-->

GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT


GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT



Penelitian ini dilakukan oleh :
1.         Nama            : Afif Briant Bindu Pasai, S.T.
2.         Alumni          : STTNAS Yogyakarta
3.         Koordinat    : 108° 20’40.1”-108° 23’57.2” BT dan 07° 10’09.1”-07° 05’17” LS
4.         Tahun           : 2018





 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Interpretasi awal geologi daerah penelitian merupakan tahap interpretasi peneliti pada daerah penelitian meliputi aspek-aspek geologi yang berkembang di daerah penelitian. Pada tahapan awal ini dilakukan suatu analisis serta sintesa awal pada daerah penelitian. Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data penelitian awal (reconnaissance) dan data sekunder yang diperoleh sehingga peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek-aspek geologi yang terdapat pada daerah penelitian. Aspek-aspek geologi tersebut terdiri atas geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah penelitian.


4.1.       Geomorfologi Daerah Penelitian

Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah penelitian berupa : satuan geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi (morfogenesis), dan stadia daerah. Masing-masing aspek dijelaskan sebagai berikut :

4.1.1    Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisis pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur yang mencerminkan bentuk bentang alam (topografi). Dalam pembagian tersebut memperhatikan kerapatan dan kerenggangan kontur serta pola-pola kontur yang khas seperti pola melingkar dan sebagainya. Analisis pembagian satuan bentang alam tersebut didasarkan oleh dua aspek penting yaitu aspek morfometri dan morfogenesis.Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi dan data lapangan serta melihat morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi :

1.      Satuan perbukitan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional (D2)

2.      Satuan perbukitan geomorfologi bergelombang lemah – sedang denudasional (D1)

4.1.1.1       Satuan Perbukitan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Kuat Denudasional (D2)

Satuan geomorfologi ini meliputi ± 70 % dari keseluruhan daerah penelitian yaitu Kecamatan Panawangan Desa Sadapaingan dan Desa Cinyasag yang mempunyai pelamparan relatif barat laut – tenggara pada bagian tengah lokasi penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa bergelombang lemah (van Zuidam – Cancelado, 1979). yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Bentukan asal ini ditandai oleh adanya kenampakan berupa longsor pada painggir jalan daerah penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata - rata ± 66,03 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 37,79%. Kenampakan pada citra SRTM satuan geomorfologi ini ditunjukkan degan relief yang cukup kasar serta membentuk pola kelurusan yang disebut sebagai gerakan tanah. Kenampakan di lapangan memperlihatkan adanya tekstur khas batuan breksi basalt. Berdasarkan data –data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan perbukitan geomorfologi bergelombang lemah – sedang Denudasiol  (D2)  (gambar  4.1)  Satuan  geomorfologi  ini  dimanfaatkan sebagai pemukiman, persawahan dan kebun.


Gambar 4.1  Satuan perbukitan geomorfologi bergelombang sedang – kuat denudasional (D2) (Lensa menghadap ke arah timur foto diambil di LP 7)


4.1.1.2           Satuan Perbukitan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Sedang Denudasional (D1)
Satuan geomorfologi ini meliputi 30% dari keseluruhan daerah penelitian yaitu pada Kecamatan Kuningan dan Kawali Desa Tugumulya, Desa Dermarja dan Desa Citerureup. yang mempunyai pelamparan relatif tenggaratimur laut – barat daya pada daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa bergelombang lemah - kuat yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Secara morfometri satuan ini mempunyai beda tinggi rata -rata ± 50 - 100 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng ± 30 - 50 % .
Litologi penyusun berupa batupasir dan breksi basalt. Berdasarkan data – data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan perbukitan geomorfologi bergelombang lemah – sedang denudasional (D1) (Gambar 4.2). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai pemukiman, sawah dan kebun.
Gambar 4.2 Satuan perbukitan geomorfologi bergelombang lemah - sedang denudasional (D1). ( Lensa menghadap ke arah barat foto diambil di LP 4)

4.1.2    Pola Pengaliran

Pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967), pengamatan peta topografi maupun pengamatan di lapangan dapat dibagi menjadi 3 jenis pola pengaliran. Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan pada pengamatan peta topografi, analisis pola pengaliran maupun pengamatan lapangan. Dua pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari pola pengaliran dendritic, subdendritic, dan rectanguler. (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Peta pola pengaliran daerah penelitian.

