GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT
GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN
KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT
Penelitian ini dilakukan
oleh :
1.
Nama : Afif Briant
Bindu Pasai, S.T.
2.
Alumni : STTNAS Yogyakarta
3.
Koordinat : 108° 20’40.1”-108° 23’57.2” BT dan 07°
10’09.1”-07° 05’17” LS
4.
Tahun :
2018
Interpretasi awal geologi daerah
penelitian merupakan tahap interpretasi peneliti pada daerah penelitian
meliputi aspek-aspek geologi yang berkembang di daerah penelitian. Pada tahapan
awal ini dilakukan suatu analisis serta sintesa awal pada daerah penelitian.
Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data penelitian awal (reconnaissance) dan data sekunder yang
diperoleh sehingga peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek-aspek geologi
yang terdapat pada daerah penelitian. Aspek-aspek geologi tersebut terdiri atas
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah
penelitian.
4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian
Aspek-aspek yang dikaji dalam
bahasan geomorfologi pada daerah penelitian berupa : satuan geomorfologi, pola
pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis), dan stadia daerah.
Masing-masing aspek dijelaskan sebagai berikut :
4.1.1 Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi
daerah penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan
melihat pola-pola kontur yang mencerminkan bentuk bentang alam (topografi).
Dalam pembagian tersebut memperhatikan kerapatan dan kerenggangan kontur serta
pola-pola kontur yang khas seperti pola melingkar dan sebagainya. Analisis
pembagian satuan bentang alam tersebut didasarkan oleh dua aspek penting yaitu
aspek morfometri dan morfogenesis.Berdasarkan hasil perhitungan beda
tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta
melihat morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat
dibagi menjadi :
1.
Satuan perbukitan geomorfologi
bergelombang lemah – kuat denudasional (D2)
2.
Satuan perbukitan geomorfologi
bergelombang lemah – sedang denudasional (D1)
4.1.1.1 Satuan Perbukitan Geomorfologi Bergelombang Lemah –
Kuat Denudasional (D2)
Satuan geomorfologi ini meliputi
± 70 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu Kecamatan Panawangan Desa
Sadapaingan dan Desa Cinyasag yang mempunyai pelamparan relatif barat laut –
tenggara pada bagian tengah lokasi penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa
bergelombang lemah (van Zuidam – Cancelado, 1979). yang secara morfogenesa
terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian.
Bentukan asal ini ditandai oleh adanya kenampakan berupa longsor pada painggir
jalan daerah penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi
rata - rata ± 66,03 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ±
37,79%. Kenampakan pada citra SRTM satuan
geomorfologi ini ditunjukkan degan relief yang cukup kasar serta membentuk pola
kelurusan yang disebut sebagai gerakan tanah. Kenampakan di lapangan
memperlihatkan adanya tekstur khas batuan breksi basalt. Berdasarkan data –data
di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan perbukitan
geomorfologi bergelombang lemah – sedang Denudasiol (D2) (gambar 4.1) Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman, persawahan dan kebun.
Gambar 4.1 Satuan perbukitan geomorfologi bergelombang sedang – kuat
denudasional (D2) (Lensa menghadap ke arah timur foto diambil di LP 7)
4.1.1.2 Satuan Perbukitan Geomorfologi Bergelombang Lemah –
Sedang Denudasional (D1)
Satuan geomorfologi ini meliputi
30% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu pada Kecamatan Kuningan dan Kawali
Desa Tugumulya, Desa Dermarja dan Desa Citerureup. yang mempunyai pelamparan
relatif tenggaratimur laut – barat daya pada daerah penelitian. Morfologi pada
satuan ini berupa bergelombang lemah - kuat yang secara morfogenesa terbentuk
akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Secara
morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata -rata ± 50
- 100 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 30 - 50 % .
Litologi penyusun berupa
batupasir dan breksi basalt. Berdasarkan data – data di atas, maka satuan
geomorfologi ini termasuk dalam satuan perbukitan geomorfologi bergelombang
lemah – sedang denudasional (D1) (Gambar 4.2). Satuan geomorfologi ini
dimanfaatkan sebagai pemukiman, sawah dan kebun.
