibat faktor endogen, arah lensa ke arah baratdaya (Foto di ambil didekat Lp 49)
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 2.9). Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek - aspek geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses- proses geologi, litologi dan struktur geologi yang beragam.
Gambar 2.10 Stadia daerah menurut Lobeck (1939).

Stratigrafi

Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dengan ruang dan waktu, sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian batuan (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Pengolongan stratigrafi ialah pengelompokan bersistem batuan menurut berbagai cara, untuk mempermudah pemerian aturan dan hubungan batuan yang satu terhadap lainnya. Kelompok bersistem tersebut di atas dikenal sebagai Satuan Stratigrafi (Sandi Startigrafi Indonesia, 1996). Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri satuan tersebut sebagaimana didefinisikan Batas satuan Stratigrafi jenis tertentu tidak harus berhimpit dengan batas satuan satuan stratigrafi jenis lain, bahkan dapat memotong satu sama lain (Sandi Startigrafi Indonesia, 1996).

Stratigrafi Regional


Daerah penelitian       masuk ke        dalam  lembar peta     Geologi           Daerah Sindang barang dan Bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N.Suwarna 1996), (Gambar 2.10). Secara regional formasi yang ada didaerah penelitian meliputi : Formasi Bentang (Tmb), Formasi Koleberes (Tmk) dan Formasi Beser (Tmbe).
Gambar 2.11 Lokasi daerah penelitian dalam Lembar Peta Geologi Daerah Sindangbarang dan Bandarwaru dalam M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996.
Stratigrafi regional yang tercantum dalam Lembar Peta Geologi Daerah Sindangbarang dan Bandarwaru terdiri dari atas 21 kelompok (16 formasi dan 5 anggota formasi). Urutan stratigrafi yang terdapat dalam peta geologi regional tersebut diurutkan secara stratigrafi dari tua ke muda masing masing perwakilan tiga formasi berumur tua terdiri dari Formasi jampang (Oligosen-Miosen Awal), Formasi Rajamandala (Oligosen-Miosen Awal), Formasi Cimandiri (Miosen Tengah). Sedangkan formasi berumur muda terdiri atas Lava dan Lahar Gunung Patuha (Holosen), Endapan Undak dan Danau (Holosen), Aluvial dan Endapan Pantai (Holosen), (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Stratigrafi regional daerah penelitian dalam peta geologi regional lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996).
Meskipun di dalam peta geologi regional terdapat 3 formasi, tetapi pada saat survey pendahuluan (reconaissance) mendapatkan 3 (tiga) Formasi dan 1 (satu) Endapan permukaan, yaitu Formasi Beser (Tmbe), Formasi Bentang (Tmb), dan Formasi Koleberes (Tmk). Berdasarkan kesebandingan litologi terhadap ciri formasi dalam stratigrafi regional lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996). Satuan resmi yang ada di daerah penelitian dari tua sampai muda yaitu Formasi Bentang, Formasi Koleberes dan Formasi Beser. Stratigrafi regional yang terdapat di daerah pemetaan secara berurutan dari yang berumur paling tua ke muda adalah sebagai berikut:

Formasi Bentang (Tmb)

Formasi Bentang disusun oleh batupasir tufan, kristal tuf, tuf batuapung dengan perselingan batulempung globigerina. Lapisan bagian atas terutama batulempung dan batulanau. Breksi batuapung mempunyai diameter fragmen 5 cm. Batupasir hitam merupakan lapisan tipis yang terdapat di bagian selatan lembar peta. Struktur sedimen berupa perlapisan dan pembebanan. Moluska dan foraminifera kecil terdapat dibanyak tempat. Brachiopoda berumur Neogen ditemukan di sungai Cigoyeyeh anak sungai dari Cisadea 3 km barat - baratdaya Koleberes. Lapisan batubara setebal 20 cm tersingkap di utara Kadupandak. Lensa batugamping yang berpori dan lapisan berfosil terdapat pada kontak dengan formasi Koleberes. Fosil yang dikumpulkan sepanjang kali Ciburial sebagai berikut; Lepidocyclina gigantea (MARTIN), Cycloclypeus guembelianus (BRADY), Cycloclypeus (Katacycloclipeus) sp., Globigerina trilobus (REUSS), Globigerina bulloides, Orbulina universa D'ORBIGNY, Orbulina bilobata (D'ORBIGNY) dan menunjukkan umur Miosen Akhir dengan lingkungan pengendapan pada daerah laut dangkal sampai laut dalam terbuka. Tebal formasi ini 300meter dan menindih selaras formasi Cimandiri.


Formasi Koleberes (Tmk)

Formasi Koleberes disusun oleh batupasir tuf berlapis baik, kurang mampat dan tuf kristal dengan sisipan tuf, breksi tuf, breksi batuapung dan breksi bersusunan andesit. Batupasir berwarna kelabu kecoklatan, terdiri dari batuan andesit dengan sejumlah batuapung (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996). Formasi ini berumur Miosen Akhir dan hubungan stratigrafi menjari dengan Formasi Beser.

Formasi Beser (Tmbe)

Formasi Beser terutama disusun oleh breksi andesit juga breksi tuf, tuf kristal dan batulempung. Ukuran maksimal fragmen breksi lebih dari 1 meter. Matriks terdiri dari batupasir tuf dan tuf kristal pejal berwarna kelabu. Di Cukanggaleuh bagian dasar breksi itu dicirikan oleh adanya kandungan koral dan moluska. Batulempung berlapis kurang baik, berwarna kelabu gelap, berupa lensa- lensa. (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996). Formasi ini berumur Miosen Akhir dan hubungan stratigrafi menjari dengan Formasi Koleberes dan Formasi bentang.

Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi daerah          penelitian        berdasarkan    geologi            regional            lembar Sindang barang dan Bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996) termasuk ke dalam tiga formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Bentang (Tmb), Formasi Koleberes (Tmk) dan Formasi Beser (Tmbe). Berdasarkan penelitian rinci satuan batuan tidak resmi litologi di urutkan dari tua ke muda yaitu satuan tuf Koleberes, tuf Bentang, breksi andesit Beser dan satuan endapan pasir - bongkah. Penamaan satuan batuan tersebut mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya.

Satuan Tuf Koleberes

Satuan tuf Koleberes merupakan satuan ini disusun secara dominan oleh tuf kasar, batupasir tufan, batupasir hitam dan breksi batuapung. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini dilapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan tuf kasar Koleberes.

2.2.2.1.1     Penyebaran dan Ketebalan

Satuan tuf kasar koleberes ini menempati ± 35 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relatif utara - selatan dengan wilayah yaitu meliputi, Desa Gelaranyar, Sukakarya, Selagedang, dan Sindangkerta. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi kuat - perbukitan lereng dan perbukitan denudasional (D2), geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan bukit sisa pelapukan dan erosional (D4) dan geomorfologi bergelombang kuat – perbukitan, Gawir Sesar & Gawir Garis Sesar (Tebing curam) (S13). Berdasarkan pengukuran ketebalan dipenampang geologi A - A’, satuan ini mempunyai ketebalan ± 1000 meter.