1.               Pola Pengaliran dendritik

Pola pengaliran dendritik berbentuk serupa cabang-cabang pohon (pohon oak), dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur., (Howard, 1967 dalam Soeroto, 2012). Pada daerah penelitian pola ini menempati ± 55 % luasan pada daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang pada satuan bentang alam denudasional bergelombang lemah - kuat (D2) yang tersusun oleh batu breksi basalt dan breksi andesit.
2.               Pola Pengaliran Subdendritic

Pola  pengaliran dendritik berbentuk menyerupai  cabang-cabang pohon,

mencerminkan resistensi batuan atau homogenitas tanah yang seragam, lapisan horisontal atau miring landai, kontrol struktur kurang berkembang. Pola pengaliran subdendritik adalah ubahan dari pola dendritik, dimana peran dari struktur geologi sudah mengontrol pola ini meskipun sangat kecil, serta topografi yang lebih bergelombang dibandingkan pada pola dasar (Howard, 1967, dalam Soeroto, 2012) Pola pengaliran ini menginterpretasikan bahwa di daerah ini telah mengalami ubahan (deformasi) dari pola aliran dendritic yang sudah mulai berkembang proses-proses struktur. Pola pengaliran ini meliputi ± 30 % dari daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi perbukitan tersayat lemah - sedang denudasional (D1) di daerah Cirukem dan Cibariwal. Pola pengaliran ini berkembang di satuan breksi basalt.
3.   Pola pengaliran Rectangular
pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar kekar yang saling berpotongan dan juga sesar., (Howard, 1967 dalam Soeroto, 2012). Pola pengaliran ini meliputi ± 15 % dari daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi perbukitan tersayat lemah – sedang denudasional (D1) di daerah Cijolang. Pola pengaliran ini berkembang di satuan batupasir dan batubreski basalt.


4.1.3.    Proses Geomorfologi

Proses geomorfologi adalah semua proses fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan perubahan kepada bentuk bumi. Proses fisika ada yang berasal dari dalam bumi (seperti penerobosan batuan beku, dan deformasi tektonik pada kerak bumi) dan yang berasal dari luar bumi (seperti penyinaran oleh matahari, hujan, salju dan juga jatuhan meteorit ke permukaan bumi). Proses kimia seperti proses pembentukan topografi karst yang melibatkan berbagai proses kimiawi. Proses biologi seperti aktifitas hewan dan akar tumbuhan.

Media geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen. Media yang datang dari luar bumi seperti meteorit, disebut proses luar bumi (extraterestrial).
Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil (yang bersifat) membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil (yang bersifat) merusak (detructional landform). Proses dan media dapat menghasilkan bentuklahan berbeda di satu kawasan dengan kawasan lainnya, contoh: erosi oleh aliran sungai menghasilkan lembah (pengrusakan) dan juga dapat mewujudkan delta (membangun).

Proses - proses geomorfologi yang berada pada daerah penelitian yaitu proses eksogen, yang mana dicirikan oleh proses pelapukan dan erosi yang cukup intensif pada daerah penelitian. Selain itu, terdapat pula proses endogen seperti terbentuknya struktur berupa kekar dan terbentuknya kemiringan pada batuan.

4.1.4.    Stadia Sungai
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation). Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan.

Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan stadia sungai dewasa. Stadia sungai dewasa dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat, erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam, tidak terdapat dataran banjir, kemiringan sungai curam, bentuk sungai relatif lurus dan kenampakan batuan dasar. Stadia sungai dewasa dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, kemiringan sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi kesamping lebih kuat dibanding erosi vertical (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Kenampakan aliran sungai stadia dewasa dengan sifat erosional lateral (foto diambli di LP 18).


4.1.5.   Stadia Daerah
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan kondisi sungai yang terdapat di daerah tersebut. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, dan morfologi (proses) baik proses endogen maupun proses eksogen.

Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi). Kondisi bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya soil yang tebal akibat proses denudasional (Gambar 4.5)
Gambar 4.5 Soil tebal akibat proses denudasional ( Foto diambil di LP 6)

Berdasarkan hasil perbandingan terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa (Gambar 4.6). Penggolongan stadia daerah ini sebagai data yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini dikarenakan masing-masing tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi, struktur geologi yang beragam.


Gambar 4.6 Stadia daerah menurut Lobeck (1939)



4.2         Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan geologi regional lembar Tasikmalaya (t. Budhitrisna 1986) termasuk ke dalam 3 formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Halang (Tmph), Formasi Cijulang (Tpc), dan Hasil gunung api tua (Qtvs).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan (reconnaissance) dijumpai variasi litologi dari tua ke muda yaitu satuan batupasir halang, satuan batubreksi andesit cijulang, dan batu breksi basalt. Penamaan satuan batuan tersebut mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan litostratigrafi tidak resmi. Penamaan satuan batuan didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti dengan nama formasinya.
4.2.1.   Satuan Batuan Batupasir Halang

Satuan batuan batupasir Halang merupakan satuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini disusun secara dominan oleh batupasir. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional juga litostratigarfi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) maka satuan ini diberi nama satuan batuan batupasir Halang.
4.2.1.1 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batupasir Halang ini menempati ± 25 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan relative ke timur laut dengan wilayah yaitu meliputi Kecamatan Panawangan Desa Gardujaya. Di daerah penelitian satuan ini

menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - sedang (D1). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang geologi A – B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 750 meter.

4.2.1.2 Litologi Penyusun

Satuan ini tersusun secara dominan oleh batupasir dengan warna segar cokat kekuningan dengan warna lapuk kecoklatan, dijumpai dengan tekstur klastika dengan pemilahan baik, sortasi baik dangan kedudukan batuan N 130° E/71° (gambar 4.7).


Gambar 4.7 Kenampakan singkapan batupasir. Lensa menghadap ke arah timur laut (Foto diambil di LP 38, Desa Gardujaya)

Secara mikroskopis berdasrkan hasil analisis sayatan petrografi pada sayatan tipis nomor LP 38 berwarna segar coklat kekuningan, tekstur meliputi ukuran butir 1/64-1/8 mm, kemas tertutup, bentuk butir membulat tanggung-menyudut tanggung, dan sortasi baik. Terdapat mineral feldspar 52%, kuarsa 7%, mineral opak 5%, dan mineral lempung 36%.
Tabel 4.8 Kolom litologi satuan batuan batupasir Halang

(tidak dalam skala sebenarnya)

4.2.1.3 Umur
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat pada satuan ini terhadap ciri fisik batuan maka penentuan penentuan umur pada satuan batupasir halang ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan pada data geologi regional, berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan pada stratigrafi regional munurut (t. Budhitrisna 1986) maka setuan batupasir halang merupakan bagian dari Formasi Halang yang berumur Miosen akhir – Pliosen awal.



4.2.1.4 Penentuan Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan penegndapan pada satuan batuan batupasir Halang ini dilakukan berdasarkan pada data geologi regional yang menyatakan bahwa satuan batuan batupasir Halang ini terbentuk pada lingkungan laut dalam hal ini didukung oleh data dilapangan menunjukkan ada pola struktur yang berlapis.
4.2.1.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan satuan batuan batupasir Halang ini terhadap satuan batuan yang berada dibawahnya yaitu adalah satuan batuan batu gamping kalipucang yang berumur oligosen akhir – miosen awal sedangkan untuk satuan batupasir halang tersebut berumur miosen akhir – pliosen awal maka hubungan batuan tersebut selaras.

4.2.2     Satuan Batuan Breksi Andesit Cijulang
Satuan batuan Breksi andesit cijulang merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan batupasir Halang. Satuan ini mempunyai warna segar abu – abu cerah, dengan tekstur klastika dengan komposisi fragamen andesit dan matriks berupa tuff umumnya dapat dikorelasikan dengan Formasi Halang, sehingga berdasarkan pada litostratigrafi dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), maka satuan ini diberi nama satuan batuan Breksi andesit cijulang.
4.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batuan Breksi andesit cijulang ini menempati ± 10 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relatif pada barat laut pada bagian daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Panawangan, Desa Sadapaingan. Di daerah penelitian satuan ini menempati satuan geomorfologi bergelombang lemah - kuat (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A-B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 250 meter.

4.2.2.2 Litologi Penyusun
Satuan breksi andesit Cijulang ini secara dominan disusun oleh frgamen andesit dengan warna segar abu- abu cerah, dan warna lapuk kecoklatan. Umumnya satuan breksi cijulang ini memiliki struktur masif, dengan komposisi berupa mineral plagioklas, klinopiroksen, dan mineral opak. namun pada lokasi derah penelitian telah banyak batuan yang telah mengalami pelapukan dan telah ter altrasi sehingga sangat sulit untuk ditemukan yang masih segar (Gambar 4.8).
Gambar 4.9   Kenampakan singkapan breksi andesit (Foto diambil di LP 41, Desa Sadapaingan)
Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP46 berwarna coklat, tektur hipokristalin, bentuk mineral euhedral – subhedral, relasi inequigranular porfiroafanitik, untuk komposisi mineral berupa plagioklas 45%, klinopiroksen 18%, mineral opak 5%, dan masa dasar 25% berdasarkan hasil dari pengamatan petrografi didapatkan nama batuan, yaitu Andesit (Streckeisen, 1976). Untuk matriks secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP 46 berwarna coklat hingga hitam denagnukuan butir 1/16 – ½ mm, kemas tertutup, bentuk butirmembulat-amorf, dan sortasi sedang, komposisi mineral berupa fledspar 19%,gelas vulkanik 67%, dan mineral opak 14% nama petrogarfis berupa fitrik tuff berdasarkan klasifikasi batuan poriklastik berdasarkan komposisi penyusun batuan (Schmid, 1981).

Tabel 4.10 Kolom litologi satuan Breksi andesit Cijulang
(tidak dalam skala sebenarnya)


4.2.2.3 Umur


Identifikasi umur relative pada satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan denganmenggunak analisi paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun amalisi di laboratorium yang menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil. Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relative satuan batuan breksi andesit cijulang dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan pada data geologi regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan pada stratigrafi regional (t. Budhitrisna 1986) dimana satuna batuan ini berumur Pliosen awal.

4.2.2.4 Penentuan Lingkungan pengendapan

Identifikasi lingkunan pengendapan satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan analisis paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pegamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil, sama halnya dengan analisis terhadap umur relative dari satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan batuan breksi andesit cijulang ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat. Hal ini juga didukung oleh data lapangan , dimana breksi andesit ini menunjukkan adanya struktur fragmental serta adanya matriks, hal menunjukkan bahwa satuanbatuan breksi andesit cijulang ini terbentuk pada lingkungan darat.

4.2.2.5 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah penlitian, Hubungan satuan batuan breksi andesit cijulang dengan umur pliosen awal terhadap satuan batuan yang ada dibawahnya yaitu satuan batuan batupasir halang dengan umur miosen akhir – pliosen awal adalah tidak selaras.

4.2.3    Satuan Batuan Breksi basalt gunung api tua
Satuan batuan breksi basalt gunung api tua  merupakan satuan batuan lebih muda dari satuan batupasir halang dan breksi andesit cijulang. Satuan ini disusun secara dominan oleh fragmen basalt. Berdasarkan ciri fisik satuan batuan ini di lapangan, memperhatikan tata cara penamaan satuan tidak resmi, dan berdasarkan pada geologi regional maka satuan ini diberi nama satuan batuan breksi basalt gunung api tua (t. Budhitrisna 1986).

4.2.3.1 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batuan breksi basalt gunung api tua  ini menempati ± 65 % dari luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran relative selatan - barat, pada bagian selatan daerah penelitian dengan wilayah meliputi Kecamatan Panawangan Desa Kertayasa, dan Desa Indragiri. Di daerah penelitian satuan ini menepati satuan geomorfologi         dominan berupa bergelombang lemah kuat   (D2). Berdasarkan pengukuran ketebalan di penampang A - B, satuan ini mempunyai ketebalan ± 280 meter.

4.2.3.2 Litologi Penyusun

Satuan ini tersusun secara dominan oleh breski basalt secara megaskopis di lapangan menunjukan warna segar abu –abu kehitaman, warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik, struktur hipokristalin, bentuk mineral euhedral-subhedral, Komposisi mineral berupa plagioklas (bytownit-labradorit), klinopiroksen, dan mineral opak. (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Kenampakan singkapan breksi basalt. Lensa menghadap ke arah selatan (Foto diambil di LP 15, kecamatan Panawangan)

Secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP02 berwarna coklat, tektur hipokristalin, bentuk mineral euhedral – subhedral, relasi inequigranular porfiroafanitik, untuk komposisi mineral berupa plagioklas 50%, piroksen 25%, mineral opak 10%, dan masa dasar 15% berdasarkan hasil dari pengamatan petrografi didapatkan nama batuan, yaitu basalt (Streckeisen, 1976). Untuk matriks secara mikroskopis berdasarkan hasil analisi petrografi pada sayatan tipis nomor LP02 berwarna coklat hingga hitam denagnukuan butir 1/16 – ½ mm, kemas tertutup, bentuk butir membulat tanggung – menyudut tanggung, dan sortasi sedang, komposisi mineral berupa fledspar 30%, plagioklas 19%, gelas vulkanik 38%, Hornblende 8%, dan mineral opak 5%. nama petrogarfis berupa crystal tuff berdasarkan klasifikasi batuan poriklastik berdasarkan komposisi penyusun batuan (Schmid, 1981).

Tabel 4.12 Kolom litologi satuan basalt gunung api tua
(tidak dalam skala sebenarnya)


4.2.3.3 Umur

Identifikasi umur relative pada satuan batuan breksi basalt gunung api tua ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan analisi paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pengamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun amalisi di laboratorium yang menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil. Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis umur relative satuan batuan breksi andesit cijulang dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan pada data geologi regional. Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan pada stratigrafi regional (t. Budhitrisna 1986) dimana satuna batuan ini berumur plistosen awal.

4.2.3.4 Penentuan Lingkungan pengendapan

Identifikasi lingkunan pengendapan satuan batuan breksi andesit cijulang ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan analisis paleontology, hal ini dikarenakan berdasarkan pada pegamatan ciri fisik batuan di lapangan maupun analisis di laboratorium menunjukkan bahwa karakter batuan pada satuan ini tidak memungkinkan untuk terawetkannya fosil, sama halnya dengan analisis terhadap umur relative dari satuan batuan ini, maka penentuan lingkungan pengendapan pada satuan batuan breksi basalt gunung api tua ini terbentuk pada kondisi lingkungan darat. Hal ini juga didukung oleh data lapangan , dimana breksi basalt ini menunjukkan adanya struktur fragmental serta adanya matriks, hal menunjukkan bahwa satuanbatuan breksi basalt gunung api tua ini terbentuk pada lingkungan darat.

4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan pada hasil pengamatan di daerah penlitian, Hubungan satuan batuan breksi basalt gunung api tua umur plistosen awal terhadap satuan batuan yang ada dibawahnya yaitu satuan batuan breksi andesit cijulang dengan umur pliosen awal adalah tidak selaras.

4.2.4 Korelasi Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian

Dari hasil nalaisi secara keseluruhan pada satuan batuan yang terdapat pada daerah penelitian, maka dapt dikorelasikan antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigarfi regional menurut Budhitrisna 1986 (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 korelasi stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional (Budhitrisna 1986) (tidak dalam skala sebenarnya)


4.3.       Struktur Geologi Daerah Penelitian

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian data citra SRTM maupun dari peta geologi regional, interpretasi peta topografi dan yang paling utama adalah data hasil reconnaissance. Dalam analisa maupun pengkajian data-data struktur tersebut, peneliti merasa terdapat beberapa kesamaan dari data citra SRTM, peta geologi regional, maupun kenampakan di lapangan yang menghasilkan pola struktur geologi daerah penelitian. Dalam pemberian nama struktur didasarkan pada nama geografis, baik berupa nama desa maupun nama sungai yang dilewati oleh struktur geologi tersebut. Berdasarkan penafsiran dari pengukuran data struktur geologi yang ditemukan beberapa struktur geologi yang ada pada daerah penelitian yaitu : sesar Kuningan.



4.3.1 Sesar Kuningan

Sesar kuningan mempunyai jalur sesar yang relatif barat laut – tenggara, nama sesar Kuningan dipakai karena sesar ini melewati daerah Kuningan dengan menempati satuan batuan batupasir halang. Adapun data – data pendukung tentang keberadaan dari sesar kuningan adalah lapisan tegak yang ditemukan di beberapa tempat yaitu N 315° E/ 78° di LP 48, N 115° E/ 78° di LP 52, data lain yang mendukung adalah data citra srtm dan topografi
Gambar 4.14 Kenampakan singkapan batupasir Halang di LP 48 dengan

kedudukan N 315° E/ 78° di daerah Kuningan

 
Gambar 4.15 Kenampakan singkapan batupasir Halang di LP 52 dengan

kedudukan N 115° E/ 78° di daerah Kuningan



Gambar 4.16 pola kelurusan pada daerah penelitian pada citra SRTM


4.4 Geologi Sejarah
Berdasarkan data - data geologi yang meliputi data lapangan, antara lain yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta ditambah dengan hasil interpretasi dan penafsiran, pada akhirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan geologi sejarah pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan geologi sejarah daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi regional peneliti - peneliti terdahulu.

Berdasarkan ciri litologi serta geologi regional, daerah penelitian termasuk pada batuan sedimen dan batuan gunung api yang berumur Miosen Akhir sampai plistosen awal (Budhitrisna 1986). Batuan yang paling tua didaerah penelitian yaitu berupa satuan batuan batupasir Halang yang terbentuk pada lingkungan pengendapan laut dalam pada Miosen Akhir bagian awal. Kemudian pada Miosen Akhir bagian tengah hingga bagian akhir didaerah penelitian mengalami pengangkatan akibat tektonik sehingga adanya pola struktur sesar Kuningan Lalu terjadilah aktivitas vulkanisme pada pliosen awal yang membentuk satuan batuan breksi andesit. Selanjutnya pada plistosen awal bagian awal terjadi lagi aktivitas vulkanisme dimana hal terebut telah membentuk satuan batuan breksi basalt Gunung api tua yang dihasilkan oleh gunung api sawal. Kemudian pada saat plistosen awal bagian akhir sampai sekarang daerah penelitian mengalami proses eksogenik yang masih berjalan sampai saat ini yaitu pelapukan dan erosional.

4.6 Geologi Tata Lingkungan

Geologi tata lingkungan adalah merupakan salah satu disiplin ilmu yang berhubungan erat dengan masalah-masalah pada perencanaan fisik, pengembangan wilayah, dan usaha dalam pengendalian lingkungan hidup dengan melihat aspek- aspek geologi yang terdapat di daerah penelitian. Menurut Sampurno (1979), keadaan lingkungan tersebut dikontrol dengan kuat oleh beberapa aspek geologi yang meliputi : sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan potensi batuan sebagai bahan galian, letak endapan potensial, dan potensi bencana alam yang disebabkan oleh pengaruh dari kondisi geologinya. Berdasarkan pada hasil pemetaan rinci yang telah dilakukan di daerah penelitian, maka potensi geologi lingkungan yang terdapat pada Daerah Kertayasa dan Sekitarnya Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat dapat dibagi menjadi dua, yaitu berupa potensi sumber daya alam dan bencana alam.
1.   Sumber Daya Alam

Sumber daya alam merupakan sesuatu di alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungannya. Sumber daya alam yang terdapat di daerah penelitian berupa sumber daya tanah. Sumber daya tanah dimanfaatkan warga sekitar sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan lahan hampir meliputi keseluruhan dari daerah penelitian dengan komoditas tanaman padi dan tanaman sayuran.
Gambar 4.17 Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai lahan pertanian (foto diambil pada LP 21)



Silahkan download filenya dibawah ini sebagai acuan, bahan bacaan dan lainnya
Jika teman-teman masih bingung cara download silahkan klik link di bawah ini (CATATAN : LANGSUNG KE LANGKAH NO.7):



Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "GEOLOGI DAERAH KERTAYASA DAN SEKITARNYA KECAMATAN PANAWANGAN KABUPATEN CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel