-->

GEOLOGI DAERAH KERTAJAYA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN CIGUGUR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH KERTAJAYA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN CIGUGUR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI JAWA BARAT


Penelitian ini dilakukan oleh :
1.         Nama            : Ardianton, S.T.
2.         Alumni         : STTNAS Yogyakarta
3.           Koordinat   : 108° 22' 00" BT - 108° 25' 00" BT dan 7° 34' 30" LS -7° 39 55" LS LS
4.         Tahun           : 2017




4.1.          Interpretasi Geomorfologi
Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah penelitian berupa : satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis), dan stadia daerah. Masing-masing aspek dijelaskan sebagai berikut:
4.1.1       Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur yang mencerminkan bentuk bentang alam (topografi). Dalam pembagian tersebut memperhatikan kerapatan dan kerenggangan kontur serta pola-pola kontur yang khas seperti pola melingkar dan sebagainya. Analisis pembagian satuan bentang alam tersebut didasarkan oleh dua aspek penting yaitu aspek morfometri dan morfogenesis.Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta melihat morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi :
1.     Satuan geomorfologi Denudational hills and mountain (D3)
2.     Satuan geomorfologi Residual hills (D4)
3.     Satuan geomorfologi Karst Slopes and Hills (K2)
Satuan Geomorfologi Denudational hills and mountain (D3)
Satuan geomorfologi ini meliputi 32,5 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu pada Desa Langkaplancar Desa Pagerbumi, Desa Cikawung, Desa Cikulabet, Dwsa Cimandala dan Desa Cimpaka yang mempunyai pelamparan relatif timur laut - barat daya pada bagian barat laut daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa Denudational slopes and hills  yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata -rata ±  56,52 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 39,82 % (Lampiran terikat 1.2 sayatan lereng hal 98). Litologi penyusun berupa tuff dan batupasir karbonatan. Pola pengaliran yang berkembang di satuan geomorfologi ini adalah pola pengaliran terllis?. Berdasarkan data –data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan Denudational hills and mountain (D3) (Gambar 4.1). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman dan kebun.
Gambar 4.1 Satuan geomorfologi Denudational hills and mountain (D3). Lensa menghadap ke arah barat (Foto diambil di LP 43, Desa Cikulabet).
Satuan Geomorfologi Residual hills ( (D4)
Satuan geomorfologi ini meliputi ± 43,78 % dari seluruh daerah penelitian yaitu Desa Kertajaya, Desa Bangunsari, dan Desa Tamansari, Desa Cikuya, Desa Cimanggu, Desa Cibunggur, Desa Psarimacan, Desa Cikapinis, dan Desa Ciguha` yang mempunyai pelamparan relatif timur laut - barat daya pada bagian timur laut daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa morfologi perbukitan yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata-rata ± 36,41 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 36,5 % (Lampiran terikat 1.2 sayatan lereng hal 107). Litologi penyusun berupa batupasir karbonatan dan tuff dengan ukuran butir halus – kasar. Pada satuan geomorfologi ini memperlihatkan  tingkat pelapukan yang tinggi. Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi Residual hills (D4) (Gambar 4.2). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman dan kebun.
Gambar 4.2  Satuan geomorfologi  Residual hills (D4). Lensa menghadap ke arah Timur Laut (Foto diambil di LP 18, Desa Kertajaya).
Satuan Geomorfologi Karst Slopes and Hills (K2)
Satuan geomorfologi ini meliputi 23,72 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu Kecamatan Cigugur Desa Bunisari, Desa Cigugur, Desa Cipaku, Desa Cinamo dan Desa Cisantri yang mempunyai pelamparan relatif bagian tenggara dari luas peta daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa Karst slopes and hills yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses pengendapan laut yang berlangsung pada daerah penelitian. Bentukan ini ditandai oleh adanya kars. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata - rata ± 32,95 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 56,93 % (Lampiran terikat 1.2 sayatan lereng hal 92). Litologi penyusun berupa batugamping berlapis dan batu gamping masif. Pola pengaliran yang berkembang di satuan geomorfologi ini adalah pola pengaliran Dendritik. Berdasarkan data –data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi Karst slopes and hills (K2) (Gambar 4.3). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman,  kebun dan sawah.
Gambar 4.3 Satuan geomorfologi karst slopes and hills (K2). Lensa menghadap ke arah Barat (Foto diambil di LP 6 dan 7 Desa Kertajaya)
4.1.2       Pola Pengaliran
Pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967), pengamatan peta topografi maupun pengamatan di lapangan dapat dibagi menjadi 2 jenis pola pengaliran. Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan pada pengamatan peta topografi, analisis pola pengaliran maupun pengamatan lapangan (Gambar 4.4). Dua pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari  pola pengaliran dendritic, dan subdendritic.
Gambar 4.4 Peta pola pengaliran daerah penelitian.
1.               Pola Pengaliran dendritic
Dendritic, berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur. Contoh pada batuan beku atau lapisan horisontal.
Pola pengaliran dendritik berbentuk menyerupai cabang-cabang pohon, mencerminkan resistensi batuan atau homogenitas tanah yang seragam, lapisan horisontal atau miring landai, kontrol struktur kurang berkembang. Pola pengaliran ini meliputi ± 70 % dari daerah penelitian. Sungai yang masuk pada pola ini yaitu merupakan sungai Pasirbenda. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi denudational hills and mountain (D3), geomorfologi residual hills (D4), dan geomorfologi karst slopes and hills (K2) di daerah Pagerbumi, Cikulabet, Cibunggur, Cimanggu,dan Kertajaya. Pola pengaliran ini berkembang di satuan Tuff Jampang, Batupasir Karbonat Bentang.
2.               Pola Pengaliran Subdendritic
Pola pengaliran dendritic berbentuk menyerupai cabang-cabang pohon, mencerminkan resistensi batuan atau homogenitas tanah yang seragam, lapisan horisontal atau miring landai, kontrol struktur kurang berkembang. Pola pengaliran subdendritik adalah ubahan dari pola dendritik, dimana peran dari struktur geologi sudah mengontrol pola ini meskipun sangat kecil, serta topografi yang lebih bergelombang dibandingkan pada pola dasar (Howard, 1967, dalam Soeroto, 2012).
Pola pengaliran ini menginterpretasikan bahwa di daerah ini telah mengalami ubahan (deformasi) dari pola aliran dendritic yang sudah mulai berkembang proses-proses struktur. Pola pengaliran ini meliputi ± 30 % dari daerah penelitian. Sungai yang masuk pada pola ini yaitu merupakan sungai Pasirbenda. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi denudational hills and mountain (D3), dan geomorfologi residual hills (D4) di daerah Langkaplancar, dan Ciguha. Pola pengaliran ini berkembang di satuan Tuff Jampang, dan Batupasir Karbonat Bentang.
4.1.3.     Proses Geomorfologi
Proses geomorfologi adalah semua proses fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan perubahan kepada bentuk bumi. Proses fisika ada yang berasal dari dalam bumi (seperti penerobosan batuan beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar bumi (seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit ke permukaan bumi). Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst yang melibatkan berbagai proses kimiawi. Proses biologi seperti aktifitas hewan dan akar tumbuhan.
Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen. Media yang datang dari  luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).
Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional landform). Proses dan media dapat menghasilkan bentuklahan berbeda di satu kawasan dengan kawasan lainnya, contoh: erosi oleh aliran sungai menghasilkan lembah (pengrusakan) dan juga dapat mewujudkan delta (membangun).
Proses - proses geomorfologi yang berada pada daerah penelitian yaitu proses eksogen, yang mana dicirikan oleh proses pelapukan dan erosi yang cukup intensif pada daerah penelitian. Selain itu, terdapat pula proses endogen seperti terbentuknya struktur berupa kekar dan terbentuknya kemiringan pada batuan.
4.1.4.     Stadia Sungai
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation). Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan.
Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan stadia sungai dewasa. Stadia sungai dewasa dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat, erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam, tidak terdapat dataran banjir, kemiringan sungai curam, bentuk sungai relatif lurus dan kenampakan batuan dasar. Stadia sungai dewasa dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, kemiringan sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat dibanding erosi vertical (Gambar 4.5)
Gambar 4.5 Kenampakan aliran sungai stadia dewasa dengan sifat erosional lateral , kecepatan aliran berkurang dan mulai terbentuk gosong sungai,di ambil LP15 Desa Kertajaya        
4.1.5.     Stadia Daerah
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, dan morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses eksogen.
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi). Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil yang tebal akibat proses denudasional (Gambar 4.6).
Gambar 4.6 Soil tebal akibat proses denudasional. Lensa menghadap ke arah tenggara (Foto diambil dekat LP 36, Desa Pagerbumi).
Gambar 4.7 Stadia daerah menurut Lobeck (1939)
Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa. Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi, struktur geologi yang beragam.