2.2.2.1.2                  Litologi Penyusun

Satuan ini meliputi + 35 % dari luas area penelitian tersusun oleh tuf (didominasi) (Gambar 2.11), batupasir tufan (Gambar 2.12), batupasir hitam (Gambar 2.13) dan breksi batuapung (Gambar 2.14).
Gambar 2.12 Kenampakan singkapan tuf kasar koleberes arah lensa ke timur (Foto ini di ambil didekat LP 3).
Secara megaskopis kenampakan tuf memiliki warna segar abu-abu, warna lapuk kuning, dengan struktur masif dijumpai juga struktur berlapis pada tuf kasar dengan tuf halus tekstur berupa ukuran butir: halus, derajat pemilahan: buruk, derajat pembundaran: membulat, kemas: tertutup.
Secara mikroskopis tuf kasar diberi nama berupa Crystal Tuf (Schmid, 1981), (Lampiran Hal 190.) mempunyai tekstur vitrofirik dengan tekstur khusus zooning pada mineral plagioklas, bentuk kristal dari subhedral-euhedral dan ukuran kristal halus hingga kasar. Batuan ini tersusun oleh mineral plagioklas (35%), mineral piroksen 40%, kuarsa 5%, opak magnetit (1%), serta gelas 19%.
Gambar 2.13 Kenampakan batupasir tufan dengan arah lensa ke barat laut (A) dan kenampakan struktur silangsiur (B), (Foto ini di ambil didekat LP 23).
Secara megaskopis batupasir tufan memiliki warna segar abu-abu, warna lapuk kuning, struktur berlapis serta terdapat juga struktur sedimen berupa silang siur dan gradasi normal dengan tekstur berupa ukuran butir kasar, derajat pemilahan baik, derajat pembundaran membulat, kemas tertutup.
Secara mikroskopis batupasir tufan diberi nama berupa Tufaceous Feldspatic Wacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran Hal 173), mempunyai tekstur meliputi ukuran butir <1mm, bentuk kristal sub-angular, kemas/fabric floating. Batuan ini tersusun oleh feldspar 35%, kuarsa 30%, lithik 15%, klorit 3% dan matriks 17%.
 Gambar 2.14 Kenampakan singkapan batupasir hitam dengan arah lensa ke baratdaya ( foto di ambil didekat LP 51).
Secara megaskopis batupasir hitam memiliki warna segar hitam, warna lapuk abu-abu kehitaman, struktur masif, tekstur berupa ukuran butir kasar, derajat pemilahan buruk, derajat pembundaran membulat tanggung, kemas tertutup. Komposisi mineral bersifat ferromagnesian berupa piroksen, olivin, kuarsa feldaspar dan mineral lain.
Secara mikroskopis diberi nama berupa Tufaceous Lithik Wacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran Hal 174), mempunyai tekstur vitrofirik, bentuk kristal sub-angular komposisi mineral feldspar 25%, kuarsa 20%, biotit 8%, opak (8%), piroksen 2%, lithik 20% dan gelas 23%.
 Gambar 2.15 Foto kenampakan singkapan breksi batuapung berupa (A) Fragmen batuapung dengan matrik tuf, (B) Sisipan Charcoal/arang batubara, lensa menghadap kearah barat (Foto di ambil didekat LP 44).
Secara megaskopis kenampakan breksi batuapung memiliki warna segar abu-abu, warna lapuk abu-abu kekuningan dengan struktur masif, dijumpai fragmen berupa batuapung dengan sisipan arang batubara (Charcoal) dengan matrik berupa tuf, tekstur berupa ukuran butir: halus, derajat pemilahan: buruk, derajat pembundaran: matrik membundar, fragmen menyudut, kemas terbuka.
Secara mikroskopis matrik breksi batuapung diberi nama berupa Lithik Tuf (Schmid, 1981) (Lampiran Hal 184), mempunyai tekstur vitrofirik bentuk butir dari anhedral-subhedral dan ukuran kristal halus hingga kasar. Batuan ini tersusun oleh lithik 65%, mineral plagioklas feldspar 2%, serta gelas 33%. framen berupa Vitric Tuf (Schmid, 1981) mempunyai tekstur vitrofirik dengan tekstur khusus zooning pada mineral plagioklas, bentuk kristal dari anhedral-subhedral dan ukuran kristal halus hingga kasar. Batuan ini tersusun oleh fenokris mineral plagioklas 20%, kuarsa 17%, lithik 8 % dan didominasi oleh gelas 55%. Satuan ini dijumpai fosil moluska berupa Gastropoda dengan ukuran 1 cm, dari analisis fosil tersebut berdasarkan klasifikasi K. Martin (1919) & C.H. Oosting (1938) masuk kedalam jenjang Ciodeng dan Cilanang pada umur Miosen akhir.
2.2.2.1.3     Penentuan Umur
 Berdasarkan analisis umur yag dilakukan pada satuan ini menggunakan data fosil makro yaitu filum Moluska dengan kelas Gastropoda (Gambar 2.15), hasil analisis menunjukan jenjang Ciodeng (Tabel 2.2) berdasarkan K. Martin (1919) & C.H Oosting (1938) dalam van Bemmelen 1949 menjelaskan bahwa jenjang Ciodeng yaitu berupa lapisan batuan yang mengandung fosil moluska dengan umur Zaman tersier kala Miosen Akhir serta di setarakan dengan Zonasi blow (1969) maka didapatkan kisaran umur N19-N20.
Gambar 2.16 Kenampakan singkapan tuf kasar berfosil dengan kenampakan fosil moluska berwarna putih bereaksi dengan Hcl, lensa menghadap ke arah barat daya (Foto di ambil didekat LP 2).
 Tabel 2.2 Analisis umur berdasarkan moluska pada satuan tuf koleberes.

 2.2.2.1.4     Lingkungan Pengendapan
 Lingkungan pengendapan satuan batuan tuf Koleberes ini dilakukan berdasarkan data lapangan dan mengacu pada peneliti terdahulu, hal ini dikarenakan satuan batuan ini ditemukan kehadiran fosil moluska, hasil dari analisis fosil didapatkan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian berupa lingkungan transisi hingga neritik luar (Tipsword, dkk1966).
Tabel 2.3Analisis lingkungan pengendapan berdasarkan moluska pada satuan tuf kasar koleberes.

 2.2.2.1.5     Hubungan Stratigrafi
 Berdasarkan pada stratigrafi regional (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996). Hubungan stratigrafi dengan satuan tuf Koleberes dengan tuf Bentang yaitu menjari (Tabel 2.3) dikarenakan terdapat kesamaan fosil moluska.
Tabel 2.4 Hubungan stratigrafi Satuan tuf kasar Koleberes dengan diatasnya pada daerah penelitian.
 Satuan Bentang
 Satuan tuf Bentang merupakan satuan ini disusun oleh tuf halus (dominan) dan sisipan konglomerat. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini dilapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan tuf halus Bentang.
2.2.2.1.1   Penyebaran dan Ketebalan
 Satuan tuf Bentang ini menempati ± 45 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relatif selatan dengan wilayah yaitu meliputi, Desa Gelaranyar, Mekarsari, Kertaharja dan Selagedang. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat tanggul alam, bukit alam dan gosong sungai (F4) serta bergelombang kuat - perbukitan lereng dan perbukitan denudasional (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A - A’, satuan ini mempunyai ketebalan ± 300 meter.
2.2.2.1.2   Litologi Penyusun
 Satuan ini meliputi + 45 % dari luas area penelitian tersusun oleh tuf (didominasi) dan konglomerat. disusun tuf (didominasi) dengan konglomerat menyisip diantara tuf halus.
Gambar 2.17 Kenampakan singkapan tuf halus Bentang, lensa menghadap kearah timurlaut (Foto di ambil didekat LP 8).
Secara megaskopis kenampakan tuf memiliki warna segar : abu-abu, warna lapuk : kuning dengan struktur : masif dijumpai juga berlapis, kompak, tekstur berupa ukuran butir : halus, derajat pemilahan : buruk, derajat pembundaran : membulat, kemas : tertutup. Komposisi mineral : lithik, mineral gelas, dan mineral lainnya di beberapa tempat ditemukan teralterasi.
Secara mikroskopis tuf pada satuan diberi nama berupa Lithik tuf (schmid, 1981), memiliki tekstur vitrofirik, bentuk butir dari anhedral-subhedral dan ukuran kristal halus hingga kasar, tersusun oleh lithik 65%, mineral plagioklas feldspar 2% serta gelas 33%. di beberapa tempat tuf sudah terlaterasi secara megaskopis berwarna hijau dengan struktur masif, tekstur halus. Secara megaskopis kenampakan konglomerat memiliki warna segar : abu-abu, warna lapuk : kekuningan, struktur masif, dengan tekstur berupa ukuran butir kerakal, derajat pemilahan : baik, derajat pembundaran : membulat, kemas terbuka.
 Gambar 2.18 Kenampakan singkapan tuf halus dengan sisipan konglomerat pada Lp 23 foto mengarah ke utara.
Secara megaskopis fragmen konglomerat dengan struktur masif, tekstur berupa ukuran butir kasar sampai bongkah dengan diameter (1-5 cm), derajat pemilahan baik, derajat pembundaran membulat, kemas terbuka. Komposisi matrik berupa tuf halus sampai kasar, fragmen berupa andesit (Gambar 2.19). dengan matrik berupa tuf memiliki warna segar abu - abu, warna lapuk kuning dengan struktur masif, dijumpai juga berlapis, kompak, tekstur berupa ukuran butir halus, derajat pemilahan buruk, derajat pembundaran membulat, kemas tertutup.
Secara microskopis fragmen konglomerat pada satuan ini diberi nama berupa Andesit (Streckeisen, 1976), memiliki tekstur porfiritik, bentuk kristal anhedral- subhedral dan ukuran krisal halus hingga kasar, tersusun oleh mineral fenokris plagioklas (20%), kuarsa (7%), biotit (8%), klorit (5%), masa dasar (59%) terdiri dari mikrolit plagioklas felspar 50% serta gelas (9%, opak magnetit (1%).
Secara mikroskopik matrik diberi nama berupa Lithik tuf (pettijohn 1975) dengan tekstur piroklastik, bentuk kristal dari anhedral-subhedral dan ukuran kristal halus hingga kasar. Dominan tersusun oleh lithik (65%), kuarsa (10%) dan gelas (25%). Satuan ini dijumpai fosil moluska berupa Gastropoda dengan ukur an 0,5-1,2 cm, dari analisis fosil tersebut berdasarkan klasifikasi K.Martin (1919) & C.H.Oosting (1938) masuk kedalam jenjang Bantamian dan Cheribonian pada umur Pliosen. Secara mikroskopik tuf teralterasi di beri nama berupa Lithik tuf (pettijohn 1975)) (Lampiran Hal  188),  dengan bentuk  kristal dari  anhedral-subhedral  dan ukuran kristal halus hingga kasar. Batuan ini tersusun oleh mineral Biotit 50%, plagioklas 5 % dan gelas 45%.
Gambar 2.19 Foto kenampakan singkapan tuf teralterasi dengan ubahan mineral Klorit berwarna hijau, lensa menghadap keaarah barat (Foto di ambil didekat Lp 36, Desa Selagedang).
 2.2.2.1.3   Penentuan Umur
 Berdasarkan analisis umur yag dilakukan pada satuan ini menggunakan data fosil makro yaitu filum Moluska dengan kelas Gastropoda (Gambar 2.19), hasil analisis menunjukan jenjang Cherebonian (Tabel 2.5) berdasarkan K.Martin (1919) & C.H Oosting (1938) dalam Van Bemmelen 1949 menjelaskan bahwa jenjang Cherebonian yaitu berupa lapisan batuan yang mengandung fosil moluska dengan umur Zaman tersier kala Miosen Akhir- Pliosen serta di setarakan dengan zonasi blow (1969) maka didapatkan kisaran umur N15-N19.
Gambar 2.20 Kenampakan singkapan tuf halus berfosil dengan kenampakan fosil moluska berwarna putih bereaksi dengan Hcl, lensa menghadap ke arah barat daya (Foto di ambil didekat LP 2).
Tabel 2. 5 Umur relatif dari analisis fosil Moluska

2.2.2.1.4   Lingkungan Pengendapan
 Lingkungan pengendapan satuan batuan tuf halus Bentang ini dilakukan berdasarkan data lapangan dan mengacu pada peneliti terdahulu, hal ini dikarenakan satuan batuan ini ditemukan kehadiran fosil moluska, hasil dari analisis fosil didapatkan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian berupa lingkungan Darat sampai Neritik Luar (Tipsword, dkk, 1966).
Tabel 2.6 Analisis lingkungan pengendapan berdasarkan data fosil Moluska pada satuan tuf Bentang.

 2.2.2.1.5   Hubungan Stratigrafi
 Berdasarkan pada stratigrafi regional (M. Koesmono, Kusnama., N.Suwarna 1996). Hubungan stratigrafi dengan satuan tuf halus Bentang menjari dengan satuan tuf kasar Koleberes dibuktikan dengan data batuan berupa adanya variasi batuan dan dari data fosil moluska ditemukan fosil yang sama dengan lithologi berbeda menunjukan umur yang sama yaitu miosen akhir berdasarkan klasifikasi Martin dan Oostingh,(1935). dan tidak selaras dengan breksi andesit beser (Tabel 2.7)
Tabel 2.7 Hubungan stratigrafi Satuan tuf Bentang dengan satuan diatasnya pada daerah penelitian.

Satuan Breksi Andesit Beser

 Satuan breksi andesit Beser merupakan satuan ini disusun secara Keseluruhan oleh breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan breksi andesit Beser.
2.2.2.2.1   Penyebaran dan Ketebalan
 Satuan breksi andesit Beser ini menempati ± 15 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relatif utara - selatan dengan wilayah yaitu meliputi, Desa Sukakarya, Sukanagara, Sukarame dan Sindangkerta. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan bukit sisa pelapukan dan erosi (D4) dan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan gawir sesar & gawir garis sesar (tebing curam) (S13). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A – A’, satuan ini mempunyai ketebalan ± 350 meter.
2.2.2.2.2     Litologi Penyusun
 Satuan ini tersusun oleh breksi andesit. Kenampakan dilapangan warna segar abu abu, warna lapuk kekuningan, struktur masif, tekstur berupa ukuran butir kasar, derajat pemilahan buruk, derajat pembundaran menyudut, kemas terbuka. Komposisi matrik berupa lithik, kuarsa, mineral gelas dan mineral lain, serta fragmen breksi dicirikan oleh struktur masif, tekstur aphanitik, komposisi kuarsa, piroksen, biotit, hornblende, dan mineral lain. ukuran fragmen beragam dari 3 - 30 cm (Kerakal – Bongkah) pada (Gambar 2.20).
Gambar 2.21 Kenampakan singkapan breksi andesit Beser. Lensa menghadap ke arah baratlaut (Foto di ambil didekat LP 33, Desa Selagedang).
Gambar 2.22 Kenampakan singkapan breksi andesit teralterasi (A) dan pelapukan dari alterasi breksi andesit (B). Lensa menghadap ke arah baratdaya (Foto di ambil didekat Lp 72, Desa Sukarame)
 2.2.2.2.3     Penentuan Umur
 Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan umur pada satuan breksi andesit Beser ini dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada stratigrafi regional yang terdapat pada peta geologi lembar sindangbarang dan bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996) dengan umur satuan Zaman Tersier kala Pliosen.


2.2.2.2.4     Lingkungan Pengendapan
 Penentuan lingkungan pengendapan satuan batuan tuf halus Bentang ini dilakukan berdasarkan data lapangan dan mengacu pada peneliti terdahulu. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik, penyebaran dan posisi stratigrafi pada peta geologi regional Lembar sindangbarang dan bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996) dapat diinterpretasikan bahwa satuan breksi andesit sebanding dengan Formasi beser.
2.2.2.2.5      Hubungan Stratigrafi
 Berdasarkan pada stratigrafi regional (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996). Hubungan stratigrafi satuan breksi andesit Beser tidak selaras dengan satuan endapan pasir-bongkah, (Tabel 2.7).
Tabel 2.7 Hubungan stratigrafi Satuan Breksi andesit Beser dengan Satuan diatasnya pada daerah penelitian.

Satuan Endapan Pasir - Bongkah

 Satuan endapan pasir - bongkah merupakan satuan yang disusun secara dominan oleh produk dari endapan holosen dengan proses transportasi yang dekat dengan sumber batuan sehingga mempengaruhi ukuran bentuk dari endapan ini. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini diendapkan, memperlihatkan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan endapan pasir - bongkah.
2.2.2.3.1     Penyebaran dan Ketebalan
 Satuan endapan pasir - bongkah ini menempati ± 5 % dari luas penelitian dan mempunyai penyebaran relatif timur laut - selatan dengan wilayah meliputi Desa Gelaranyar dan Desa Kertaraharja. Di daerah penelitian satuan ini menempati Satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat tanggul alam, bukit alam dan gosong sungai (F4). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A- A’, Satuan ini mempunyai ketebalan ± 50 meter.
2.2.2.3.2     Litologi Penyusun
 Satuan ini tersusun oleh batuan dengan ukuran pasir hingga bongkah berada pada persawahan maupun di daerah sungai Ci-jampang. Dilapangan menunjukan ciri warna segar abu - abu kehitaman dengan warna lapuk abu - abu gelap sampai kehitaman, struktur masif belum mengalami kompaksi, struktur sedimen berupa gradasi normal, tekstur berupa ukuran butir pasir sampai bongkah, derajat pembundaran bulat hingga membulat tanggung, kemas terbuka, derajat pemilahan baik, dengan komposisi berupa endapan batuan berukuran pasir sampai bongkah (Gambar 2.22).
Gambar 2.23 Kenampakan singkapan endapan Pasir - bongkah, lensa menghadap ke tenggara (foto diambil di dekat LP 12).
  2.2.2.3.3     Penentuan Umur
 Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan umur pada satuan endapan pasir - bongkah ini dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada stratigrafi regional yang terdapat pada peta geologi lembar sindangbarang dan bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996), dengan umur satuan Zaman Quarter Kala Holosen.
2.2.2.3.4     Lingkungan Pengendapan
 Penentuan lingkungan pengendapan satuan endapan pasir-bongkah ini dilakukan berdasarkan data lapangan dan mengacu pada peneliti terdahulu, Berdasarkan kesebandingan ciri fisik, penyebaran dan posisi stratigrafi pada peta geologi regional Lembar sindangbarang dan bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996), dapat diinterpretasikan bahwa satuan endapan pasir- bongkah sebanding dengan aluvium dan endapan pantai yang berumur Holosen.
2.2.2.3.5          Hubungan Stratigrafi
 Berdasarkan pada stratigrafi regional (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996) Hubungan stratigrafi endapan pasir - bongkah dengan satuan breksi andesit Beser yaitu tidak selaras (Tabel 2.8) disebabkan terdapatnya bidang erosi pada satuan breksi andesit.
Tabel 2.8 Hubungan stratigrafi Satuan tuf kasar koleberes dengan Satuan dibawahnya pada daerah penelitian.

 Korelasi Stratigrafi Daerah Penelitian
 Berdasarkan hasil analisis secara keseluruhan pada seluruh satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian, maka dapat dikorelasikan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional peneliti terdahulu (Peta Geologi lembar Karangnunggal, S. Supriatna, dkk, 1992), oleh karena itu kesebandingan stratigrafi regional terhadap stratigrafi daerah penelitian akan ditampilkan dalam kolom kesebandingan (Tabel 2.9)
Tabel 2.9 Kolom korelasi stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (M. Koesmono, Kusnama., N. Suwarna 1996).

 Struktur Geologi
 Struktur geologi adalah struktur perubahan lapisan batuan sedimen akibat kerja kekuatan tektonik, sehingga tidak lagi memenuhi hukum superposisi disamping itu struktur geologi juga merupakan struktur kerak bumi produk deformasi tektonik.

Struktur Geologi Regional

 Struktur geologi Pulau Jawa telah banyak dipelajari oleh para peneliti berdasarkan data foto udara, penelitian lapangan, citra satelit, data magnetik, data gaya berat dan data seismik. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terkait dengan perkembangan tektonik di Pulau Jawa yang terus berkembang dan berevolusi dari waktu ke waktu, tidak dapat terlepas dari teori Tektonik Lempeng yang menjelaskan tentang aktivitas pergerakannya. Dimana kepulauan yang ada di Indonesia ini merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng utama, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia yang relative bergerak ke utara (Hamilton, 1979). Jika dilihat dari aktivitas dari ke tiga Tektonik Lempeng tersebut telah menghasilkan pola penyebaran batuan vulkanik Tersier di Pulau Jawa (Hamilton, 1974 dalam Pulunggono dan Martodjojo, 1994). Sedangkan pembentukan tektonik pada masa Paleogen dipegaruhi oleh tiga periode tektonik, ketiga periode tersebut antara lain:
1.    Periode Extensional Rifting Paleogene merupakan periode tektonik regangan (tarikan) dan merupakan periode pembentukan cekungan-cekungan dengan tipe graben dan setengah graben (half graben). Periode ini kemudian dikenal sebagai masa terbentuknya dasar-dasar cekungan Pra-Tersier di Laut Jawa yang potensional mengandung hidrokarbon. Proses - proses pemekaran dan pemisahan Tektonik Lempeng terjadi pada masa Paleogen hingga Miosen Awal (Hall, 1996).
2.     Periode Compressional Wrenching Neogen yaitu tekanan dan perputaran pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir dan Periode ini merupakan periode yang membentuk wrench fault yang diakibatkan oleh gaya kompresi, sehingga pada periode ini terbentuk sesar-sesar turun, sesar-sesar mengiri dan juga terbentuk struktur antiklin.
3.      Periode Compressional Trust-Folding Plio-Pleistocene yaitu periode yang membentuk sesar naik dan perlipatan pada masa Plio-Plistosen (Suprijadi, 1992). Selanjutnya pada periode ini merupakan periode tektonik yang membentuk lipatan - lipatan serta sesar-sesar naik yang berarah barat timur dan barat daya – timur laut, sementara pembentukan wrench fault yang sudah dimulai sejak Neogen berlanjut sampai Plistosen (Suprijadi, 1992). Tektonik tersebut menghasilkan variasi jalur subduksi di Pulau Jawa mulai dari Kapur Tengah – Eosen Tengah, Eosen Akhir – Oligosen, dan Miosen Akhir – Kuarter yang terekam dari batuan-batuan yang telah ditemukan (Gambar 2.23). Pada saat Kapur Tengah terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan, zona ini membentuk struktur kerangka geologi yang berarah timur laut-barat daya yang dikenal sebagai Pola Meratus.
Kemudian selama masa Tersier pola ini terus menunjukkan pergeseran ke sebelah selatan dari Pulau Jawa, dan pada Eosen Akhir – Oligosen terjadi penunjaman dan terbentuklah Pegunungan Selatan yang sekarang terlihat disepanjang Selatan Pulau Jawa dan kemudian terus bergeser ke selatan dan membentuk penunjaman yang terjadi pada saat ini yang berada di sebelah selatan Pulau Jawa dan kemudian menghasilkan gunung api yang terlihat disepanjang daerah tengah Pulau Jawa.
Gambar 2.24 Jalur subduksi dan busur magmatis dari Pra Tersier sampai Kuarter (Sujanto dan Sumantri, 1997 dalam Natalia dkk, 2010).
Proses-proses tersebut kemudian menghasilkan tiga arah struktur di Jawa, yaitu: Pola Meratus yang mempunyai arah barat daya – timur laut, , Pola Jawa yang mempunyai arah barat – timur, dan Pola Sunda yang mempunyai arah utara – selatan (Pulonggo dan Martodjojo, 1994 dalam Martodjojo, 2003) (Gambar 2.24). Disamping tiga arah struktur utama ini, masih terdapat satu arah struktur utama lagi, yakni arah barat laut - tenggara yang disebut Pola Sumatra (Satyana, 2007).
1.  Pola Meratus
Mempunyai arah timurlaut-baratdaya (NE-SW). Pola ini tersebar di daerah lepas pantai Jawa Barat dan Banten. Pola ini diwakili oleh Sesar Cimandiri, Sesar naik Rajamandala, dan sesar-sesar lainya. Meratus lebih diartikan sebagai arah yang mengikuti pola busur umur Kapuas yang menerus ke Pegunungan Meratus di Kalimantan (Katili, 1974, dalam Martodjojo, 1984).
2.  Pola Sumatera
 Mempunyai arah baratlaut-tenggara (NW-SE). Pola ini tersebar di daerah Gunung Walat dan sebagian besar bagian selatan Jawa Barat. Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di daerah Gunung Walat, dan sumbu lipatan pada bagian selatan Jawa Barat. Arah Sumatera ini dikenal karena kesejajaranya dengan Pegunungan Bukit Barisan (Martodjojo, 1984).
3.  Pola Sunda
 Mempunyai arah utara-selatan (N-S). Pola ini tersebar di daerah lepas pantai utara Jawa Barat berdasarkan data-data seismik. Arah ini juga terlihat pada Sesar Cidurian, Blok Leuwiliang. Arah sunda ini diartikan sebagai pola yang terbentuk pada Paparan Sunda (Martodjojo, 1984).
Gambar 2.25 Peta pola struktur regional Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994).