Gambar 4.2 Satuan perbukitan geomorfologi
bergelombang lemah - sedang denudasional (D1). ( Lensa menghadap ke arah barat
foto diambil di LP 4)
4.1.2 Pola Pengaliran
Pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan
jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967), pengamatan peta
topografi maupun pengamatan di lapangan dapat dibagi menjadi 3 jenis pola
pengaliran. Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan pada pengamatan peta
topografi, analisis pola pengaliran maupun pengamatan lapangan. Dua pola
pengaliran yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari pola pengaliran dendritic, subdendritic, dan rectanguler. (Gambar 4.3).
1.
Pola Pengaliran dendritik
Pola pengaliran dendritik
berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-cabang sungai
(anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang
runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa
pengendalian struktur., (Howard, 1967 dalam Soeroto, 2012). Pada daerah
penelitian pola ini menempati ± 55 % luasan pada daerah penelitian. Pola
pengaliran ini berkembang pada satuan bentang alam denudasional bergelombang
lemah - kuat (D2) yang tersusun oleh batu breksi basalt dan breksi andesit.
2.
Pola Pengaliran Subdendritic
Pola pengaliran dendritik berbentuk
menyerupai cabang-cabang pohon,
mencerminkan resistensi batuan atau homogenitas
tanah yang seragam, lapisan horisontal atau miring landai, kontrol struktur
kurang berkembang. Pola pengaliran subdendritik adalah ubahan dari pola
dendritik, dimana peran dari struktur geologi sudah mengontrol pola ini
meskipun sangat kecil, serta topografi yang lebih bergelombang dibandingkan
pada pola dasar (Howard, 1967, dalam Soeroto, 2012) Pola pengaliran ini
menginterpretasikan bahwa di daerah ini telah mengalami ubahan (deformasi) dari
pola aliran dendritic yang sudah
mulai berkembang proses-proses struktur. Pola pengaliran ini meliputi ± 30 %
dari daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi
perbukitan tersayat lemah - sedang denudasional (D1) di daerah Cirukem dan
Cibariwal. Pola pengaliran ini berkembang di satuan breksi basalt.
3. Pola pengaliran Rectangular
pola aliran yang dibentuk oleh
pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak
dikontrol oleh faktor kekar kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.,
(Howard, 1967 dalam Soeroto, 2012). Pola pengaliran ini meliputi ± 15 % dari
daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi
perbukitan tersayat lemah – sedang denudasional (D1) di daerah Cijolang. Pola
pengaliran ini berkembang di satuan batupasir dan batubreski basalt.
4.1.3. Proses Geomorfologi
Proses geomorfologi adalah semua
proses fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan perubahan kepada bentuk
bumi. Proses fisika ada yang berasal dari dalam bumi (seperti penerobosan
batuan beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar
bumi (seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit
ke permukaan bumi). Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst
yang melibatkan berbagai proses kimiawi. Proses biologi seperti aktifitas hewan
dan akar tumbuhan.
Media geomorfologi mempunyai
kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan bumi.
Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir,
disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses
endogen. Media yang datang dari luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar
bumi (extraterestrial).
Bentuklahan dari proses
geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau
bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional
landform). Proses dan media dapat menghasilkan bentuklahan berbeda di satu
kawasan dengan kawasan lainnya, contoh: erosi oleh aliran sungai menghasilkan
lembah (pengrusakan) dan juga dapat mewujudkan delta (membangun).
Proses - proses geomorfologi yang
berada pada daerah penelitian yaitu proses eksogen, yang mana dicirikan oleh
proses pelapukan dan erosi yang cukup intensif pada daerah penelitian. Selain
itu, terdapat pula proses endogen seperti terbentuknya struktur berupa kekar
dan terbentuknya kemiringan pada batuan.
4.1.4. Stadia Sungai
Stadia daerah penelitian
dikontrol oleh litologi, dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah
pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan
menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation). Tingkat kedewasaan suatu
daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai
yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi bentang alam di daerah penelitian
secara dominan.
Stadia sungai di daerah
penelitian memperlihatkan stadia sungai dewasa. Stadia sungai dewasa dicirikan
dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat, erosi vertikal
lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam, tidak terdapat
dataran banjir, kemiringan sungai curam, bentuk sungai relatif lurus dan
kenampakan batuan dasar. Stadia sungai dewasa dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, kemiringan sungai sedang, dataran banjir
mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat
dibanding erosi vertical (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Kenampakan aliran
sungai stadia dewasa dengan sifat erosional lateral (foto diambli di LP 18).
4.1.5. Stadia Daerah
Perkembangan stadia daerah pada
dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat
ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai yang terdapat
di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, dan
morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses eksogen.
Perkembangan stadia daerah pada
dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari
morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan
menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi). Kondisi bentang alam di
daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh
proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil yang
tebal akibat proses denudasional (Gambar 4.5)
Gambar 4.5 Soil tebal akibat
proses denudasional ( Foto diambil di LP 6)
Berdasarkan hasil perbandingan
terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan
secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 4.6).
Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu
peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang
ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan dalam
stadia daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi, struktur geologi
yang beragam.
Gambar 4.6 Stadia daerah menurut Lobeck (1939)
4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian
berdasarkan geologi regional lembar Tasikmalaya (t. Budhitrisna 1986) termasuk
ke dalam 3 formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Halang (Tmph), Formasi
Cijulang (Tpc), dan Hasil gunung api tua (Qtvs).
Berdasarkan hasil survey
pendahuluan (reconnaissance) dijumpai
variasi litologi dari tua ke muda yaitu satuan batupasir halang, satuan
batubreksi andesit cijulang, dan batu breksi basalt. Penamaan satuan batuan
tersebut mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan
litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan
didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti
dengan nama formasinya.
4.2.1. Satuan Batuan Batupasir Halang
Satuan batuan batupasir Halang
merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini
disusun secara dominan oleh batupasir. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini
di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan
berdasarkan pada geologi regional juga litostratigarfi dalam Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan
batuan batupasir Halang.
4.2.1.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batupasir Halang ini
menempati ± 25 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan
relative ke timur laut dengan wilayah yaitu meliputi Kecamatan Panawangan Desa
Gardujaya. Di daerah penelitian satuan ini
menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah -
sedang (D1). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A – B,
satuan ini mempunyai ketebalan ± 750 meter.
4.2.1.2 Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun secara
dominan oleh batupasir dengan warna segar cokat kekuningan dengan warna lapuk
kecoklatan, dijumpai dengan tekstur klastika dengan pemilahan baik, sortasi
baik dangan kedudukan batuan N 130° E/71° (gambar 4.7).
Gambar 4.7 Kenampakan singkapan batupasir. Lensa
menghadap ke arah timur laut (Foto diambil di LP 38, Desa Gardujaya)
Secara mikroskopis berdasrkan
hasil analisis sayatan petrografi pada sayatan tipis nomor LP 38 berwarna segar
coklat kekuningan, tekstur meliputi ukuran butir 1/64-1/8 mm, kemas tertutup,
bentuk butir membulat tanggung-menyudut tanggung, dan sortasi baik. Terdapat
mineral feldspar 52%, kuarsa 7%, mineral opak 5%, dan mineral lempung 36%.
Tabel 4.8 Kolom litologi satuan batuan batupasir
Halang
(tidak dalam skala sebenarnya)
4.2.1.3 Umur
Berdasarkan kesebandingan ciri
fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik
batuan maka penentuan penentuan umur pada satuan batupasir halang ini dilakukan
dengan cara melakukan kesebandingan pada data geologi regional, berdasarkan
kesebandingan ciri fisik batuan pada stratigrafi regional munurut (t.
Budhitrisna 1986) maka setuan batupasir halang merupakan bagian dari Formasi
Halang yang berumur Miosen akhir – Pliosen awal.
4.2.1.4 Penentuan Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan penegndapan
pada satuan batuan batupasir Halang ini dilakukan berdasarkan pada data geologi
regional yang menyatakan bahwa satuan batuan batupasir Halang ini terbentuk
pada lingkungan laut dalam hal ini didukung oleh data dilapangan menunjukkan
ada pola struktur yang berlapis.
4.2.1.5 Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan batuan batupasir
Halang ini terhadap satuan batuan yang berada dibawahnya yaitu adalah satuan
batuan batu gamping kalipucang yang berumur oligosen akhir – miosen awal
sedangkan untuk satuan batupasir halang tersebut berumur miosen akhir – pliosen
awal maka hubungan batuan tersebut selaras.
4.2.2 Satuan Batuan Breksi Andesit Cijulang
Satuan batuan Breksi andesit
cijulang merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan batupasir Halang.