4.2            Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan geologi regional lembar Karangnunggal (S.Supriatna dan dkk, 1992) termasuk ke dalam 3 formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Jampang (Tomj), Formasi Pamutuan (Tmpl), dan Formasi Bentang (Tmb).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan (reconnaissance) dijumpai variasi litologi dari tua ke muda yaitu satuan tuff Jampang, satuan batugamping masif Bentang, satuan batugamping berlapis Bentang, dan satuan batupasir karbonatan Bentang. Penamaan satuan batuan tersebut mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya.
4.2.1.     Satuan Tuff Jampang
Satuan Tuff Jampang merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini disusun secara dominan oleh tuff. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan tuff Jampang.
4.2.1.1  Penyebaran dan Ketebalan
Satuan tuff Jampang ini menempati ± 20% dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relatif timur-barat dengan wilayah  yaitu meliputi Kecamatan Cigugur Desa Cikapinis , Desa Cikulabet dan Desa Kertajaya. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi  residual hills  (D4). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi AB, satuan ini mempunyai ketebalan ± 250 meter
4.2.1.2  Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun secara dominan oleh tuff dengan warna putih kecoklatan dengan warna lapuk coklat kemerahan, tekstur piroklastik,struktur berlapis, komposisi gelas, kedudukan batuan N120 E / 13.
Gambar 4.8 Kenampakan singkapan tuff Jampang. Lensa menghadap ke arah selatan (Foto diambil di LP 24, Desa Ciguha)
             Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisis petrografi pada sayatan tipis Pengamatan dilakukan dengan skala pembesaran 4/0.1, pada nikol sejajar memiliki warna abu-abu pucat, sedangkan pada pengamatan nikol silang abu – abu kecoklatan, tekstur khusus trakitik, tersusun oleh mineral glass, opaq, dan vein yang terisi mineral kalsit dan fosil. Fenokris yang tersusun oleh minereal Glass (65%), Kalsit (55%), dan mineral opak (10%), hasil dari pengamatan petrografi didapatkan nama batuan, yaitu Tuff gelas (Pettijohn, 1975) (Lampiran analisis petrografi, halaman 134).


4.2.1.3  Umur
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan umur pada satuan Tuff Jampang ini dilakukan oleh peneliti terdahulu serta mengacu pada stratigrafi regional yang terdapat pada peta geologi lembar Karangnunggal (S.Supriatna dkk, 1992) ini merupakan bagian dari Formasi Jampang yang berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal (N8).
4.2.1.4 Penentuan Lingkungan Pengendapan
Identifikasi lingkungan pengendapan satuan Tuff Jampang ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan analisis paleontologi, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil, sama halnya dengan analisis terhadap umur relatif dari satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan lava andesit Jampang ini dilakukan berdasarkan pada data geologi regional yang menyatakan bahwa satuan tuff Jampang ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat.
4.1.2.1.5 Hubungan stratigrafi
Hubungan satuan tuff Jampang ini terhadap satuan batuan yang berada di bawahnya tidak diketahui dikarenakan tidak diketemukan kontak dengan satuan yang berada di bawahnya.
4.2.2        Satuan Batupasir Karbonat Pamutuan
Satuan ini tersusun atas batupasir karbonatan yang  berwarna putih keabuan, dengan lapukan berwarna coklat kekuningan, umumnya bertekstur klastika dengan material penyusun ukuran pasir kasar yang tersortasi buruk, porositas sedang, komposisi mineral karbonatan dan kandungan fosil moluska maupun formanifera, beberapa menunjukkan kenampakan rekristalisasi, struktur pengendapan berlapis dan masif. Pada satuan ini terdapat juga batupasir tufan berwarna putih kecoklatan dengan abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir halus yang tersortasi sangat baik, porositas baik dengan kelolosan air baik, struktur pengendapan  berlapis.
4.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batupasir karbonatan Pamutuan ini  menempati ± 51% dari luas daerah penelitian dan mempunyai pelamparan relatif timur-barat pada bagian utara dan selatan daerah penelitian, yang meliputi daerah Kecamatan Cigugur Desa Cikulabet, Desa Kertajaya dan Desa Cimanggu. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi residual Hills (D4). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 500 meter.
4.2.2.2  Litologi Penyusun
 Satuan ini tersusun atas batupasir karbonatan yang  berwarna putih keabuan, dengan lapukan berwarna coklat kekuningan, umumnya bertekstur klastika dengan material penyusun ukuran pasir kasar yang tersortasi buruk, porositas sedang, komposisi mineral karbonatan, beberapa menunjukkan kenampakan rekristalisasi, struktur pengendapan berlapis dan masif. Pada satuan ini terdapat juga batupasir tufan berwarna putih kecoklatan dengan abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir halus yang tersortasi sangat baik, porositas baik dengan kelolosan air baik. (Gambar 4.9)
Gambar 4.9 Kenampakan singkapan batupasir karbonatan arah poto menghadap ke Barat  (Foto diambil di LP 12, Desa Kertajaya)
Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisis petrografi pada sayatan tipis Pengamatan dilakukan dengan skala pembesaran 4/0.1, Sayatan batuan sedimen dengan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, didukung oleh grain supported serta hadir juga lumpur (mudsupported) berukuran lempung  (< 0.01 -0,08)mm, pemilihan sedang, komposisi kuarsa, feldspar karbonat, mineral opak lumpur karbonat dan mineral lempung. Fenokris yang tersusun oleh minereal Kuarsa (33%), Feldspar (19%), Larbonat (35%), mineral opak (1%), dam mineral Lempung (12%), hasil dari pengamatan petrografi didapatkan nama batuan, yaitu Greywacke (Pettijohn, 1975) (Lampiran analisis petrografi, halaman 134).
4.2.2.3  Umur
Penentuan umur pada satuan batupasir karbonatan Pamutuan ini dilakukan berdasarkan pada hasil analisis paleontologi terhadap kandungan fosil foraminifera plangtonik yang terdapat pada lapisan atas dengan nomor sampel ND|LP35 dan pada lapisan bawah dengan nomor sampel ND|LP51, Berdasarkan hasil analisis tersebut (Tabel 4.1), dapat diketahui bahwa satuan ini mempunyai kisaran umur N10–N13 (Miosen Tengah) didasarkan atas kehadiran : Orbulina universa (d’Orbigny, 1839) & Globorotalia peripheroacuta; Globigerina praebulloides, : Globigerina praebulloides (Blow, 1959), Globorotalia peripheroacuta (Blow & Banner, 1966), Globigerinoides subquadratus (Bronnimann, 1954) Globigerinoides trilobus, Globorotalia mayeri. (Lampiran analisis mikropaleontologi halaman 141)


Tabel 4.1.     Kisaran umur foraminifera plangtonik pada satuan batupasir karbonatan Pamutuan berdasarkan zonasi Blow (1969).

4.2.2.4 Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil foraminifera benthonik pada lapisan bawah, dan atas. Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui satuan batupasir karbonatan Pamutuan terendapkan di kedalaman 50 – 100 meter pada lingkungan neritik tengah (Tipsword, Setzer, dan Smith, 1966) yang didasarkan atas hadirnya Amphistegina lessonii (d’Orbigny, 1826) dan Bolivina alata (Seguenza, 1862)  (Tabel 4.2), (Lampiran halaman 149).
Tabel 4.2. Lingkungan pengendapan pada satuan batupasir karbonatan Pamutuan

 Berdasarkan kandungan foraminifera bentonik terhadap zonasi (Tipsword,1966).

4.2,2.5 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah penelitian, hasil rekonstruksi penampang geologi A-B dan C-D, hasil analisis umur relatif yang menunjukkan satuan ini memiliki umur N10–N13 (Miosen Tengah), dan mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian (Supriatna dkk., 1992), maka peneliti berkesimpulan bahwa hubungan stratigrafi satuan batupasir karbonatan Pamutuan ini dengan satuan di bawahnya, yaitu satuan tuff Jampang yang berumur Oligosen – Miosen Awal  adalah tidak selaras.
4.2.3       Satuan Batugamping Berlapis Pamutuan
Satuan ini disusun secara dominan oleh  batugamping berlapis, berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batugamping berlapis Pamutuan. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional.
4.2.3.1              Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batugamping berlapis Pamutuan ini menempati ± 9% dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relatif pada bagian barat-timur dan utara – selatan pada bagian timur laut daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Cigugur Desa Bunisari, dan Desa Palumbungan. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi kars slopes and hills (K2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 150 meter.
4.2.3.2              Litologi Penyusun
Satuan batugamping berlapis Pamutuan ini secara dominan disusun oleh batugamping berlapis dengan warna segar putih kecoklatan dan warna lapuk coklat kemerah-merahan yang berukuran halus-kasar, memiliki ukuran butir 1-2mm, tekstur klastik, dan struktur berupa perlapisan dan masif, kedudukan batuan N130 E/12.  (Gambar 4.10)
Gambar 4.10 Kenampakan batugamping berlapis Bentang .  Lensa menghadap ke arah B arat (Foto diambil di LP 26, Desa Cigugur)
Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisis petrografi pada sayatan tipis              Pengamatan dilakukan dengan skala pembesaran 4/0.1, Sayatan batuan sedimen dengan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, didukung oleh lumpur (mudsupported) berukuran lempung  (< 0.01 -0,08)mm, pemilihan sedang, komposisi karbonat, terdiri dari kalsit , butiran kerangka skeletal dan fosil.
Batuan ini tersusun oleh material berupa skeletal (20%), kalsit (45%), dan micrite (35%) serta tampak juga keporian dengan tipe interpartikel, intrapartikel, dan gerowong. Berdasarkan hasil dari pengamatan petrografi tersebut didapatkan nama batuan, yaitu Wackestone (Dunham., 1962) (Lampiran analisis petrografi halaman 136) 
4.2.3.3              Umur
Penentuan umur pada satuan batugamping berlapis Pamutuan ini dilakukan berdasarkan pada hasil analisis paleontologi terhadap kandungan fosil foraminifera plangtonik yang terdapat pada lapisan bawah dengan nomor sampel ND|LP80 (Lampiran analisis paleontologi), lapisan tengah dengan nomor sampel ND|LP17 (Lampiran analisis paleontologi), dan lapisan atas dengan nomor sampel ND|LP2 (Lampiran analisis paleontologi). Berdasarkan pada hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa satuan batugamping berlapis Pamutuan ini mempunyai kisaran umur N9–N12 (Miosen Tengah) yang didasarkan atas kehadiran Globigerinoides immaturus (Le Roy, 1939) , Globorotalia mayeri (Cushman & Ellisor, 1939 , Globigerinoides subquadratus (Bronnimann, 1954) , Globigerina praebulloides (Blow, 1959) , Orbulina universa (d’Orbigny, 1839) , Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis, 1936) , Globorotalia peripheroronda (Blow & Banner, 1966)  (Tabel 4.5)(Lampiran paleontology halaman 151).


Tabel 4.3  Kisaran umur foraminifera plangtonik pada satuan batugamping berlapis Pamutuan berdasarkan zonasi Blow (1969)

Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil foraminifera benthonik pada lapisan bawah, tengah. Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui satuan batugamping berlapis Bentang terendapkan di kedalaman 50 – 100 meter pada lingkungan neritik (Tabel 4.2), (Lampiran halaman 149).


Tabel 4.4. Lingkungan pengendapan pada satuan batugamping berlapis Pamutuan Berdasarkan kandungan foraminifera bentonik terhadap zonasi (Tipsword,1966).

4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah penelitian, hasil rekonstruksi penampang geologi A-B, hasil analisis umur relatif yang menunjukkan satuan ini memiliki umur N9–N12 (Miosen Tengah), dan mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian (Supriatna dkk., 1992), maka peneliti memiliki kesimpulan bahwa hubungan stratigrafi pada satuan batugamping berlapis Pamutuan ini dengan satuan di bawahnya, yaitu satuan batupasir karbonatan Bentang yang berumur N10–N13 (Miosen Tengah) adalah menjari.
4.2.4       Satuan Batugamping Masif Bentang
Satuan ini disusun secara dominan oleh  batugamping masif , berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batugamping masif Bentang. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional.
5.2.3.1              Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batugamping masif Bentang ini menempati ± 20% dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relatif pada bagian barat-timur dan utara – selatan pada bagian timur laut daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Cigugur Desa Bunisari, dan Desa Palumbungan. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi kars slopes and hills (K2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 500 meter.
5.2.3.2              Litologi Penyusun
Satuan batugamping masif Bentang ini secara dominan disusun oleh batugamping masif dengan warna segar putih kecoklatan dan warna lapuk coklat kemerah-merahan yang berukuran halus-kasar, memiliki ukuran butir 1-2mm, tekstur klastik, dan struktur berupa  masif, kedudukan batuan N130 E/12.  (Gambar 4.11)
Gambar 4.11 Kenampakan batugamping masif Bentang .  Lensa menghadap ke arah Barat (Foto diambil di LP 1, Desa Palumbungan)
Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisis petrografi pada sayatan tipis Pengamatan dilakukan dengan skala pembesaran 4/0.1, Sayatan batuan sedimen dengan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, didukung oleh lumpur (mudsupported) berukuran lempung  (< 0.01 -0,08)mm, pemilihan sedang, komposisi karbonat, terdiri dari kalsit , butiran kerangka skeletal dan fosil.  Batuan ini tersusun oleh material berupa Skeletal (20%), kalsit (35%), dan micrite (45%) serta tampak juga keporian dengan tipe interpartikel, intrapartikel, dan gerowong. Berdasarkan hasil dari pengamatan petrografi tersebut didapatkan nama batuan, yaitu Wackestone (Dunham. 1962) (Lampiran analisis petrografi halaman 136)        
5.2.3.3              Umur
Penentuan umur pada satuan batugamping masif Bentang ini dilakukan berdasarkan pada hasil analisis paleontologi terhadap kandungan fosil foraminifera plangtonik yang terdapat pada lapisan bawah dengan nomor sampel ND|LP4 (Lampiran analisis paleontologi), lapisan tengah dengan nomor sampel ND|LP2 (Lampiran analisis paleontologi), dan lapisan atas dengan nomor sampel ND|LP23 (Lampiran analisis paleontologi). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat diketahui bahwa satuan barugamping masif Bentang ini mempunyai kisaran umur N13–N18 (Miosen Tengah-Akhir) yang didasarkan atas kehadiran foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella subdehiscens BLOW, 1959; Globigerina nepenthes TODD, 1957; Globorotalia obliquus BOLLI, 1957; Globigerinoides ruber D’ORBIGNY, 1839; Globigerinoides immaturus LEROY, 1939; Orbulina universa D’ORBIGNY, 1839; Globigerinoides sacculifera BRADY, 1977; (Tabel 4.3) (Lampiran paleontology halaman 169).


Tabel 4.5  Kisaran umur foraminifera plangtonik pada satuan batugamping Masif  Bentang berdasarkan zonasi Blow (1969)

Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil foraminifera benthonik pada lapisan bawah, dan atas. Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui satuan batugamping masif  Bentang terendapkan di kedalaman 50 – 100 meter adanya perkembangan lingkungan dimana pada sampel bawah lingkungannya neritik bawah dan berkembang  neritik tengah pada sampel tengah dan kemudian pada sampel atas menjadi lingkungan neritik .


Tabel 4.6 Lingkungan pengendapan pada satuan batugamping Masif Bentang Berdasarkan kandungan foraminifera bentonik terhadap zonasi (Tipsword,1966)

4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah penelitian, hasil rekonstruksi penampang geologi A-B, hasil analisis umur relatif yang menunjukkan satuan ini memiliki umur N13–N18 (Miosen Tengah- akhir), dan mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian (Supriatna dkk., 1992), maka peneliti memiliki kesimpulan bahwa hubungan stratigrafi pada satuan batugamping Masif Bentang ini dengan satuan di bawahnya, yaitu satuan batugamping berlapis yang berumur N9–N12 (Miosen Tengah) adalah menjari.
4.2.4 Korelasi Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian

Dari hasil analisis secara keseluruhan pada satuan batuan yang terdapat pada daerah penelitian, maka dapat dikorelasikan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional menurut Supriatna., dkk, 1992   (Gambar 4.12).
Gambar. 4.12. Korelasi stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional (Supriatna dkk., 1992) (tidak dalam skala sebenarnya)

Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
1.     Full Draft


JIKA ANDA BELUM MENGETAHUI CARA DOWNLOAD FILE NYA, SILAHKAN KLIK LING DIBAWAH INI



CARA DOWNLOAD ( LANGSUNG PADA LANGKAH NO.7 )

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "GEOLOGI DAERAH KERTAJAYA DAN SEKITARNYA, KECAMATAN CIGUGUR, KABUPATEN PANGANDARAN, PROVINSI JAWA BARAT"

  1. Halo admin, bisa tolong kirim soft file nya untung keperluan referensi tugas akhir saya? Terima kasih

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel