GEOLOGI DAERAH KARANGKAMIRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LANGKAPLANCAR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI JAWA BARAT
GEOLOGI DAERAH KARANGKAMIRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LANGKAPLANCAR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI
JAWA BARAT
Penelitian ini dilakukan
oleh :
1.
Nama : Haidir Ali, S.T.
2.
Alumni :
STTNAS Yogyakarta
3.
Koordinat : X : 217900 –
223900 me dan Y : 9161700 – 9170700 mN
4.
Tahun :
2017
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Kajian rinci
interpretasi kondisi geologi Desa Karangkamiri
dan sekitarnya, Kecamatan Langkaplancar,
Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat dilakukan setelah
melakukan pemetaan geologi rinci (detail
geologycal mapping). Interpretasi kondisi geologi daerah penelitian
meliputi berbagai aspek yaitu aspek geomorfologi, aspek stratigrafi, aspek
struktur geologi, aspek sejarah geologi dan juga aspek geologi tata lingkungan
yang berkembang pada daerah penelitian. Hasil dari kajian ini merupakan
interpretasi komprehensif dari berbagai parameter identifikasi yang dilakukan
selama proses pemetaan rinci di lapangan dan juga didukung oleh analisis
laboratorium baik itu analisis petrografi maupun analisis paleontologi.
4.1.
Geomorfologi Daerah Penelitian
Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan
geomorfologi pada daerah penelitian terdiri atas satuan geomorfologi, pola
pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis) dan stadia daerah.
4.1.1 Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian
ditentukan melalui analisis peta topografi dengan melihat pola-pola kontur yang
mencerminkan bentuk bentang alam (topografi). Hasil dari analisis tersebut akan
mendapatkan dua faktor penting dalam penentuan pembagian satuan bentang alam
yaitu aspek morfometri dan morfogenesis. Morfometri adalah -pembagian satuan
geomorfologi berdasarkan
pada perhitungan kemiringan lereng dan beda tinggi (van Zuidam 1983 dan van
Zuidam-Cancelado, 1979).
Berdasarkan hasil
perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta melihat
morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat dibagi
menjadi dua satuan yaitu:
1. Satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional
(D1)
2. Satuan geomorfologi perbukitan – tersayat
kuat denudasional (D2)
4.1.1.1
Satuan
Geomorfologi Bergelombang Lemah - Kuat Denudasional (D1)
Satuan geomorfologi ini
meliputi 63 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu Desa Karangkamiri,
Desa Cimanggu, Desa Jadimulya, Desa Jadikarya, Desa Bojong Kecamatan Langkaplancar, dan Desa Margajaya Kecamatan Pamarican yang
mempunyai pelamparan relatif barat-timur pada bagian tengah daerah penelitian dan barat laut-barat daya bagian bawah daerah
penelitian. Morfologi pada daerah penelitian ini berupa satuan bergelombang lemah - kuat yang secara morfogenesa terbentuk akibat
proses denudasional cukup dominan yang berlangsung pada daerah penelitian.
Bentukan asal ini ditandai dengan banyaknya soil yang cukup tebal mencirikan proses
pelapukan yang tinggi. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata
- rata ± 12,5 meter dari
permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 12,11 % (Lampiran terikat sayatan lereng ). Litologi penyusun berupa breksi andesit, tuff dan batugamping terumbu. Pola
pengaliran yang berkembang pada satuan geomorfologi ini adalah pola pengaliran dendritic, subdendritik dan radial. Berdasarkan data –data di atas, maka satuan
geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional (D1) (Gambar 4.1). Satuan
geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman, persawah dan kebun karet.
Gambar 4.1
Satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional (D1). Lensa menghadap ke arah N 310o E (Foto diambil dekat LP 11, Desa
Bojong).
4.1.1.2
Satuan
Geomorfologi Perbukitan – Tersayat Kuat Denudasional
(D2)
Satuan geomorfologi
ini meliputi 37 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu Desa Bojong, Desa Cimanggu Desa Jadikarya, Desa Jadimulya, Desa Karangkamiri
Kecamatan Langkaplancar dan Desa Margajaya, Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican yang mempunyai pelamparan relatif utara - selatan pada
bagian tengaara dan
timur laut daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini
berupa perbukitan-tersayat kuat yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses
denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Secara morfometri
satuan ini mempunyai beda tinggi rata -rata ±
36 meter dari permukaan
laut dengan kemiringan lereng ± 40,67 % (Lampiran terikat 2.2 sayatan
lereng). Litologi
penyusun berupa breksi andesit, lava andesit, tuf, batugamping
terumbu, dan batupasir. Pola pengaliran yang
berkembang di satuan geomorfologi ini adalah pola pengaliran dendritic, subdendritik dan radial. Pada satuan geomorfologi
ini memperlihatkan tingkat pelapukan
yang tinggi.
Berdasarkan data –data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam
satuan geomorfologi perbukitan-tersayat kuat
denudasional (D2) (Gambar 4.2). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai
pemukiman dan kebun.
Gambar 4.2
Satuan geomorfologi perbukitan – tersayat kuat denudasional (D2). Lensa
menghadap ke arah N 230o E (Foto diambil di LP 22, Desa Sidamulih).
4.1.2 Pola Pengaliran
Pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan
jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967), pengamatan peta
topografi maupun pengamatan di lapangan dapat dibagi menjadi 3 jenis pola pengaliran. Pembagian jenis pola
pengaliran didasarkan pada pengamatan peta topografi, analisis pola pengaliran
maupun pengamatan lapangan. Tiga pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari pola
pengaliran dendritik, subdendritik, dan radial. (Gambar 4.3)
Gambar 4.3 Peta pola
pengaliran daerah penelitian.
a)
Pola Pengaliran Dendritik
Dendritik, berbentuk
serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-cabang sungai (anak sungai)
berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya
terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian
struktur.
Pola
pengaliran dendritik berbentuk menyerupai cabang-cabang pohon, mencerminkan
resistensi batuan atau homogenitas tanah yang seragam, lapisan horisontal atau
miring landai, kontrol struktur kurang berkembang. Pola pengaliran ini meliputi ± 35 % dari daerah
penelitian. Sungai yang masuk pada pola ini
yaitu merupakan sungai Cihideung
dan sungai Cihanyawar.
Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi bergelombang perbukitan - tersayat kuat
denudasional (D2), dan geomorfologi
bergelombang lemah – kuat denudesional (D1) di daerah Bojing, Margajaya, dan Sidamulih.
Pola pengaliran ini berkembang di satuan Tuff breksi andesit dan lava andesit Jampang, dan
batugamping Kalipucang.
b)
Pola Pengaliran Sub dendritic
Pola pengaliran dendritik berbentuk
menyerupai cabang-cabang pohon, mencerminkan resistensi batuan atau
homogenitas, lapisan horisontal atau miring landai, kontrol struktur kurang
berkembang. Pola pengaliran subdendritik adalah ubahan dari pola dendritik,
dimana peran dari struktur geologi sudah mengontrol pola ini meskipun sangat
kecil, serta topografi yang lebih bergelombang dibandingkan pada pola dasar.
Pola pengaliran ini menginterpretasikan bahwa di
daerah ini telah mengalami
ubahan (deformasi) dari pola aliran dendritic
yang sudah mulai berkembang proses-proses struktur. Pola
pengaliran ini meliputi ± 47
% dari daerah penelitian. Sungai yang masuk
pada pola ini yaitu merupakan sungai Cisitu, sungai Cilutung, sungai Cikoranji, dan sungai Cicepak
Pola pengaliran ini berkembang di dan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudesional
(D1),
dan satuan geomorfologi perbukitan – tersayat kuat denudasional (D2)
di daerah Jadikarya,
Jadimulya, dan Karangkamiri. Pola pengaliran ini berkembang di satuan Breksi Andesit, tuff Jampang, batupasir Pamutuan, dan batugamping terumbu
Kalipucang.
c)
Pola Pengaliran Radial
Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang
memancar keluar dari satu titik pusat berasosiasi pada kubah, tubuh gunungapi
dan pada tipe-tipe bukit kerucut/conical hills yang terisolasi.
Pola pengaliran ini diinterpretasikan bahwa
daerah ini merupakan tinggian atau bukit sehingga terlihat pola aliran yang
memancar dari satu titik pusat bukit. Pola pengaliran ini meliputi
± 17
% dari daerah penelitian.
Sungai yang masuk pada pola ini yaitu sungai Cidalima. Pola
pengaliran ini berkembang di dan
geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudesional
(D1),
dan satuan geomorfologi perbukitan – tersayat kuat denudasional (D2) di daerah Cimanggu dan Karangkamiri. Pola
pengaliran ini berkembang di satuan Breksi
Andesit, dan tuf Jampang.
4.1.3.
Proses Geomorfologi
Proses geomorfologi adalah semua
proses fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan perubahan kepada bentuk
bumi. Proses fisika ada yang berasal
dari dalam bumi (seperti penerobosan batuan
beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar bumi
(seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit ke
permukaan bumi). Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst yang melibatkan berbagai
proses kimiawi. Proses biologi
seperti aktifitas hewan dan akar tumbuhan.
Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material
lepas di permukaan bumi. Media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam
lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam
bumi, disebut proses endogen. Media dari
luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).
Bentuk lahan dari proses geomorfologi
dapat berupa bentuklahan yang bersifat membangun (constructional landform) atau
bentuklahan yang bersifat merusak (detsructional
landform). Proses
- proses geomorfologi yang berada pada daerah penelitian yaitu proses eksogen,
yang mana dicirikan oleh proses pelapukan dan erosi yang cukup intensif pada
daerah penelitian. Selain itu, terdapat pula proses endogen seperti
terbentuknya struktur berupa lipatan, dan kemiringan pada batuan.
4.1.4. Stadia Sungai
Stadia sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
tingkat erosi (baik erosi vertikal maupun erosi horisontal), kemiringan lereng,
batuan penyusunnya, kedalaman iklim, aktivitas organisme dan waktu. Pembagian
stadia pada daerah penelitian dilakukan berdasarkan klasifikasi stadia sungai
oleh Thonbury (1969). Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan stadia
sungai dewasa. Stadia sungai dewasa dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, kemiringan
sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai,
erosi kesamping lebih kuat dibanding erosi vertikal (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Kenampakan aliran sungai stadia dewasa dengan sifat erosional lateral , kecepatan aliran berkurang dan mulai terbentuk gosong sungai. Lensa menghadap ke N 260o E (Foto diambil dekat LP33, Desa Jadimulya)
4.1.5.
Stadia Daerah
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat
kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan
bentang alam dan kondisi sungai yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah
penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan morfologi (proses) baik proses
endogen maupun proses eksogen.
Perkembangan stadia daerah pada
dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi
empat, yaitu muda, dewasa, tua dan rejuvenasi (muda kembali). Suatu daerah
dengan stadia muda dapat dicirikan dengan keadaan permukaan yang masih rata,
umumnya sedikit sekali perejangan sungai serta lembahnya sempit dan dangkal.
Daerah berstadia dewasa mempunyai lembah yang besar dan dalam, reliefnya tinggi
serta proses yang dominan adalah erosi apabila proses ini berkembang maka
keadaan permukaan akan semakin rendah, reliefnya lebih rendah serta lembah
sungai lebar dan dangkal. Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara
dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga
memperlihatkan adanya tuf lapuk yang tebal akibat proses denudasional (Gambar
4.5).
Gambar 4.5 Tuf yang mengalami pelapukan akibat proses denudasional. Lensa
menghadap ke N 320o E (Foto diambil dekat LP 36, Desa Cimanggu).
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model
tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia
daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 4.6). Penggolongan stadia daerah ini sebagai data
yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh
terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan
masing-masing tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-proses
geologi, litologi, struktur geologi yang beragam.
Gambar 4.6 Stadia daerah menurut Lobeck (1939)
4.2
Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan geologi
regional lembar Karangnunggal (Supriatna, dkk., 1992) termasuk ke dalam tiga formasi
dari tua ke muda yaitu Formasi
Jampang (tomj), Anggota
Tufa Napalan Formasi Pamutuan (tmpt), dan Formasi Kalipucang
(tmkl). Berdasarkan hasil pemetaan rinci daerah
penelitian dijumpai tiga satuan batuan tak resmi dari tua ke muda yaitu satuan
breksi andesit Jampang, satuan tuf Jampang, satuan batupasir anggota Pamutuan
dan satuan batugamping terumbu Kalipucang. Penamaan satuan batuan tersebut
mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan
litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi
yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya.
4.2.1. Satuan
Batuan Breksi Andesit Jampang
Satuan Batuan Breksi Andesit Jampang merupakan satuan tertua
yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini disusun secara dominan oleh
breksi andesit. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan
ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan
berdasarkan pada geologi regional
juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo
dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan breksi
andesit Jampang.
a.
Penyebaran dan Ketebalan
Satuan breksi andesit Jampang ini menempati ± 35 % dari
luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relatif utara-selatan dengan wilayah yaitu meliputi Kecamatan Langkaplancar, Desa Bojong, Desa Cimanggu, Desa Jadimulya, Desa Karangkamiri
dan kecamatan Pamarican, Desa Margajaya, Desa Sidamulih. Di daerah penelitian satuan ini menempati
satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat (D1) dan satuan geomorfologi
perbukitan-tersayat kuat (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi B – B’, satuan ini mempunyai
ketebalan ± 362.5 meter.
b.
Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun dominan oleh Breksi Andesit dan Lava
Andesit tetapi hanya dijumpai pada lp 15.
1.
Breksi Andesit
Secara megaskopis
memiliki warna segar abu-abu kehitaman,warna lapuk coklat kemerahan, tekstur epiklastik, sortasi buruk, kemas
terbuka, ukuran butir krikil - bongkah struktur masif, fragmen berupa andesit dengan tekstur porfiroafanitik sedangkan
matriks berupa tuf (Gambar 4.7).
Gambar 4.7
Kenampakan
singkapan breksi andesit.
Lensa menghadap ke arah N 193o E (Foto diambil di LP 14, Desa Bojong)
Pada pengamatan
mikroskopis dengan PPL memperlihatkan
warna coklat muda-coklat muda kekuningan, Pada XPL warna hitam keabu-abuan,
sampel batuan memiliki tekstur porfiritik, dengan tingkat kristalisasi
magma hipokristalin, inequigranular, bentuk
mineral subhedral tekstur khusus
trakitik dengan fenokris 74% dengan ukuran kristal >0,3 mm. Fenokris terdiri
dari sanidin 3%, plagioklas 65%,
mineral opak 4%, hornblende 2% Masa dasar 26% dengan ukuran
kristal < 0,3 mm. yang terdiri dari mikrokristal plagioklas 8%, gelas 18%. Nama petrografi andesite (Streckeisen, 1976). Matrik
berupa batuan piroklastik pada (PPL) batuan memperlihatkan warna pucat coklat
kekuningan dan di (XPL) terlihat berwarna abu-abu kehitaman. Sample batuan ini
memiliki tekstur klastika, ukuran butir 1-0,25 mm, sortasi buruk, bentuk butir sub
angular-sub rounded, kemas tertutup komposisi kuarsa 11%, mineral opak 9%,
masa dasar 80 %. Nama petrografi lithic tuff
(Schmid,1981).
Tabel 4.1. Kolom
Litologi Breksi Andesit Jampang (tidak pada skala sebenarnya)
2. Lava Andesit
Lava Aandesit memiliki kenampakan
dilapangan warna
segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kekuningan, memiliki tekstur
porfiroafanitik, struktur vesikuler (Gambar 4.8).
Secara
mikroskopis dengan pengamatan PPL Lava Andesit berwarna
putih kekuningan, pengamatan XPL berwarna coklat kehitaman. Sampel batuan
memiliki tekstur porfiritik, dengan tingkat kristalisasi magma hipokristalin, inequigranular,
bentuk mineral subhedral, komposisi fenokris 57% terdiri dari sanidin 3%, plagioklas 46%, mineral opak 5%, kuarsa 3%, dan masa dasar 43% dengan nama andesite (Streickensen, 1976).
Gambar 4.8
Kenampakan
singkapan lava andesit. Lensa
menghadap ke arah N 15o E (Foto diambil di LP 15, Desa Bojong)
Tabel 4.2. Kolom
Litologi Lava Andesit Jampang (tidak pada skala
sebenarnya)
c.
Penentuan Umur dan Lingkungan
Pengendapan
Penentuan umur dan lingkungan pengendapan dengan
tidak ditemukannya fosil pada satuan ini maka penarikan umur menggunakan umur
regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat
pada satuan ini ciri fisik dengan batuan pada stratigrafi regional. Menurut
Supriatna dkk (1992), maka satuan breksi andesit ini merupakan bagian dari
Formasi Jampang yang berumur Oligosen-Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan
laut dalam hubungan satuan ini dengan satuan dibawahnya tidak diketahui sedangkan hubungan dengan tuf diatasnya adalah selaras.
4.2.2 Satuan Batuan Tuf Jampang
Satuan Batuan Tuf Jampang merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan breksi Jampang. Satuan ini disusun
secara dominan oleh tuf, umumnya dapat disebandingkan dengan Formasi Jampang, sehingga berdasarkan pada
litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni,
1996), maka satuan ini diberi nama satuan Tuf Jampang. Berdasarkan ciri fisik
satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak
resmi, dan berdasarkan pada geologi regional.
a.
Penyebaran dan
Ketebalan
Satuan
Batuan Tuf Jampang ini menempati ± 45 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai
penyebaran relatif pada bagian barat-timur
daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan
Langkaplancar Desa Cimanggu,Desa Bojong,
Desa Jadikarya, dan Desa Karangkamiri. Di daerah
penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah- kuat (D1). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A-A’, satuan ini mempunyai
ketebalan ± 175 meter.
b.
Litologi Penyusun
Satuan Batuan
Tuf
Jampang ini secara dominan disusun
oleh tuf dengan warna segar abu-abu cerah
dan warna lapuk abu-abu coklat, tekstur klastik, sortasi baik,
kemas tertutup, ukuran butir halus sampai kasar, bentuk butir meruncing, struktur berlapisan, komposisi gelas
dan kristal. Umumnya satuan tuf Jampang ini memiliki kemiringan berarah N145o E. Satuan ini umumnya telah mengalami pelapukan, sehingga
hanya sedikit singkapan yang masih segar. (Gambar 4.9)
Gambar 4.9 Kenampakan
singkapan Tuf Jampang. Lensa menghadap ke arah N 105o E (Foto diambil di LP 3, Desa Karangkamiri)
Pengamatan
miskroskopis, Pada pengamatan PPL batuan memperlihatkan warna kuning kemerahan
dan pada XPL terlihat berwarna relatif coklat kehitaman. Sample batuan ini
memiliki tekstur klastika, ukuran butir 1-0,25 mm, sortasi baik, derajat
kebundaran sub angular sampai sub rounded, dan dengan komposisi feldspar 4%, kuarsa 3%,opak 6%, dan
masa dasar 87%, dengan ukuran
<0,25 mm. Nama petrografi vitrik tuff (
Schmid, 1981).
Tabel 4.3. Kolom Litologi Tuf Jampang (tidak pada
skala sebenarnya)
c.
Penentuan Umur dan Lingkungan
Pengendapan
Penentuan umur dan
lingkungan pengendapan dengan tidak
ditemukannya fosil pada satuan ini maka penarikan umur menggunakan umur
regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan
di lapangan yang terdapat pada satuan ini terdapat ciri fisik batuan pada statigrafi
regional yang terdapat pada Peta Geologi Regional Lembar Karangnunggal
(Supriatna, dkk, 1992) .maka satuan tuf ini merupakan bagian dari Formasi Jampang yang
berumur Miosen Awal dan hubungan satuan Tuf Jampang ini dengan satuan yang
diatasnya ialah selaras.
4.2.3
Satuan
Batuan Batupasir
Pamutuan
Satuan Batuan Batupasir Pamutuan
merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan tuf Jampang. Satuan ini disusun
secara dominan oleh batupasir, umumnya
dapat disebandingkan dengan anggota tuf napalan Formasi Pamutuan, sehingga
berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo
dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batupasir Pamutuan Berdasarkan
ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara
penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional.
a.
Penyebaran dan Ketebalan
Satuan
Batuan Batupasir Tufan Pamutuan ini menempati ± 15 % dari luas daerah
penelitian dan mempunyai penyebaran relatif pada bagian tenggara daerah
penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Langkaplancar Desa Jadikarya, dan Desa
Jadimulya. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan
geomorfologi perbukitan tersayat - kuat (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang B-B’, satuan
ini mempunyai ketebalan ± 150 meter.
b.
Litologi
Penyusun
Satuan
Batupasir
Pamutuan ini secara dominan disusun oleh batupasir dengan warna segar
abu-abu cerah hingga kekuningan dan
warna lapuk abu-abu-abu
kecoklatan tekstur klastik,
sortasi baik, kemas tertutup, dengan struktur berlapis. Umumnya satuan batupasir Pamutuan ini memiliki kemiringan
berarah N 150o
E. Satuan ini sebagian telah mengalami pelapukan sehingga hanya sedikit
dijumpai singkapan yang masih segar. (Gambar
4.10)
Gambar 4.10 Kenampakan
singkapan Batupasir Pamutuan.
Lensa menghadap ke arah N 120o
E
(Foto diambil di LP 31, Desa Jadikarya)
Secara mikroskipis pada pengamatan PPL memperlihatkan warna putih
pucat sampai kekuningan, pada pandangan XPL berwarna coklat kehitaman, tekstur
klastik, bentuk butir subrounded,
kemas terbuka, porositas baik interglanular, komposisi feldspar 62%, mineral opaq 7% , mineral lempung
16%,kuarsa 15% dinamakan feldspathic wacke (pettijohn,1975).
Tabel 4.4. Kolom Litologi Batupasir Pamutuan
(tidak pada skala sebenarnya)
c.
Penentuan Umur dan Lingkungan
Pengendapan
Penentuan umur dan
lingkungan pengendapan dengan tidak
ditemukannya fosil pada satuan ini maka penarikan umur menggunakan umur
regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan
di lapangan yang terdapat pada satuan ini terdapat ciri fisik batuan pada
stratigrafi regional yang terdapat pada Peta Geologi Regional Lembar
Karangnunggal (Supriatna, dkk, 1992) .maka satuan batupasir ini merupakan bagian
dari Formasi Pamutuan yang berumur Miosen Tengah dan hubungan satuan batupasir
Pamutuan ini dengan satuan diatasnya ialah tidak selaras (Gambar 4.11).
Gambar 4.11. Kenampakan kontak Satuan Breksi
Andesit Jampang dengan Batupasir Pamutuan berada pada Desa Jadimulya LP 82
(lensa mengarah ke N 260 E.
4.2.4 Satuan Batuan Batugamping
Terumbu Kalipucang
Satuan Batugamping Terumbu Kalipucang
merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan batupasir Pamutuan.
Satuan ini disusun secara dominan oleh oleh
batugamping terumbu, umumnya dapat dikorelasikan dengan Formasi
Kalipucang, sehingga berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan
batugamping terumbu Kalipucang. Berdasarkan ciri
fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan
tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional.
a.
Penyebaran dan Ketebalan
Satuan
Batugamping Terumbu Kalipucang ini menempati ± 5 % dari luas daerah penelitian
dan mempunyai penyebaran relatif pada bagian timur laut dan timur daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Langkaplancar Desa Bojong, Desa
Jadikarya dan Kecamatan Pamarican Desa Sidamulih. Di
daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah -
kuat (D1) dan satuan geomorfologi perbukitan tersayat-kuat. Berdasarkan pengukuran
ketebalan di penampang C-C’, satuan ini mempunyai ketebalan ± 137.5 meter.
b.
Litologi
Penyusun
Satuan Batugamping Terumbu Kalipucang ini
secara dominan disusun oleh batugamping
terumbu
dengan warna segar putih
kekuningan dan warna lapuk hitam kecoklatan, tekstur non klastik, sortasi buruk, kemas terbuka,
bentuk butir agak membulat sampai membulat, struktur masif, breaksi kuat
dengan HCL, bagian atas berkembang struktur khas batugamping berupa lapies,
tersusun oleh komposisi kalsit,
mineral karbonat,
fosil foram dan beberapa telah mengalami kristalisasi.
(Gambar 4.12)
Gambar
4.12 Kenampakan singkapan Batugamping Terumbu Kalipucang. Lensa menghadap ke arah N 95o E (Foto diambil di LP 18,
Desa Bojong)
Secara mikroskopis pada pengamatan PPL memperlihatkan
warna putih keabu-abuan sampai kecoklatan, pada pengamatan XPL memiliki warna
merah kehitaman ukuran butir pasir
sedang hingga kasar, bentuk butir sub
rounded-rounde kemas terbuka
pemilahan buruk. Batuan ini tersusun oleh fosil 48%, kalsit 19%,micrite
25%,rongga 8%. Nama petrografi batuan packstone
(Dunham, 1962).
Tabel 4.5. Kolom Litologi Batugamping Terumbu Kalipucang tidak pada skala sebenarnya
c.
Penentuan Umur dan Lingkungan
Pengendapan
Penentuan umur pada satuan ini berdasarkan
analisa kandungan fosil foraminifera Plangtonik pada batugamping terumbu, berdasarkan analisa tersebut dapat
diketahui satuan Batugamping Terumbu Kalipucang mempunyai kisaran umur N12-N14
(Miosen Tengah) didasarkan oleh hadirnya
fosil Orbulina universa,
Globorotalia fohsi, Globorotalia mayeri(lapisan bawah), Globorotalia mayeri, Globorotalia foshi,
Globigerinoides Imaturus, dan Orbulina universa (lapisan atas), Globorotalia obesa, Globorotalia siakensis,
Globorotalia menardii( lapisan bawah)
(Tabel 4.6).
Tabel 4.6. Kisaran umur foraminifera
plangtonik pada satuan batugamping terumbu Kalipucang.
Penentuan lingkungan pengendapan
menggunakan kandungan fosil foraminifera bentonik pada batugamping terumbu pada lokasi
pengamatan. Batugamping Terumbu Kalipucang diendapkan pada lingkungan neritik
dalam sampai neritik tengah. Data tersebut diperjelas dengan hasil analisa fosil
benthonik bahwa satuan ini di endapkan di kedalaman 0-100 meter (Bandy, 1967),
didasarkan atas hadirnya fosil Textularia
globulosa, Amphistegina gobbosa, Elphidium advenum (lapisan bawah), Elphidium advenum, Quiquelculna venusta,
Textularia globulosa (lapisan tengah), Textularia
globosa, Quiquelculna venusta, Amphistegina lessonii (lapisan atas). Hasil
dari fosil bentonik bisa disimpulkan bahwa pada batugamping bagian bawah
pengendapannya neritik dalam sampai neritik tengah dan ketika pada batugamping
tengah terjadi penurunan muka air laut ke neritik dalam dan pada batugamping
bagian atas lingkungan pengendapan berada pada neritik dalam, maka dapat
disimpulkan bahwa satuan Batugamping
Terumbu Kalipucang lingkungan pengendapannya dari batugamping bawah sampai
batugamping atas mengalami penurunan muka air laut (Tabel 4.7) .
Tabel 4.7. Lingkungan pengendapan pada
satuan batugamping terumbu Kalipucang berdasarkan zonas Bandy, (1967).
Hubungan stratigrafi
berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil analisa foraminifera plangtonik yang menunjukan satuan ini berumur
N12-N14 (Miosen Tengah). Hubungan Satuan Batugamping Terumbu Kalipucang dengan
satuan di bawahnya tidak selaras ini dikarenakan umur dan litologi batuan
penyusunnya berbeda dengan batuan dibawahnya berbeda.
4.2.5. Korelasi Stratigrafi Regional dan Stratigrafi Lokal Daerah
Penelitian
Hasil dari analisis secara keselurusan pada
satuan batuan yang terdapat pada daerah penelitian maka, dapat dikorelasikan
antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional (tabel 4.8).
Tabel 4.8. Kolom stratigrafi regional (Supriatna dkk,
1992) dan stratigrafi lokal daerah penelitian
Silahkan download filenya
dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LING DIBAWAH INI
CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )
0 Response to " GEOLOGI DAERAH KARANGKAMIRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN LANGKAPLANCAR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI JAWA BARAT"
Post a Comment