Satuan ini mempunyai warna segar abu – abu cerah, dengan tekstur klastika
dengan komposisi fragamen andesit dan matriks berupa tuff umumnya dapat dikorelasikan
dengan Formasi Halang, sehingga berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi
Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi
nama satuan batuan Breksi andesit cijulang.
4.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batuan Breksi andesit
cijulang ini menempati ± 10 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai
penyebaran relatif pada barat laut pada bagian daerah penelitian dengan wilayah
meliputi Kecamatan Panawangan, Desa Sadapaingan. Di daerah penelitian satuan
ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat (D2). Berdasarkan
pengukuran ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 250
meter.
4.2.2.2 Litologi Penyusun
Satuan breksi andesit Cijulang
ini secara dominan disusun oleh frgamen andesit dengan warna segar abu- abu
cerah, dan warna lapuk kecoklatan. Umumnya satuan breksi cijulang ini memiliki
struktur masif, dengan komposisi berupa mineral plagioklas, klinopiroksen, dan
mineral opak. namun pada lokasi derah penelitian telah banyak batuan yang telah
mengalami pelapukan dan telah ter altrasi sehingga sangat sulit untuk ditemukan
yang masih segar (Gambar 4.8).
Gambar 4.9 Kenampakan singkapan breksi andesit (Foto diambil di LP 41, Desa
Sadapaingan)
Secara mikroskopis berdasarkan
hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP46 berwarna coklat, tektur
hipokristalin, bentuk mineral euhedral – subhedral, relasi inequigranular
porfiroafanitik, untuk komposisi mineral berupa plagioklas 45%, klinopiroksen
18%, mineral opak 5%, dan masa dasar 25% berdasarkan hasil
dari pengamatan petrografi didapatkan nama batuan, yaitu Andesit (Streckeisen,
1976). Untuk matriks secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi
pada sayatan tipis nomor LP 46 berwarna coklat hingga hitam denagnukuan butir
1/16 – ½ mm, kemas tertutup, bentuk butirmembulat-amorf, dan sortasi sedang,
komposisi mineral berupa fledspar 19%,gelas vulkanik 67%, dan mineral opak 14%
nama petrogarfis berupa fitrik tuff berdasarkan klasifikasi batuan poriklastik
berdasarkan komposisi penyusun batuan (Schmid, 1981).
Tabel 4.10 Kolom litologi satuan Breksi andesit
Cijulang
(tidak dalam skala sebenarnya)
4.2.2.3 Umur
Identifikasi umur relative pada
satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan denganmenggunak
analisi paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri
fisik batuan di lapangan maupun amalisi di laboratorium yang menunjukkan bahwa
karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relative
satuan batuan breksi andesit cijulang dilakukan dengan cara melakukan
kesebandingan pada data geologi regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik
batuan pada stratigrafi regional (t. Budhitrisna 1986) dimana satuna batuan ini
berumur Pliosen awal.
4.2.2.4 Penentuan Lingkungan pengendapan
Identifikasi lingkunan
pengendapan satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan analisis paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada
pegamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium
menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk
terawetkannya fosil, sama halnya dengan analisis terhadap umur relative dari
satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan batuan
breksi andesit cijulang ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat. Hal ini
juga didukung oleh data lapangan , dimana breksi andesit ini menunjukkan adanya
struktur fragmental serta adanya matriks, hal menunjukkan bahwa satuanbatuan
breksi andesit cijulang ini terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.2.5 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah
penlitian, Hubungan satuan batuan breksi andesit cijulang dengan umur pliosen
awal terhadap satuan batuan yang ada dibawahnya yaitu satuan batuan batupasir
halang dengan umur miosen akhir – pliosen awal adalah tidak selaras.
4.2.3 Satuan Batuan Breksi basalt gunung api tua
Satuan batuan breksi basalt
gunung api tua merupakan satuan batuan
lebih muda dari satuan batupasir halang dan breksi andesit cijulang. Satuan ini
disusun secara dominan oleh fragmen basalt. Berdasarkan ciri fisik satuan
batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi,
dan berdasarkan pada geologi regional maka satuan ini diberi nama satuan batuan
breksi basalt gunung api tua (t. Budhitrisna 1986).
4.2.3.1 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batuan breksi basalt
gunung api tua ini menempati ± 65 % dari luas
daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relative selatan - barat, pada bagian
selatan daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Panawangan Desa
Kertayasa, dan Desa Indragiri. Di daerah penelitian satuan ini menepati satuan geomorfologi dominan berupa bergelombang lemah – kuat (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A - B, satuan
ini mempunyai ketebalan ± 280 meter.
4.2.3.2 Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun secara
dominan oleh breski basalt secara megaskopis di lapangan menunjukan warna segar
abu –abu kehitaman, warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik, struktur
hipokristalin, bentuk mineral euhedral-subhedral, Komposisi mineral berupa
plagioklas (bytownit-labradorit), klinopiroksen, dan mineral opak. (Gambar
4.11).
Gambar 4.11 Kenampakan singkapan breksi basalt.
Lensa menghadap ke arah selatan (Foto diambil di LP 15, kecamatan Panawangan)
Secara mikroskopis berdasarkan
hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP02 berwarna coklat, tektur
hipokristalin, bentuk mineral euhedral – subhedral, relasi inequigranular
porfiroafanitik, untuk komposisi mineral berupa plagioklas 50%, piroksen 25%,
mineral opak 10%, dan masa dasar 15% berdasarkan hasil dari pengamatan
petrografi didapatkan nama batuan, yaitu basalt (Streckeisen, 1976). Untuk
matriks secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi pada sayatan
tipis nomor LP02 berwarna coklat hingga hitam denagnukuan butir 1/16 – ½ mm,
kemas tertutup, bentuk butir membulat tanggung – menyudut tanggung, dan sortasi
sedang, komposisi mineral berupa fledspar 30%, plagioklas 19%, gelas vulkanik
38%, Hornblende 8%, dan mineral opak 5%. nama petrogarfis
berupa crystal tuff berdasarkan klasifikasi batuan poriklastik berdasarkan
komposisi penyusun batuan (Schmid, 1981).
Tabel 4.12 Kolom litologi satuan basalt gunung api
tua
(tidak dalam skala sebenarnya)
4.2.3.3 Umur
Identifikasi umur relative pada
satuan batuan breksi basalt gunung api tua ini tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan analisi paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada
pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun amalisi di laboratorium yang
menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk
terawetkannya fosil. Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relative
satuan batuan breksi andesit cijulang dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan
pada data geologi regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan pada
stratigrafi regional (t. Budhitrisna 1986) dimana satuna batuan ini berumur
plistosen awal.
Identifikasi lingkunan
pengendapan satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan
dengan menggunakan analisis paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada
pegamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium
menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk
terawetkannya fosil, sama halnya dengan analisis terhadap umur relative dari
satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan batuan
breksi basalt gunung api tua ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat. Hal
ini juga didukung oleh data lapangan , dimana breksi basalt ini menunjukkan
adanya struktur fragmental serta adanya matriks, hal menunjukkan bahwa
satuanbatuan breksi basalt gunung api tua ini terbentuk pada lingkungan darat.
4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan pada hasil pengamatan
di daerah penlitian, Hubungan satuan batuan breksi basalt gunung api tua umur
plistosen awal terhadap satuan batuan yang ada dibawahnya yaitu satuan batuan
breksi andesit cijulang dengan umur pliosen awal adalah tidak selaras.
4.2.4
Korelasi Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian
Dari hasil nalaisi secara
keseluruhan pada satuan batuan yang terdapat pada daerah penelitian, maka dapt
dikorelasikan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigarfi regional
menurut Budhitrisna 1986 (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 korelasi stratigrafi
daerah penelitian dengan stratigrafi regional (Budhitrisna 1986) (tidak dalam
skala sebenarnya)
4.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi yang terdapat
pada daerah penelitian dapat diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan
pengkajian data citra SRTM maupun dari peta geologi regional, interpretasi peta
topografi dan yang paling utama adalah data hasil reconnaissance. Dalam analisa maupun pengkajian data-data struktur
tersebut, peneliti merasa terdapat beberapa kesamaan dari data citra SRTM, peta
geologi regional, maupun kenampakan di lapangan yang menghasilkan pola struktur
geologi daerah penelitian. Dalam pemberian nama struktur didasarkan pada nama
geografis, baik berupa nama desa maupun nama sungai yang dilewati oleh struktur
geologi tersebut. Berdasarkan penafsiran dari pengukuran
data struktur geologi yang ditemukan beberapa struktur geologi yang ada pada
daerah penelitian yaitu : sesar Kuningan.
4.3.1 Sesar Kuningan
Sesar kuningan mempunyai jalur
sesar yang relatif barat laut – tenggara, nama sesar Kuningan dipakai karena
sesar ini melewati daerah Kuningan dengan menempati satuan batuan batupasir
halang. Adapun data – data pendukung tentang keberadaan dari sesar kuningan
adalah lapisan tegak yang ditemukan di beberapa tempat yaitu N 315° E/ 78° di
LP 48, N 115° E/ 78° di LP 52, data lain yang mendukung adalah data citra srtm
dan topografi
Gambar 4.14 Kenampakan singkapan batupasir Halang
di LP 48 dengan
kedudukan N 315° E/ 78° di daerah Kuningan
kedudukan N 115° E/ 78° di daerah Kuningan
Gambar
4.16 pola kelurusan pada daerah penelitian pada citra SRTM
Berdasarkan data - data geologi
yang meliputi data lapangan, antara lain yang terdiri dari ciri litologi, umur
dan lingkungan pengendapan, serta ditambah dengan hasil interpretasi dan
penafsiran, pada akhirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian
yang menggambarkan geologi sejarah pada suatu kerangka ruang dan waktu.
Penentuan geologi sejarah daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi
regional peneliti - peneliti terdahulu.
Berdasarkan ciri litologi serta
geologi regional, daerah penelitian termasuk pada batuan sedimen dan batuan
gunung api yang berumur Miosen Akhir sampai plistosen awal (Budhitrisna 1986).
Batuan yang paling tua didaerah penelitian yaitu berupa satuan batuan batupasir
Halang yang terbentuk pada lingkungan pengendapan laut dalam pada Miosen Akhir
bagian awal. Kemudian pada Miosen Akhir bagian tengah hingga bagian akhir
didaerah penelitian mengalami pengangkatan akibat tektonik sehingga adanya pola
struktur sesar Kuningan Lalu terjadilah aktivitas vulkanisme pada pliosen awal
yang membentuk satuan batuan breksi andesit. Selanjutnya pada plistosen awal
bagian awal terjadi lagi aktivitas vulkanisme dimana hal terebut telah
membentuk satuan batuan breksi basalt Gunung api tua yang dihasilkan oleh
gunung api sawal. Kemudian pada saat plistosen awal bagian akhir sampai
sekarang daerah penelitian mengalami proses eksogenik yang masih berjalan sampai saat ini yaitu pelapukan dan erosional.
4.6 Geologi Tata Lingkungan
Geologi tata lingkungan adalah
merupakan salah satu disiplin ilmu yang berhubungan erat dengan masalah-masalah
pada perencanaan fisik, pengembangan wilayah, dan usaha
dalam pengendalian lingkungan hidup dengan melihat aspek- aspek geologi yang
terdapat di daerah penelitian. Menurut Sampurno (1979), keadaan lingkungan
tersebut dikontrol dengan kuat oleh beberapa aspek geologi yang meliputi :
sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan
potensi batuan sebagai bahan galian, letak endapan potensial, dan potensi
bencana alam yang disebabkan oleh pengaruh dari kondisi geologinya. Berdasarkan
pada hasil pemetaan rinci yang telah dilakukan di daerah penelitian, maka
potensi geologi lingkungan yang terdapat pada Daerah Kertayasa dan Sekitarnya
Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat dapat dibagi menjadi
dua, yaitu berupa potensi sumber daya alam dan bencana alam.
1. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan
sesuatu di alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan
lingkungannya. Sumber daya alam yang terdapat di daerah penelitian berupa
sumber daya tanah. Sumber daya tanah dimanfaatkan warga sekitar sebagai lahan
pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan lahan hampir meliputi keseluruhan dari
daerah penelitian dengan komoditas tanaman padi dan tanaman sayuran.
Gambar 4.17 Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai
lahan pertanian (foto diambil pada LP 21)
Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
Jika teman-teman masih bingung cara download silahkan klik link di bawah ini (CATATAN : LANGSUNG KE LANGKAH NO.7):
0 Response to "GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT"
Post a Comment