Magmatisme dan Vulkanisme

 Tatanan tektonik daerah penelitian secara umum termasuk ke dalam tatanan tektonik regional Jawa Barat, dan jalur magmatik yang menjadi bagian dari satuan tektonik regional di Jawa Barat dibagi menjadi beberapa tahap dalam aktivitasnya (Gambar 2.25), (Soeria, Atmadja, dkk., 1994).
Gambar 2.26 Jalur magmatik Pulau Jawa (Soeria, Atmadja, dkk., 1994).

Zaman Kapur

 Peristiwa tektonik di Pulau Jawa pada Zaman Kapur ditandai dengan subduksi lempeng samudera Hindia - Australia yang menyusup ke bawah lempeng benua Eurasia. Jalur subduksi tersebut dicirikan oleh kehadiran batuan ofiolit berumur Kapur yang merupakan bagian dari jalur subduksi purba berupa melange dan sebagai Satuan batuan dasar Jawa. Berdasarkan pengukuran struktur kelurusan dan sesar yang banyak memotong komplek ofiolit, menunjukkan arah umum Timurlaut-Baratdaya atau sesuai dengan arah yang dinamakan “arah Meratus”. Sedangkan di Jawa Barat, batuan yang  tersingkap  berhubungan  dengan  jalur subduksi purba ini berumur Tersier (Eosen awal), berupa olistostrom yang terdapat di Ciletuh dan secara tektonik satuan ini berhubungan dengan batuan ofiolit yang terbreksikan dan mengalami serpentinisasi pada jalur - jalur persentuhannya.

Zaman Tersier

 Satuan tektonik pada Zaman Tersier yang berupa jalur magmatik menjadi dua perioda kegiatan, yaitu Eosen Akhir - Miosen Awal dan Miosen Akhir - Pliosen. Hasil kegiatan magmatik Eosen Akhir - Miosen Awal di Jawa Barat, tersingkap di Pangandaran - Cikatomas berupa aliran lava dan breksi lahar yang tergolong dalam Fm. Jampang yang berumur Oligosen - Miosen Awal. Satuan hasil kegiatan magmatik ini terdiri dari kumpulan batuan vulkanik yang dinamakan Formasi “Andesit Tua” berumur Oligosen-Miosen Awal dan tersingkap hampir di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, kecuali di Jawa Tengah. Kegiatan magmatik Tersier yang lebih muda (Miosen Akhir-Pliosen) di Jawa Barat dapat diamati di komplek Pegunungan Sanggabuana (Cianjur), sebelah Barat Laut Kota Bandung. Di daerah ini diperkirakan sedikitnya ada tiga komplek batuan volkanik, yaitu komplek volkanik Sanggabuana, kubah lava di Jatiluhur, serta jenjang-jenjang vulkanik dan sumbat lava di sebelah Selatan Sanggabuana. Petrografi batuannya berkisar antara basalt hingga andesit piroksen, dan susunan kimianya berkisar antara kalk-alkalin dan kalk-alkalin kaya Kalium. Beberapa singkapan batuan volkanik Tersier akhir di Jawa Barat juga dapat diamati di komplek Wayang Windu berupa lava andesit piroksen, dengan susunan kimianya berupa kalk alkalin, dan sejumlah aliran lava basalt di daerah Bayah (sebelah Barat Cikotok) dengan catatan umur Miosen Tengah, susunan kimiawinya menunjukkan hasil busur kepulauan toleitis.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, diperoleh gambaran bahwa jalur magma Tersier ini tersebar hampir meliputi seluruh bagian tengah Jawa Barat dan mungkin sampai ke utara yang umurnya secara berangsur menjadi bertambah muda ke arah utara. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanisme selama zaman Tersier ini diawali dari bagian selatan Jawa (Miosen Awal) dan secara berangsur bergeser ke arah utara. Mengingat bahwa jalur subduksinya sendiri bergeser secara berangsur ke Selatan dimulai dari kedudukannya pada awal Tersier pada punggungan bawah permukaan laut di Selatan Jawa dan sekarang berada di sebelah Selatannya, maka dapat dipastikan bahwa sudut penunjaman pada jalur subduksi menjadi semakin landai.

Zaman Kuarter

 Satuan tektonik lainnya berupa jalur magma yang membentuk volkanik berumur Kuarter, menempati bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga dikatakan berimpit dengan jalur magmatik Tersier. Jalur ini merupakan jalur magmatik paling muda, memiliki potensi energi panas bumi dan yang telah dimanfaatkan.

Struktur Geologi Daerah Penelitian

 Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat diinterpretasikan berdasarkan analisa data struktur geologi daerah penelitian dengan menggunakan data citra SRTM (Gambar 2.26) didapatkan hasil analisa yakni menunjukan pola kelurusan utama berarah barat laut - tenggara (interpretasi). Dari hasil penarikan kelurusan di citra SRTM di plotkan ke peta geologi dengan berdasarkan kesamaan kelurusan dari pola kontur.
Gambar 2.27 Hasil interpretasi pola kelurusan daerah penelitian berdasarkan data citra ASTER GDEM dengan menggunakan sofware Global Mapper 16 dan software GeoRose 2.
Berdasarkan analisis kelurusan bukit dan lembah/sungai pada citra ASTER GDEM diperoleh frekuensi diagram kelurusan di daerah penelitian yang berarah dominan barat laut - tenggara (Gambar 2.26) yang didapat dari data hasil plot kelurusan menggunakan software Global Mapper 16 (Tabel Lampiran Plot Kelurusan SRTM, Hal 167) dan diinput ke Software GeoRose 2. Pola kelurusan tersebut indikasi kehadiran adanya kontrol struktur geologi pada daerah penelitian, hal ini didukung dengan data kekar gerus yang diperoleh pada saat survei secara rinci yang mengindikasikan adanya sesar mendatar berarah barat laut - tenggara dan sesar turun berarah utara - selatan. Pola - pola sesar ini mengindikasikan bahwa tektonik kompresi jawa yang dihasilkan dari tumbukan lempeng Eurasia dan lempeng Indo - Australia berarah utara - selatan pada kala Pliosen - Resen sangat mengontrol keberadaan sesar ini, sehingga data - data dari indikasi adanya struktur geologi tidak dapat diabaikan mengingat kemunculan dari sebuah gunung api juga dikontrol oleh sesar - sesar yang ada di daerah penelitian. Interpretasi struktur geologi yang dijumpai pada lokasi pemetaan akan dijelaskan pada subbab berikut ini :
1.      Sesar mendatar mengkanan Gelar Anyar 1
Sesar mendatar kanan Gelaranyar 1 ditemukan pada tebing jalan di daerah Gelar Anyar pada Lp 49. Keberadaan sesar ini diindikasikan dari adanya gawir berarah baratlaut-tenggara yang menunjukkan kenampakan zona hancuran dengan intensitas kekar intensif pada litologi batupasir tufan. Data-data yang dikumpulkan dari sesar ini adalah data breksiasi, shear fracture, gash fracure dari Lp 49 serta dijumpai mata air. Dari hasil pencocokan data lapangan dengan hasil analisis menunjukkan bahwa arah dari sesar ini memiliki orientasi yang sama dengan hasil interpretasi yang memiliki arah relatif baratlaut-tenggara. Hasil analisis stereonet menunjukkan kedudukan bidang sesar, kedudukan shear fracture, kedudukan gash fracture, net slip, T1, T1', T2, T3, T3', dengan nama sesar Normal Right Slip Fault (Rickard, 1972),(lampiran hal 203 dan 205). Keberadaan sesar ini diduga merupakan penyebab dari longsor di sepanjang ruas jalan Sindangbarang.
Gambar 2.28 Kenampakan bidang sesar pada sesar mendatar mengkanan Gelar Anyar pada lp 49 arah foto kearah baratlaut.
Gambar 2.29 Hasil analisis sesar mengkanan Gelar Anyar 1
Kekar Gelar Anyar 1 ditemukan pada gawir Gelar Anyar pada Lp 49 mengindikasikan adanya sesar. Data yang dikumpulkan berupa extension joint, Release Joint, dan Release Joint. Didapatkan arah tegasan utama maksimum (sudut lancip) yaitu baratdaya-timur laut dan arah tegasan minimum (sudut tumpul) yaitu barat laut tenggara.
Gambar 2.30 Kenampakan Kekar Pada Gawir pada Desa Gelar anyar pada Lp 49 arah foto kearah baratlaut.
Gambar 2. 31 Hasil analisis kekar Gelar Anyar 1
2.      Sesar mendatar mengkanan Gelar Anyar 2
 Sesar mendatar kanan Gelaranyar 2 ditemukan pada tebing jalan di daerah Gelar Anyar pada Lp 53. Keberadaan sesar ini diindikasikan dari adanya gawir berarah baratlaut-tenggara yang menunjukkan kenampakan zona hancuran dengan intensitas kekar intensif pada litologi tuf. Data-data yang dikumpulkan dari sesar ini adalah data breksiasi, shear fracture, gash fracture dari LP 53. Dari hasil pencocokan data lapangan dengan hasil analisis menunjukkan bahwa arah dari sesar ini memiliki orientasi yang sama dengan hasil interpretasi yang memiliki arah relatif baratlaut-tenggara. Hasil analisis stereonet menunjukkan kedudukan bidang sesar, kedudukan shear fracture, kedudukan gash fracture, net slip, T1, T1', T2, T3, T3', dengan nama Normal Right Slip Fault (Rickard, 1972) ,( Lampiran Hal 201).
Gambar 2.32 Kenampakan bidang sesar pada sesar mendatar mengkanan gelar anyar 2 pada Lp 53 arah foto kearah timur
Gambar 2.33 Hasil analisis sesar Gelar Anyar 2
Kekar Gelar Anyar 2 ditemukan pada gawir Gelar Anyar pada Lp 50 mengindikasikan adanya sesar. Data yang dikumpulkan berupa extension joint, Release Joint, dan Release Joint. Didapatkan arah tegasan utama maksimum (sudut lancip) yaitu utara-selatan dan arah tegasan minimum (sudut tumpul) yaitu barat- timur.
Gambar 2.34 Kenampakan kekar gerus pada gelar anyar 2 pada lp 50 arah foto kearah utara
Gambar 2.35 Hasil Analisis kekar Gelar Anyar 2
3.        Sesar mendatar mengkanan Selagedang 1
Sesar mendatar kanan Selagedang 1 ditemukan di daerah Selagedang pada Lp 47. Keberadaan sesar ini diindikasikan dari adanya gawir berarah baratlaut- tenggara yang menunjukkan kenampakan zona hancuran dengan intensitas kekar intensif pada litologi tuf. Data-data yang dikumpulkan dari sesar ini adalah data bidang sesar dan gores garis dari Lp 47. Dari hasil pencocokan data lapangan dengan hasil analisis menunjukkan bahwa arah dari sesar ini memiliki orientasi yang sama dengan hasil interpretasi yang memiliki arah relatif baratlaut-tenggara. Hasil analisis stereonet menunjukkan kedudukan bidang sesar dengan pergerakan mengkanan dengan nama Reverse right slip fault (Rickard, 1972).
Gambar 2.36 Kenampakan bidang sesar pada sesar mendatar mengkanan selagedang 1 pada Lp 47 arah foto arah baratlaut
Gambar 2.37 Hasil Analisis sesar mendatar mengkanan desa selagedang 1
4.        Sesar mendatar mengkanan Selagedang 2
Sesar mendatar kanan Selagedang 2 ditemukan di daerah Selagedang pada Lp 48. Keberadaan sesar ini diindikasikan dari adanya gawir berarah baratlaut- tenggara yang menunjukkan kenampakan zona hancuran dengan intensitas kekar intensif pada litologi tuf. Data-data yang dikumpulkan dari sesar ini adalah data breksiasi, bidang sesar, gores garis dari Lp 48. Dari hasil pencocokan data lapangan dengan hasil analisis menunjukkan bahwa arah dari sesar ini memiliki orientasi yang sama dengan hasil interpretasi yang memiliki arah relatif baratlaut-tenggara. Hasil analisis stereonet menunjukkan kedudukan bidang sesar, pergerakan mengkanan dengan nama right slip fault (Rickard, 1972) (Lampiran Hal 200).
Gambar 2.38 Kenampakan bidang sesar selagdang 2 pada Lp 48 arah foto ke arah barat
Gambar 2.39 Hasil analisis sesar Selagedang 2
5.      Sesar turun sindangkerta
Sesar tirun sindangkerta ditemukan pada air terjun (Curug) di daerah Sindangkerta pada Lp 60. Keberadaan sesar ini diindikasikan dari adanya gawir berarah baratlaut-tenggara yang menunjukkan kenampakan zona hancuran dengan intensitas kekar intensif pada litologi breksi andesit. Data-data yang dikumpulkan dari sesar ini adalah data bidang sesar, shear fracture, gash fracture dari Lp 47. Dari hasil pencocokan data lapangan dengan hasil analisis menunjukkan bahwa arah dari sesar ini memiliki orientasi yang sama dengan hasil interpretasi yang memiliki arah relatif baratlaut-tenggara. Hasil analisis stereonet menunjukkan kedudukan bidang sesar, kedudukan shear fracture, kedudukan gash fracture, net slip, T1, T1', T2, T3, T3', dengan nama Right normal slip fault (Rickard, 1972) (Lampiran Hal 204).
Gambar 2.40 Sesar turun Sindangkerta pada batu breksi andesit Beser dengan fragmen andesit dan matrik Tuf pada lp 60 foto kearah baratdaya
Gambar 2.41 Hasil analisis sesar turun sindangkerta
Dari beberapa hasil dari analisis struktur tersebut menunjukan bahwa gaya utama berada pada arah utara-selatan dengan mengunakan konsep moody dan Hill (1956), orde utama pada daerah penelitian ini berupa sesar mengkanan dan didapatkan arah utama patahan berupa sesar normal/turun. Terdapat sesar mendatar mengkanan dengan mengindikasikan adanya dua kali tektonik dikarenakan pada sesar selagedang 1 dan sesar selagedang 2 sudah mengenai satuan batuan breksi andesit beser yang menyebabkan terbentuknya sesar turun sindangkerta.
Gambar 2.42 Model struktur geologi pada daerah penelitian berdasarkan konsep moody dan hill (1956)

.   Sejarah Geologi
 Geologi sejarah menggunakan prinsip-prinsip geologi untuk merekonstruksi dan memahami sejarah bumi. Bidang ini berfokus pada proses- proses geologi yang mengubah permukaan dan bawah permukaan bumi, dan penggunaan stratigrafi, geologi struktur, serta paleontologi untuk menjelaskan urutan kejadian tersebut. Bidang ini juga berfokus pada evolusi tumbuhan dan binatang selama periode waktu berbeda dalam skala waktu geologi. Penemuan nradioaktif dan perkembangan berbagai metode penentuan umur radiometrik pada paruh pertama abad ke-20 telah membawa arti penting untuk mendapatkan umur absolut dari umur relatif dalam sejarah geologi.

2.4.1.      Sejarah Geologi Regional

 Kala Pratersier – Eosen
Daerah Jawa Barat terbentuk pada masa tersier ditandai dengan proses subduksi termasuk pada event tektonik ini membentuk bukaan tengah samudera, busur vulkanik, sedimentasi pada cekungan depan busur, dan proses metamorfisme (Parkinson et al., 1998; Wakita, 2000). Proses collision dari pecahan Benua Gondwana membuat proses subduksi menjadi berhenti yang diperkirakan terjadi pada periode Late Cretaceous dan saat ini pecahan dari Benua Gondwana ini menjadi bagian dari batuan dasar di Jawa Timur (Smyth et al., 2007).
Kala Eosen Tengah – Eosen Akhir
Setelah proses collision pada Zaman Kapur melemah, disini terjadi sedimentasi di Selatan Pulau Jawa yang berada pada setting tektonik passive margin hingga Eosen. Pada Eosen Tengah, proses subduksi kembali aktif dan membentuk busur gunungapi baru dibagian Selatan Sunda Shelf khususnya di daerah Jawa Barat terdapat dua sekuen batuan sedimen terendapkan pada periode Eosen Tengah pada area Pantai Ciletuh yaitu Formasi Ciletuh dan Formasi Ciemas. Sekuen ini mewakili sekuen batuan sedimen tertua yang menindih secara tidak selaras di atas batuan dasar (Clements dan Hall, 2007).
Formasi Ciletuh tersusun oleh breksi polemik, batuan volkanik endapan aliran debris dan turbidit yang memiliki komposisi fragmen berupa andesit/basalt, batugamping dan terdapat pula fragmen dasit, granit dan batuan metamorf. Sedangkan Formasi Ciemas memiliki karakter yang sangat berbeda yang tersusun oleh batupasir yang kaya kwarsa, batupasir kerikilan dan konglomerat. Berdasarkan karakteristik batuan penyusun Formasi Ciemas, diinterpretasikan formasi ini diendapkan pada lingkungan laut yang relatif dangkal (Clements dan Hall, 2007). Formasi Ciletuh sendiri memiliki karakteristik secara tekstural dan komposisional diendapkan melalui mekanisme sedimentasi yang cukup cepat dan berasal dari provenance berupa batuan volkanik ataupun batuan ophiolit dan mengindikasikan setting tektonik aktif pada waktu terendapkan, yaitu berupa patahan ekstensional aktif pada laut dalam, dan berhubungan dengan basaltic volcanism (Hall et al., 2007) (Gambar 2.44).
Pada periode Eosen Akhir, di Jawa Barat didominasi oleh endapan-endapan terestrial berupa endapan braided river yang tebal (Gambar 2.43) yaitu Formasi Bayah. Peningkatan suplai sedimen dan ruang akomodasi secara cepat diinterpretasikan merupakan respon dari turunnya cekungan yang merupakan akibat dari gaya ekstensional yang berhubungan dengan subduksi di Selatan Jawa dan tektonik ekstensional regional dari Sundaland di bagian Utara (Clements dan Hall, 2007). Pada block offshore Malingping teridentifikasi dua arah umum patahan yaitu N-S dan E-W yang aktif pada daerah ini (Yulianto et al., 2007). Patahan yang berarah N-S merupakan patahan ekstensional yang merupakan akibat dari proses rifting di Laut Jawa Barat Bagian Utara sedangkan patahan yang berarah E-W diinterpretasikan berhubungan dengan subduksi di Selatan Pulau Jawa. Kedua trend patahan yang berarah N-S inilah yang menjadi agen utama dalam sedimentasi pada periode ini.
Gambar 2.43 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Eosen Tengah (Clements dan Hall, 2007)
Gambar 2.44 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Eosen Akhir (Clements dan Hall, 2007).
Kala Oligosen - Miosen
Proses ekstensional berarah Barat-Timur ini berlanjut hingga Oligosen Awal (Cole dan Crittenden,1997) dan berasosiasi dengan volkanisme dibagian tengah dari area Jatibarang dibagian Jawa Barat Utara. Batuan volkanik dierupsikan pada graben yang berarah Utara-Selatan dan berasosiasi dengan endapan lakustrin yang sekarang merupakan Formasi Jatibarang. Aktivitas volkanisme pada kala ini bukan merupakan hasil langsung pada zona subduksi dan tidak berasosiasi dengan gunungapi komposit. Berdasarkan analisis lanjutan, teridentifikasi aktivitas volkanik pada periode ini berupa basaltic fow yang berasosiasi dengan endapan lakustrin yang mengindikasikan kuat berupa fissure eruption pada setting rifting area (Gambar 2.45). Disisi lain pada saat aktivitas volkanik ini berlangsung, dibagian lain dari cekungan ini terendapkan juga endapan lakustrin Formasi Banuwati yang juga terendapkan pada depresi graben akibat patahan (Clements dan Hall, 2007).
Pada Oligosen Akhir, proses tektonik ekstensional yang berarah Barat-Timur di Cekungan Jawa Barat Utara berangsur melemah dan diikuti oleh melemahnya aktivitas vulkanik di sekitar Subcekungan Jatibarang. Sedimen klastik diendapkan dari Utara cekungan yang membentuk endapan sedimen klastik yang tebal yaitu Formasi Talang Akar dan sebagian besar dari Cekungan Jawa Barat Utara merupakan daratan meskipun terdapat siklus singkat adanya invasi air laut pada Subcekungan Arjuna selama Oligosen Akhir (Pertamina, 2006 dalam Clements dan Hall, 2007). Sedangkan dibagian selatan dari Cekungan Jawa Barat Utara batuan karbonat mulai diendapkan pada lingkungan laut dangkal (shelf edge) yang tumbuh sebagai batugamping terumbu, alga dan batugamping foraminifera yang memanjang dari Bandung hingga ke bagian Barat Bayah (Gambar 2.46). Pada Oligosen Akhir hingga Miosen Awal, terjadi peningkatan aktivitas vulkanisme secara tiba-tiba terlihat dari meningkatnya keterdapatan batuan vulkanik yang melampar luas di Jawa Barat yang terdiri dari lava basalt, breksi gunungapi, ignimbrit dan tuff (Clements dan Hall, 2007).
Gambar 2.45 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Oligosen Awal (Clements dan Hall, 2007)
Gambar 2.46 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Oligosen Akhir (Clements dan Hall, 2007)
Kala Miosen hingga Pliosen
Pengendapan batuan karbonat pada Kala Oligosen masih berlanjut hingga Miosen Awal pada bagian selatan dari cekungan ini (M. BouDagher-Fadel, 2008). Pada bagian blok tinggian dari Cekungan Jawa Barat Utara ditumbuhi oleh terumbu sedangkan pada bagian depresi (graben lows) terendapkan carbonate muds (Pertamina, 1996). Pada Miosen tengah merupakan fase regresi yang ditandai dengan terhentinya rifting di Laut Cina Selatan oleh peristiwa tumbukan fragmen- fragmen yang dihasilkan oleh Gondwana (Nothern Australia) dengan bagian Timur dari tepian Lempeng Mikro Sunda (Daly et al., 1991). Pada bagian Barat Daya Jawa terjadi pengendapan batuan karbonat pada bagian atas dari Busur Gunungapi Pegunungan Selatan yang telah tidak aktif sehingga diinterpretasikan bahwa aktivitas vulkanisme telah mati atau melemah (Gambar 2.47)
Gambar 2.47 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Miosen Awal (Clements dan Hall, 2007)
Sedangkan pada bagian Cekungan Jawa Barat Utara mulai diendapkan sedimen laut dangkal Formasi Cibulakan Atas yang termasuk di dalamnya Anggota “Massive” dan anggota “Main” Pre Parigi (Pertamina, 1996). Pelemahan dari aktivitas vulkanisme pada Kala Miosen Tengah di Jawa ternyata diikuti pula oleh pelemahan aktivitas vulkanisme di bagian Timur Indonesia. Hal ini diinterpretasikan sebagai hasil dari subduction hinge advance (MacPherson dan Hall, 2002) yang berhubungan dengan perputaran berlawanan arah jarum jam dari Kalimantan dan Jawa serta diikuti dengan permulaan tumbukan Benua Australia dibagian Timur Indonesia (Hall, 2002) (Gambar 2.48).
Gambar 2.48 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Miosen Tengah (Clements dan Hall, 2007).
Pada periode Miosen Akhir terjadi pengaktifan kembali aktivitas vulkanisme dan mengendapkan endapan volcanogenic dengan mekanisme aliran gravitasi (turbidit dan aliran debris) (Gambar 2.49). Sedangkan di bagian Utara, sebagian besar Cekungan Jawa Barat Utara berada dibawah permukaan air laut, hal ini ditandai dengan melamparnya Formasi Parigi dan Cisubuh yang diendapkan pada Miosen Akhir (Pertamina, 1996). Letak dari busur gunungapi pada Miosen Akhir ini belum pasti, namun diperkirakan berada di Selatan dari busur gunungapi saat ini (Clements dan Hall, 2007).
Gambar 2.49 Paleogeografi Jawa Barat pada Kala Miosen Akhir (Clements dan Hall, 2007)
Kala Plio-Pleistosen
Periode tektonik ini ditandai dengan tektonik kompresi akibat dari kelanjutan tumbukan antara NW Australian passive margin dengan Sunda trench dan mengakibatkan inversi minor di Cekungan Jawa Barat Utara. Pada Kala Pleistosen ini terjadi pengangkatan dibeberapa tempat yang diikuti oleh peningkatan aktivitas volkanik. Tektonik pada periode ini merupakan puncak dari tektonik kompresi yang telah dimulai pada Kala Miosen. Tektonik Plio-Pleistosen mengakibatkan pembentukan struktur utama Pulau Jawa yang berarah Barat-Timur dan sebagian besar mengakibatkan reaktivasi dari sesar-sesar yang lebih tua menjadi sesar-sesar strike-slip (Ryacudu dan Bachtiar, 2000).
2.4.2.      Sejarah Geologi Daerah Penelitian
Sejarah di daerah penelitian diawali pada kala Miosen Akhir dimana ditandai dengan terbentuknya Satuan tuf Koleberes (Gambar 2.50) berdasarkan umur dari Moluska yang diambil pada bagian atas menunjukan umur miosen akhir dan menunjukan lingkungan pengendapan Transisi sampai neritik.
Gambar 2.50 Proses pembentukan Satuan tuf koleberes pada kala miosen akhir.
Setelah terbentuk satuan tuf koleberes pada daerah penelitian kemudian mulai mengalami proses suplai material sedimen berupa batuan konglomerat sebagai sisipan dengan komposisi fragmen andesit dan matrik berupa tuf halus. Pada waktu yang sama satuan tuf Koleberes mengalami proses stratigrafi menjari dengan formasi tuf halus Bentang dengan gap waktu jenjang Ciodeng disetarakan dengan Zonasi Blow berada Pada N19.
Gambar 2.51 Proses pembentukan satuan tuf bentang pada kala miosen akhir - pliosen
Pada Kala miosen akhir - pliosen setelah terbentuk Satuan tuf bentang pada daerah penelitian mulai mengalami proses tektonik yang disebabkan oleh proses subduksi sehingga yang mulanya cekungan mulai mengalami susut laut sehingga menghasilkan proses pengendapan tidak selaras, dari hasil interpretasi kelurusan dan data lapangan menunjukan dominasi pola sumatra yang berarah baratlaut- tenggara. Proses tektonik tersebut menghasilkan sesar mendatar mengkanan dan sesar turun. Proses vulkanisme pada kala ini mulai terbentuk sehingga menghasilan endapan berupa satuan breksi andesit beser
Gambar 2.52 Proses pembentukan satuan Breksi andesit Beser dan fase stuktur sesar pada Kala miosen akhir - pliosen
Pada kala pliosen proses pengendapan terhenti akibat dari proses tektonik dan menyebabkan adanya tidak selaras. Pada kala Holosen lingkungan mulai menjadi darat dengan terbentuknya sungai, pada sungai tersebut mulai membentuk endapan berupa endapan pasir sampai bongkah dengan morfologi fluvial.
Gambar 2.53 Proses pembentukan satuan Endapan pasir – bongkah pada kala Holosen
Geologi Lingkungan
Perencanaan dengan tinjauan geologi lingkungan akan membantu dalam pemanfaatan lingkungan se-optimal mungkin dan membantu mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin pengaruh negatif dari pemanfaatan lingkungan. Didalam usaha peningkatan potensi yang dimiliki daerah Gelar Anyar dan sekitarnya, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat khususnya yang berkaitan dengan potensi geologi yang berhubungan dengan lingkungan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi sumberdaya geologi yang ada.
Pembahasan mengenai masalah geologi lingkungan pada daerah penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu: sesumber yang bersifat positif dan bencana alam yang bersifat negatif.
Sesumber
Sesumber merupakan sesuatu yang ada di alam dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan, sesumber pada daerah penelitian yakni: sumberdaya tanah, sumberdaya air dan sumberdaya bahan galian.
Sumber Daya Tanah
Didalam pemanfaatan tanah pada daerah penelitian tergantung pada jenis litologi dan kondisi morfologinya. Pada topografi curam cenderung dimanfaatkan sebagai hutan reklamasi dan hutan produksi dengan vegetasi berupa persawahan dan perkebunan teh, lalu sebagian dibuat juga terasering.
Sumber Daya Air
Air merupakan komponen sumber kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan makhluk hidup. Bagi masyarakat di daerah penelitian, air merupakan kebutuhan primer dalam mendukung aktifitas sehari-hari. untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti : minum, memasak, mandi, mencuci dan digunakan juga sebagai kebutuhan lain seperti membuat penampungan dan bendungan untuk mengairi sawah dan juga untuk memandikan hewan ternaknya. Sumber daya air di daerah penelitian dapat dijumpai berupa air bawah permukaan dan air permukaan.
Gambar 2.54 Kenampakan sungai Ci-Jampang pada desa Gelar Anyar pada lp17 arah foto ke arah baratdaya
Bencana Alam
Bencana alam adalah suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam, manusia atau duanya. Jika batas kesetimbangan dalam ekosistem di alam telah dilampaui, dapat menimbulkan suatu kerugian bagi makhluk hidup di alam tersebut terutama bagi manusia, seperti : korban jiwa, harta benda, kerusakan sarana prasarana dan kerusakan lingkungan, sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap tatanan kehidupan dan penghidupan baik hewan.
Gambar 2.55 Kenampakan gerakan Tanah pada satuan breksi andesit beser pada Lp 79 arah foto ke tenggara
Gambar 2.56 Kenampakan gerakan tanah pada satuan tuf kasar koleberes pada Lp 32 arah foto ke arah barat.
Pengembangan Wilayah
 Dengan melihat kondisi geologi daerah penelitian dan sosial ekonomi penduduk setempat secara umum terdiri dari masyarakat petani maka bila pengembangan wilayah pada daerah penelitian dititik beratkan pada sektor pertanian/perkebunan. Pada daerah yang topografinya relatif lebih tinggi, digunakan sebagai areal penghijauan/hutan reklamasi seperti penanaman pohon pinus dan sengon. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan pada daerah ini ketika musim kemarau akan kesulitan mencari air untuk pengairan. Sedangkan pada daerah dengan topografi relatif lebih rendah, dikembangkan untuk areal pemukiman, pertanian, dan peternakan guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk sekitar. Pada sebagian daerah penelitian masyarakat banyak mengandalkan mata air untuk memenuhi kebututuhan air, yang debitnya cenderung turun pada musim kemarau, oleh karena itu hendaknya membuat masyarakat sadar dan mulai membangun bak penampungan yang berguna untuk menampung air untuk kebutuhan sehari - hari maupun kebutuhan diwaktu musim kemarau datang. Pengembangan di sektor wisata dapat dikembangkan terutama sektor wisata perkebunan antara lain pemetikan pucuk teh. Pengembangan di sektor wisata ini dapat dilakukan dengan manajemen pengelolaan secara maksimal misalnya dibuat gerbang tiket masuk, penambahan area rekreasi, wisata air atau olah raga. Hal tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk pengembangan daerah sekitar.

 Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya

JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LINk DIBAWAH INI


CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "GEOLOGI DAERAH GELAR ANYAR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel